Kamis, 02 Februari 2012

Asuhan Keperawatan Gangguan Imunologi : Febris

Posted by with 1 comment






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Demam adalah suhu tubuh di atas batas normal, biasanya dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit-penyakit bakteri, tumor otak atau dehidrasi. (Guyton, Arthur C. 1990 ; 647). Menurut Wibowo. H (1995 ; 12) demam adalah suhu tubuh di atas 37,2 OC.
Suhu dapat diartikan sebagai keseimbangan antara panas yang diproduksi dengan panas yang hilang oleh tubuh. Kulit merupakan organ tubuh yang bertanggung jawab untuk memelihara suhu tubuh agar tetap normal dengan mekanisme tertentu.
Sejak lama demam merupakan suatu pertanda adanya gangguan kesehatan terutama pada anak-anak sekitar 10-15 % (Ngastiyah, 2005; 165). Tidak jarang demam yang terjadi tidak diketahui penyebabnya. Pada tahun 1985-1989 dari 199 kasus demam yang disebabkan karena infeksi 22,5% dan non infeksi 7%, penyakit vaskuler kolagen 21,5% (Wibowo, H. 1995: 103).
Data yang diperoleh dari Rekam Medik Rumah Sakit RK Charitas, pada tahun 2008 penderita demam dengan usia 45-65 tahun  sebanyak 58 orang yang terdiri dari penderita laki-laki sebanyak 24 orang dan perempuan sebanyak 34 orang.
1
Secara normal, panas diproduksi tubuh melalui proses metabolisme, aktivitas otot dan sekresi kelenjar. Produksi panas dapat meningkat atau menurun, dipengaruhi oleh suatu sebab seperti karena suatu penyakit. Suhu tubuh yang terlalu ekstrim baik panas maupun dingin dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu perawat perlu membantu klien apabila mekanisme homeostasis tubuh untuk mengontrol suhu tubuhnya tidak mampu menanggulangi perubahan suhu tubuh tersebut secara efektif (Asmadi, 2008; 155)
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang demam (Febris), maka penulis mengambil kasus Asuhan Keperawatan pada Klien Tn.’Y’ dengan Gangguan Sistem Imunologi : Febris  di Pavilyun Lukas II  Rumah Sakit RK Charitas Palembang.

B.     Ruang Lingkup Masalah
Sehubungan keterbatasan waktu, pengalaman, pengetahuan serta keterbatasan sumber yang ada, maka penulis hanya membatasi ruang lingkup pada Asuhan Keperawatan pada Klien Tn. “Y” dengan Gangguan Sistem Imunologi;  Febris  yang dirawat di Pavilyun Lukas II  di Rumah Sakit RK Charitas Palembang pada tanggal 29 Agustus 2009 sampai dengan 31 Agustus 2009.
selengkapnya Download disini

Kelenjar prostat /Benigna Prostate Hyperplasia (BPH)

Posted by with 1 comment


 
Kelenjar Prostat / Benigna Prostate Hyperplasia BPH
A.    Latar Belakang Masalah
             Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini juga dikenal sebagai Benigna Prostate Hyperplasia (BPH), dimana kelenjar periuretral mengalami hyperplasia, sedangkan jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah.
       Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada lelaki 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala dan tanda klinis (Wimde Jong. 2004).
Para penderita BPH, jika tidak segera di tangani akan menimbulkan berbagai komplikasi. yang sangat berbahaya. Selain itu gangguan prostat selanjutnya dapat mengakibatkan timbulya kanker prostat yang merupakan salah satu bentuk penyakit yang dapat mengakibatkan kematian.
Berbagai bentuk penatalaksanaan penderita BPH juga memiliki resiko yang tak kalah pentingnya untuk di perhatikan, karena pada ummnya penderita BPH di indikasikan untuk menjalani pembedahan yang mempunyai dampak pada status kesehatannya.

 
Salah satu bentuk pembedahan pada penderita BPH adalah prostatektomi suprapubis, yang merupakan operasi terbuka dengan reseksi suprapubis. Kelenjar prostat di angkat dari urethra lewat kandung kemih.

 Setelah operasi ditempatkan suatu bahan hemostatik pada fosa prostat dan urin akan dialirkan dengan kateter foley atau pipa cytostomy. Hemoragi dan infeksi merupakan komplikasi utama yang harus di waspadai setelah pembedahan.
Di amerika serikat setiap tiga menit terdapat satu penderita baru kanker prostat. Meskipun di Asia masih terbilang rendah, kanker prostat tidak dapat dianggap remeh (Male Emporium, juni 2005).
       Di Palembang khususnya Rumah Sakit RK. Cha

download lengkap disini

Rabu, 01 Februari 2012

Trauma Kimia

Posted by with No comments

TRAUMA KIMIA 
A.    Latar Belakang
Trauma kimia merupakan  tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi
Secara geografis penyakit ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema  di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan di Indonesia. Disamping pemberian obat, penerapan proses keperawatan yang tepat memegang peranan yang sangat penting dalam proses penyembuhan dan pencegahan, guna mengurangi angka kesakitan.Dalam menangani kasus ini, selain penatalaksanaan pengobatan oleh tim medik. Pengetahuan dan pengenalan yang lebih jauh tentangkasus Trauma kimia ini. Tidak kalah pentingnya yang dapat menjadi pedoman dalam memberikan asuhan keperawatan dalam rangka mengurangi angka kejadian dari kasus ini.
Trauma bahan kimia pada mata baik asam maupun basa merupakan salah satu kegawat daruratan di bidang oftalmologi dan sering terjadi pada orang ,muda. Penyebab trauma kimia asam terutama adala'h asam sulfat (H2SO4) dan asam, klorida (HCI) yang sering digunakan sebagal bahan pembersih Iantai dan keramik. Berbedd dengan basa, asam cenderung menyebabkan kerusakan yang lebih ringan karena protein kornea akan bereaksi dengan asam dan terjadi presipitasi pada permukaan kornea yang dapat mencegah penetrasi zat kimia ke jaringan mata yang lebih dalam.
Walaupun demikian asam kuat seperti asam sulfat dapat menyebabkan kerusakan yang cukup berat. Hal ini disebabkan trauma asam berat dapat merusak badan silier dan terjadi penurunan kadar askorbat dalam cairan mata dan kornea. Penatalaksanaan trauma kimia asam masih terus berkembang. Setelah dilakukan irigasi permukaan mata secara intensif untuk menghilangkan bahan kimia yang tersisa di permukaan mata; dilakukan pengobatan lebih lanjut untuk mempercepat epitelialisasi kornea,  mempercepat pembentukan kolagen, memperkecil terjadinya ulserasi akibat aktivitas kolagenase yang berlebihan, dan mengendalikan inflamasi yang terjadi. Proses reepitelialisasi kornea dapat dibantu secara medikamentosa maupun tindakan bedah. Secara medikamentosa dapat berupa pemberian cairan lubrikasi tanpa pengawet secara intensif, penggunaan lensa kontak bebat (bandage contact lenses), pemberian faktor pertumbuhan (misal fibronektin atau pemberian serum autologus), asam retinoat dan hyaluronat.2 Sodium hyaluronat selain digunakan sebagai alat bantu pada operasi intraokular dalam perkembangannya bahan ini dipakai pada operasi segmen anterior untuk membentuk bilik mata depan, memisahkan jaringan satu dengan yang lain, serta melindungi jaringan intraokular terutama endotel kornea selama proses pembedahan intraokular. Akhir-akhir ini penggunaan sodium hyaluronat meluas pada penggunaan topikal, terutama pada kasus mata kering. Pemberian sodium hyaluronat 0,1% topikal sebanyak 4-5 kali sehari terbukti mampu memperbaiki gejala dan proses epitelialisasi epitel kornea pada sindroma mata kering.


Efektivitas Penggunaan Dental Floss untuk Mengurangi Peradangan Gusi pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal Alang

Posted by with 2 comments
Jurnal Penelitian

Joko Suripto (2012)  Efektivitas Penggunaan Dental Floss untuk Mengurangi Peradangan Gusi pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas  Tegal Alang.


Benang gigi tanpa lilin dan lilin dievaluasi klinis cukup efektivitas dalam mengurangi inflamasi gingiva.  Kesehatan mulut dan gigi ibu hamil sebaiknya mendapat perhatian yang serius, bahkan sejak sebelum menikah. Hal ini mengingat dampak yang ditimbulkan dapat berpengaruh terhadap kehamilan. Salah satu kepedulian tentang kesehatan gigi ibu hamil adalah dengan menyebarluaskan informasi bagaimana merawat gigi dengan benar sejak sebelum hamil dan saat kehamilan.Sikat gigi merupakan cara membersihkan gigi yang cukup konvensional dan sangat dikenal masyarakat luas. Dalam memilih sikat gigi, yang perlu diperhatikan sebaiknya dengan memilih sikat gigi berpegangan yang nyaman dan kuat, bulu sikat yang lembut dan membulat, serta kepala sikat yang sedemikian rupa sehingga dapat menjangkau daerah terdalam dari rongga mulut.Berdasarkan pertimbangan efektifitas, jelas membersihkan gigi dengan dental flossing lebih efektif. Namun, dengan keunggulan penggunaan pasta gigi yang dapat memberikan tambahan kandungan fluoridanya, maka kombinasi dari keduanya akan dapat memberikan nilai tambah.
Rancangan penelitian ini termasuk observational dengan jenis penelitian quasi eksperimen dengan menggunakan one group test. Besar sampel penelitian yaitu 128 orang, pengambilan unit analisis sampel dilakukan secara systematic random sampling. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 55,4% responden mengalami peradangan gusi sedangkan sisanya 44,6% tidak mengalami peradangan. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji t diperoleh nilai p-value = 0,0033 yang menunjukan bahwa penggunaan Dental floss pada ibu hamil cukup efektif untuk mengurangi terjadinya peradangan pada gusi.





Dispepsia

Posted by with No comments

DISPEPSIA ....
A.    Latar Belakang
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. (Arif Mansjoer, 2000 ; 488). Dispepsia merupakan suatu kompleks gejala dari keluhan abdomen kronik, biasanya berupa nyeri epigastrium, seringkali nyeri ulu hati, kembung, sendawa, dan terkadang mual dan muntah. (Wash Declan, 1979 ; 121). Dispepsia adalah keluhan yang berhubungan dengan makan atau keluhan yang oleh pasien ataupun dokternya dikaitkan dengan gangguan saluran cerna bagian atas (Sudoyo, Aru. W, 2006 ; 354).
Menurut hasil penelitian yang dikemukakan di Inggris dan skandinavia bahwa prevalensi dispepsia berkisar 7-41 %. Tetapi,  hanya 10-20 % yang mencari pertolongan medis, Di asia pasifik, penyakit ini memiliki prevalensi berkisar antara 10-20 % (Kusumohebroto H, 2003). Berdasarkan catatan medikal record Dr. Wahidin Sudirohusodo bahwa penderita dispepsia yang dirawat di ruang interna  pada tahun 2005 berjumlah 576 orang, dimana jumlah laki-laki berjumlah 224 orang dan perempuan 352 orang, sedangkan pada tahun 2006 periode Januari sampai dengan Agustus berjumlah 239 yang mana penderita laki-laki berjumlah 39 orang dan perempuan 146 orang. Melihat prevalensi yang cukup tinggi, maka hal ini perlu mendapatkan perawatan yang serius, karena penyakit dyspepsia dapat menimbulkan masalah keperawatan aktual maupun resiko yang berdampak pada penyimpangan kebutuhan dasar manusia (KDM) seperti gangguan rasa nyaman nyeri, nutrisi kurang dari kebutuhan, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit serta kecemasan.
Dyspepsia atau seperti yang seringkali dirujuk oleh dokter, non ulcer dyspepsia atau dyspsia tidak berborok adalah satu dari penyakit-penyakit (ringan) yang paling umum dari dari usus-usus, mempengaruhi dari suatu perkiraan dari 20% dari dari orang-orang di Amerika. Mungkin hanya 10% dari mereka yang terpengaruh sebenarnya mencari perhatian medis untuk dyspepsia. Dyspepsia  bukanlah suatu istilah yang terpengaruh baik untuk penyakit ringan karena ia menyiratkan bahwa ada dyspepsia atau pencernaan yang abnormal dan ini kemungkinan besar adalah bukan kasusnya. Sesungguhnya nama lain untuk dyspepsia adalah gangguan pencernaan (indigestion) yang untuk sebab yang sama adalah tidak lebih baik daripada istilah dyspepsia. (http/www.total kesehatan nanda.com/d8/05/13/dyspepsia/,diakses tanggal 02/09/2009). 



Hubungan Pengetahuan, pendidikan, dan sikap ibu dengan penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat di paviliun T RS Ktk

Posted by with No comments




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kejang demam pada anak merupakan suatu peristiwa yang menakutkan pada kebanyakan orang tua karena kejadiannya yang mendadak dan kebanyakan orang tua tidak tahu harus berbuat apa. Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal >380C) yang disebabkan oleh suatu proses diluar otak. Tidak jarang orang tua khawatir jika anaknya panas, apakah nanti akan kejang atau tidak. Dari penelitian, kejadian kejang demam sendiri tidaklah terlalu besar yaitu sekitar 2-4 %, artinya dari 100 anak dengan demam ada sekitar 2-4 yang mengalami kejang. Kejang demam terjadi pada usia 6 bulan – 5 tahun dan terbanyak terjadi pada usia 17-23 bulan. Kejang demam anak perlu diwaspadai karena kejang yang lama (lebih dari 15 menit) dapat menyebabkan kematian, kerusakan saraf otak sehingga menjadi epilepsi, kelumpuhan bahkan retardasi mental. (www. Mardiati, tanggal 12 agustus 2008).
Saat menghadapi si kecil yang sedang kejang demam, sedapat mungkin cobalah bersikap tenang. Sikap panik hanya akan membuat kita tidak tahu harus berbuat apa yang mungkin saja akan membuat penderitaan anak tambah parah kesalahan orang tua adalah kurang tepat dalam menangani kejang demam itu sendiri yang kemungkian terbesar
adalah disebabkan karena kurang pengetahuan orang tua dalam menangani kejang             demam.(www. Published, 17 Februari 2010).
Sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan para orang tua dalam mengatasi kejang demam pada anak sebelum selanjutnya membawa anak mereka ke rumah sakit. Antara lain seperti beri obat penurun panas apabila suhu anak melewati angka 37,5ÂșC, kompres dengan lap hangat (yang suhunya kurang lebih sama dengan suhu badan si kecil). Jangan kompres dengan air dingin, karena dapat menyebabkan “korsleting”/ benturan kuat di otak antara suhu panas tubuh si kecil dengan kompres dingin tadi, agar si kecil tidak cedera, pindahkan benda-benda keras atau tajam yang berada dekat anak.  Tidak perlu menahan mulut si kecil agar tetap terbuka dengan mengganjal/ menggigitkan sesuatu di antara giginya.
Miringkan posisi tubuh si kecil agar penderita tidak menelan cairan muntahnya sendiri yang bisa mengganggu pernapasannya. Jangan memberi minuman/ makanan segera setelah berhenti kejang karena hanya akan berpeluang membuat anak tersedak, apabila keadaan anak sudah mulai stabil bawa anak ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan selanjutnya. (www. Wordpress, 08November 2010).                                        
 Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73).
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 - 4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia lebih tinngi kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam komplek. Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam sederhana yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang demam komplek yang berlangsung lebih dari dari 15 menit, fokal atau multifel (lebih dari 1 kali kejang demam dalam 24 jam. (Arif Mansjoer, 2000).
Masloman dkk pada tahun 1997-2001 di RSUP Manado mendapatkan 327 penderita kejang demam dengan usia terbanyak 2-4 tahun. Eka dkk pada tahun 1999-2001 di RS Moh. Hoesin Palembang mendapatkan 429 penderita kejang demam, terutama pada usia 12-17 bulan.(www. Wordpress, 08 November 2010).
Dari studi pendahuluan pada tanggal 12 Mei 2010, pada tahun 2009 bayi yang terkena kejang pada usia 1 sampai 3 tahun berjumlah 231 orang dan anak yang terkena demam berjumlah 102 orang. Bayi yang terkena kejang pada usia 1-5 tahun berjumlah 294 orang dan yang terkena demam berjumlah 178 orang. Tahun 2010 pada bulan Januari sampai bulan April, bayi yang terkena kejang pada usia 1-3 tahun berjumlah 79 orang dan yang terkena demam berjumlah 31 orang. Bayi yang terkena kejang pada usia 1-5 tahun berjumlah 101 orang dan yang terkena demam berjumlah 56 orang.
Berdasarkan uraian diatas dan terjadinya peningkatan angka kejadiaan kejang demam, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang hubungan pengetahuan, pendidikan, dan sikap ibu dengan penanganan  kejang demam pada balita sebelum dirawat di paviliun Theresia RS. RK Charitas Palembang tahun 2010.
B.     Perumusan Masalah
Karena masih banyaknya ibu-ibu yang kurang tahu dalam penanganan pertama pada kejang demam dan tingginya angka kejadian kejang demam di RS. RK Charitas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Hubungan Pengetahuan, pendidikan, dan sikap ibu dengan penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat di paviliun Theresia RS. RK Charitas Palembang Tahun 2010. ”
C.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “Hubungan Pengetahuan, Pendidikan, dan sikap ibu Dengan Penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat di paviliun Theresia RS. RK Charitas Palembang Tahun 2010.”
2.      Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
a.       Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan pada ibu dengan penanganan  kejang demam pada balita sebelum dirawat.
b.      Untuk mengidentifikasi gambaran sikap pada ibu dengan penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat.
c.       Untuk mengidentifikasi gambaran pendidikan pada ibu dengan penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat.
d.      Untuk mengidentifikasi hubungan pengetahuan pada ibu dalam penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat.
e.       Untuk mengidentifikasi hubungan sikap pada ibu dalam penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat.
f.       Untuk mengidentifikasi hubungan pendidikan pada ibu dalam penanganan kejang demam pada balita sebelum dirawat.
D.    Manfaat Penelitian
1.      Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan peneliti terutama dalam metodologi penelitian dan penerapan proses keperawatan guna mengatasi masalah penyakit kejang demam pada balita, serta penginformasian yang tepat guna kepada orang tua dalam mengatasi masalah penyakit kejang demam pada balita.
2.      Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut mengenai pentingnya penerapan proses keperawatan guna mengatasi masalah penyakit kejang demam pada balita.

3.      Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan masukan kepada institusi Pendidikan khususnya pengetahuan dibidang keperawatan anak tentang pentingnya penerapan mengenai proses keperawatan guna mengatasi masalah penyakit kejang demam pada balita.
4.      Basgi Perawat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi perawat untuk menyusun upaya-upaya yang sesuai dalam mengatasi kejang dan berperan serta pada penerapan proses keperawatan guna mengatasi masalah penyakit kejang demam pada balita.
5.      Bagi orang tua
Meningkatkan keterampilan orang tua yang akan memungkinkan para orang tua untuk mempunyai pengetahuan bagaimana penanganan pertama  pada balita yang terserang kejang demam, sebelum balita tersebut dibawa ke rumah sakit.
E.     Ruang lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang Keperawatan Anak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui “Hubungan Pengetahuan, pendidikan, dan Sikap Ibu dengan penanganan  Kejang Demam pada balita sebelum dirawat di Paviliun Theresia RS. RK. Charitas Palembang pada bulan Juni  tahun 2010”
F.     Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN,yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,  manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, yang terdiri dari definisi pengetahuan, tingkatan pengetahuan, factor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan, definisi sikap, komponen pokok sikap, berbagai tingkatan sikap, cara pengukuran sikap, definisi kejang demam, anatomi fisiologi kejang demam, etiologi kejang demam, patofisiologi kejang demam, manifestasi klinik kejang demam, klasifikasi kejang demam, komplikasi kejang demam, penatalaksanaan medis kejang demam.
BAB III KERANGKA KONSEP, yang terdiri dari kerangka konsep penelitian, definisi operasional, hipotesis.
BAB IV METODE PENELITIAN, yang terdiri dari jenis penelitian, tempat/ lokasi dan waktu penelitian, populasi dan sampel, tehnik pengumpulan data, jadwal penelitian, etika penelitian.
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, yang terdiri dari gambaran umum RS. RK. Charitas, gambaran umum Paviliun Theresia RS. RK. Charitas, dan Pembahasan.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
semuanya gratisssssss!!!