Minggu, 07 Januari 2024

Soal Fiqh Muamalah dan Fiqh Ibadah

Posted by with No comments

 

Tugas :

1.      Berdasarkan pemahaman anda terhadap materi yang diberikan, Jelaskan apa itu fiqh ibadah dan fiqh muamalah ?

Jawab :

Fiqh adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Secara Etimologi, kata Ibadah bentuk isim mashdar atau kata benda yang berasal dari bahasa Arab yakni ‘Abada-Ya’budu’-‘Ibadatan wa ‘Ubudiyyatan, yang memiliki arti beribadah, menyembah, mengabdi kepada Allah SWT. Sedangkan secara terminologi sebagaiman disebutkan oleh Yusuf al-Qardhawi yang mengutip pendapat Ibnu Taimiyah bahwa ibadah adalah puncak ketaatan dan ketundukan yang di dalamnya terdapat unsur cinta yang tulus dan sungguh-sungguh yang memiliki urgensi yang agung dalam Islam dan agama karena ibadah tanpa unsur cinta bukanlah ibadah yang sebenar-benarnya[1]. Jadi Fiqih Ibadah adalah ilmu yang menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’i khususnya dalam ibadah khas seperti meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji, kurban, aqiqah dan sebagainya yang kesemuanya itu ditujukan sebagai rasa bentuk ketundukan dan harapan untuk mecapai ridla Allah.

 Muamalah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu ‘Amala-Yu’amilu-Mu’amalatan wa ‘Imalan,yang memiliki arti berinteraksi, bekerja. Sedangkan pengertian muamalah secara terminologi hubungan antara manusia dalam usaha mendapatkan alat-alat kebutuhan jasmaniah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran-ajaran dan tuntutan agama[2]. Jadi Fiqh muamalah adalah  hukum Islam yang mengatur hubungan antar sesama manusia dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Abu Abdilah as- Syafii menyatakan pendapatnya mengenai fiqih yaitu sebagai ilmu pengetahuan, ketentuan Tuhan yang berkaitan dengan segala tindakan manusia yang memiliki dampak hukum berdasarkan perintah Tuhan. Secara lebih spesifik kemudian fiqih diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, fiqih ibadah yaitu semua perbuatan yang berkaitan dengan Thaharoh, Shalat, Puasa, Zakat, Haji, Qurban, Nadzar, Sumpah dan semua perbuatan manusia yang berhubungan dengan Tuhannya. Kedua, fiqih muamalat yaitu semua bentuk kegiatan transaksional seperti; deposito, jual beli, pidana, perdata antar sesama manusia baik secara individu maupun lembaga bahkan negara[3].

2.      Apa yang membedakan antara fiqh ibadah dengan fiqh muamalah ?

Jawab :

Yang membedakan antara fiqh ibadah dengan fiqh muamalah adalah :

-          Fiqh ibadah menyangkut semua perbuatan yang berkaitan dengan ibadah dan semua perbuatan manusia yang berhubungan dengan Tuhannya, sedangkan muamalat semua bentuk kegiatan transaksional antar sesama manusia baik secara individu maupun lembaga bahkan negara[4].

-          Di kalangan mazhab Hanafi, fiqh ibadah berpedoman pada “hukum asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya, atau tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan sebelum datangnya syariah”, sedangkan fiqh muamalah menganut kaidah "Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya"[5].

3.      Uraikan hikmah dari ibadah sholat, puasa dan haji ?

Jawab :

Hikmah Sholat

Salat secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata Shalla-Yushalli-Shalatan wa tasliyan, yang memiliki arti berdoa. Salat secara terminologi adalah Ibadah khusus yang mengandung suatu ucapan dan perbuatan yang dibuka dengan takbir dan akhiri dengan salam.  Hikmah disyariatkannya salat, yaitu; Pertama, salah merupakan kewajiban Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat, berdasarkan hadis Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “ Yang membedakan antara seseorang dengan kekufuran adalah salat.”Kedua salat adalah bentuk rasa syukur akan limpahan nikmat Allah yang banyak, dan di dalamnya mengandung faidah diniyah (agama) dan pendidikan bagi setiap individu dan kelompokmasyarakat yang berada dalam jalan kemulyaan[6].

Salat yang ikhlas, tidak terburu-terburu, dan dilakukan dengan penuh penghayatan akan membawa ketenangan lahir batin dan kenikmatan luar biasa. Penghayatan di sini adalah penghayatan makna yang terkandung di dalam setiap bacaan salat. Dengan menghayati setiap makna salat, maka tidak heran jika kemudian pelaku salat yang sempurna dapat tercegah dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Ankabuut Ayat 45 “Sesungguhnya Shalat itu  mencegah dari perbuatan keji dan munkar.”[7]

Hikmah Puasa

Puasa secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu Shâma-Yashûmu-Shauman wa Shiyâman, yang memiliki arti menahan, mengekang dari makan dan minum. Hikmah puasa bagi seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah SWT adalah sebagai berikut[8]:

a.       Puasa menjadi sarana untuk mensyukuri nikmat Allah, karena puasa bisa menjaga diri dari makan, minum dan jima’.

b.      Puasa menjadi sarana untuk bertaqwa kepada Allah karena dengan puasa akan menahan diri dari sifat rakus, takut siksa Allah dan mencegah dari perbuatan yang haram. Firman

c.       Puasa dapat menundukkan watak dan memecahkan syahwat (hawa nafsu) karena jiwa apabila kenyang maka syahwat menjadi tinggi, dan apabila lapar maka syahwatnya menjadi terkendali sehingga bisa menutup dari perbuatan maksiat.

d.      Puasa dapat membuat pelakunya bersikap penyayang dan mengasihi kepada orang-orang miskin, karena orang yang berpuasa bisa merasakan sakitnya rasa lapar sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang miskin.

e.       Puasa diwajibkan bagi semua orang Islam baik kaya maupun miskin sehingga sama-sama merasakan faqir (haus, lapar dan dahaga).

f.        Puasa bisa mengalahkan godaan, rayuan yang menghantarkan kepada kesesatan dan syahwat makan dan minum.

Dalam Maqashidus Shaum, Izzudin bin Abdis Salam mengumpulkan banyak riwayat Nabi tentang manfaat dan hikmah ibadah puasa, dengan kesimpulkan terdapat 8 manfaat puasa, yaitu meningkatkan ketakwaan, menghapus dosa, mengendalikan syahwat, memperbanyak sedekah, menyempurnakan ketaatan, meningkatkan rasa syukur, dan mencegah diri dari perbuatan maksiat[9].

Hikmah Haji

Haji secara etimologi berarti al-Qashdu yang memiliki arti tujuan atau niat. Sedangkan haji secara terminologi atau syara’ adalah amalan khusus yang dilaksanakan di waktu dan tempat yang dikhususkan atau ditentukan denan cara yang khusus. Di antara hikmah haji adalah mensucikan jiwa (seorang muslim) dari berbagai dosa hingga ia mendapatkan kemulyaan Allah di dunia dan di akhirat. Dalam HR al-Bukhari dijelaskan bahwa orang yang menunaikan haji ke Mekah dalam keadaan tidak berbuat rafats (berkata kotor) dan fasiq (berbuat cabul), niscaya dosanya diampuni oleh Allah hingga bersih dari dosa sebagaimana bayi yang baru lahir dari perut ibunya. Inilah kemulyaan yang hanya dimiliki oleh seseorang yang melaksanakan ibadah haji sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya[10].

 

 

 

 

4.      Jelaskan kaidah fiqhiyyah berikut ini kaitannya dengan fiqh ibadah dan muamalah

     " Al Muta'addi afdholu minal Qhosir"

Jawab :

Kaidah fiqh yang secara eksplisit menyatakan " al muta'addiyah afdhalun min al qashirah " bermakna ibadah sosial jauh lebih utama dari pada ibadah individual.  Qaidah tentang amalan yang manfaatnya lebih banyak dirasakan oleh lebih dari satu orang itu lebih utama daripada amalan yang manfaatnya hanya dirasakan oleh satu orang, disebut juga dengan qaidah al muta’addi afdholu min al qoshir. Qaidah al muta’addi afdholu min al qoshir dapat diterapkan dalam berbagai macam permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, salah satunya adalah dalam permasalahan pernikahan. Beberapa masalah yang ditemukan ternyata mengandung unsur “amal al muta’addi”, seperti: pernikahan tanpa adanya kafa’ah, kemaslahatan pada nikah misyar, serta akad nikah yang dilakukan secara virtual menggunakan perangkat internet. Yang kemudian masalah-masalah tersebut justru memunculkan manfaat dan pengaruh positif bagi banyak orang meskipun terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama terkait hukum dari masalah-masalah tersebut.

Amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi (seperti mengajarkan ilmu dan dakwah ilallah), bisa juga manfaat duniawi (seperti menunaikan hajat orang lain, menolong orang yang dizalimi). Amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja, seperti puasa dan iktikaf. Para fuqoha syariat menyatakan bahwa amalan muta’addi yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari amalan qaashir yang manfaatnya untuk diri sendiri. Di antaranya yang dijadikan dalil adalah “Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun juga.” (HR. Muslim, no. 2674).

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata, “Pelaku ibadah qaashirah hanya mendapatkan manfaat untuk dirinya sendiri; jika ia meninggal dunia, amalannya akan terputus. Adapun pelaku ibadah muta’addi, maka walaupun meninggal dunia, amalannya tidaklah terputus.” (Utruk Atsaran Qabla Ar-Rahiil, hlm. 8)[11].

Contoh ibadah individual (qaashirah) adalah haji, umrah, puasa, shalat, dan sebagainya. Sementara contoh ibadah sosial (muta’addi ) adalah menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, menolong para korban bencana, merawat alam dan lingkungan, berbuat baik dan kasih sayang kepada sesama, dan lainnya. Semua itu merupakan bentuk-bentuk ibadah sosial yang memberi manfaat atau kemaslahatan kepada masyarakat banyak.

 



[1] Rohmansyah, Fiqh Ibadah dan Mu’amalah, 2017, hal.44.

[2] Ibid., hal.51.

[3] Fathul Aminudin Aziz, “Fiqih Ibadah Versus Fiqih Muamalah,” el-Jizya : Jurnal Ekonomi Islam 7, no. 2 (2019): 237–54, doi:10.24090/ej.v7i2.3454.

[4] Ibid.

[5] Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan Ilmu Fiqih (Jakarta: DU Publishing, 2011), hal.359.

[6] Rohmansyah, op. cit., hal.65.

[7] Siti Khuzaiyah, Buku Saku Fiqh Dalam Tinjauan Kesehatan: Mengurai Hikmah Sholat , Puasa , dan Bersuci dalam Tinjauan Kesehatan Tubuh Manusia (Solok: Lembaga Pendidikan & Pelatihan Balai Insan Cendekia, 2023).

[8] Rohmansyah, op. cit., hal 70-71.

[9] Khuzaiyah, op. cit.

[10] Rohmansyah, op. cit., hal. 79.

[11] Muhammad Abduh Tuasikal, “Amalan Qaashir dan Muta’addi,” https://rumaysho.com/ (Jakarta: https://rumaysho.com/, 2019).

0 Reviews:

Posting Komentar

Silahkan tinggal pesan, dilarang SPAM, SARA dan Melanggar Hukum