Minggu, 07 Januari 2024

Riya' menurut Imam Al Ghazali

Posted by with No comments

 Oleh : Sumario

Allah Swt. berfirman dalam surat al-Mâ’ûn: 4-6.

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ يُرَاءُوْنَ وَيَنْمَعُوْنَ اْلمَاعُوْنَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’…” (Q.S. al-Mâ’ûn: 4-6)

Rasulullah Saw. bersabda:

ِانَّ اَخْوَفَ مَا اَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ, قِيْلَ: مَا هُوَ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلرِّيَاءُ.

“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan dari kamu sekalian adalah syirik kecil.” Para Shahabat bertanya, “Apakah syirik kecil ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’.”

Sedangkan menurut Imâm al-Ghazâlî riya' adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan cara melakukan ibadat dan amal-amal kebajikan.Dilihat dari segi bentuknya, maka riya' dapat dibagi menjadi enam bagian:

a) Riya' lewat anggota badan, yaitu dengan cara menampakkan kurus kerempengnya badan, agar disangka orang kurang tidur (selalu bangun malam) dan banyak berpuasa, atau menampakkan rasa sedih dan iba agar disangka sangat peduli terhadap urusan agama, menampakkan kusutnya rambut agar disangka betul-betul tenggelam dalam urusan agama, menampakkan keringnya bibir dan rendahnya suara agar disangka betul-betul aktif berpuasa dan tekun berjuang.

b) Riya' lewat gaya penampilan, yaitu dengan cara mencukur kumis, menundukkan kepala saat berjalan, sangat berhati-hati dalam setiap gerak-geriknya, sengaja membiarkan bekas sujud dalam shalat, dan memejamkan mata saat berbicara agar orang menilai bahwa dirinya betul-betul memiliki kasyaf dan wawasan pengetahuannya dalam.

c) Riya' lewat pakaian, yaitu dengan mengenakan baju wol dan baju kasar yang menjulur ke betis, memakai baju compang-camping dan lusuh agar orang mengira bahwa dirinya ticlak sedikit pun berpaling dari mengingat Allah, mengenakan serban dan membawa serta sajadah sebagaimana seorang tasawuf, mengenakan baju takwa agar disangka orang alim, membuat penutup di atas sorban dengan kain, memakai kaus kaki agar disangka meninggalkan hidup duniawi karena begitu kuatnya wara' dan agar terhindar dari debu jalanan.

d) Riya' lewat kata-kata, seperti riya' seorang muballigh dan pakar. Yaitu dengan cara berkata-kata indah yang memikat, berucap dengan lagak bijak, mengutip hadis, dan kata-kata ulama salaf, dengan suara yang lembut, dan menampakkan rasa sedih dan iba, padahal dalam hatinya kosong dari nilai-nilai keikhlasan dan kejujuran. Mengaku ahli hadis, berteman para syeikh, dengan cepat-cepat menyela pembicaraan agar disangka ahli ilmu pengetahuan, merasa sedih atas kemaksiatan yang merajalela, padahal hatinya tidak demikian.

e) Riya' melalui amal, seperti melambatkan berdiri dan memanjangkan bacaan shalat, memperbagus cara ruku' dan sujud, tidak menoleh kanan-kiri, banyak bersedekah, puasa, berkali-kali menunaikan ibadah haji, berjalan khusyu', padahal Allah Swt. Mahatahu batinnya, kalau di dalam keadaan sendiri tidak bergaya seperti itu semua. Bahkan jika tidak dilihat orang, la berjalan cepat, dan meremehkan salat. jika merasa ada yang melihat, la kembali tenang agar disangka khusyu'.

f) Riya' karena banyak murid, dan menyebut banyak syeikh agar disangka bahwa dia betul-betul banyak berteman para syeikh. Seperti orang yang senang bila dikunjungi oleh para penguasa dan ulama, agar dia disebut-sebut banyak berkahnya.

Penjelasan di atas adalah jenis-jenis riya' dalam agama, bahkan tergolong dosa besar dan tentunya haram, jika berke­dokkan agama dalam mewujudkan ambisi pribadi. Tetapi, bila menyangkut masalah duniawi dan tidak memperalat agama untuk mencapai maksudnya, maka bukanlah tergolong riya' yang dilarang, sepanjang tidak mengandung unsur penipuan.

Menurut Imâm al-Ghazâlî riya' memiliki tiga derajat negatif:

Pertama, riya' tidak bisa memasuki wilayah keagamaan dan ibadah. Seperti ketika memakai pakaian bagus, saat keluar, tetapi tidak saat khalwat. Semisal infak harta untuk suatu jamuan orang-orang kaya, supaya disangka dermawan, bahkan karena agar disangka sebagai wara' yang shaleh. Maka riya' seperti di atas tidak haram. Sebab kompetensi hati itu seperti kepemilikan harta.

Memang, sedikit harta namun bermanfaat, sementara banyak harta yang bisa melupakan dzikir kepada Allah Swt., kedudukannya tetap seperti orang kaya. Apabila hartanya didistribusikan untuk kepentingan kedudukannya, yang tentu bisa menyeret pada sikap alpa dan maksiat, tindakan. tersebut haram. Keharaman tersebut sebenarnya terletak pada sikap manipulasi keagamaan dan kewara'an. Karena ia telah memanipulasi agar manusia yakin, seakan-akan la orang yang mukhlis dan taat. Niat tersebut sangat dibenci oleh Allah, dan tergolong fasik.

Kedua, kalau seseorang beribadah kepada Allah, tetapi demi makhluk, ber­arti dia telah menghina agama. Seandainya ada hamba yang mau beribadah, dengan keyakinan bahwa hamba-hamba Allah lebih mampu memberi manfaat dan menjauhkan dari bencana dibanding Allah Swt., yang kemudian mendorongnya untuk beribadah secara baik di mata orang banyak, lantaran pamer ibadahnya dengan motivasi, manusia bisa dikuasai hatinya. Itulah sebabnya, mengapa riya' itu tergolong syirik kecil, yang kemudian semakin bertambah karena rusaknya motivasi dan niat.

Menurut Imâm al-Ghazâlî, riya’menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam:

Pertama, riya’ secara terang-terangan, adalah hal-hal yang membangkitkan amal, kalau saja hal-hal tersebut tidak ada, dia tidak pernah senang beramal, mini­mal dia merasa berat beramal. Namun amal tersebut menjadi ringan dan disertai semangat jika ada motivasi tersebut. Seperti orang yang bertahajud, apabila ada tamu semakin bersemangat. Tetapi ketika dilihat oleh orang lain sebelum dan sesudah tahajud, la merasa gembira. Ada suatu kebanggaan tersen­diri. Hal demikian menunjukkan bahwa riya' telah menempati lubuk hatinya

Kedua, riya’ secara samar adalah tindakan yang mengarah pada riya’ namun sangat kecil, bahkan lebih kecil dari semut. Ali r.a. berkata, "Sesungguhnya Allah Swt. bersabda pada hari Kiamat kepada ulama-ulama, 'Bukankah Allah Swt. telah menurunkan harga bagi kalian? Bukankah kalian semua telah memulai salam? Bukankah kalian telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian? Tiada pahala bagi kalian, karena kalian telah dipenuhi oleh upah kalian'."

Karena itu, seseorang harus tekun apabila ingin ikhlas, dan orang lain yang berada di sisinya tidak lebih dari sekedar binatang dan amal-amal kecil. belaka. Dengan tidak membedakan dalam beribadah, apakah orang lain ada atau tidak, apakah mereka tahu atau tidak dengan satu tujuan utama yaitu Allah SWT. sebagai tempat memohon pahala. Dan Allah tidak akan menerimanya kecuali dengan hati yang jernih (ikhlas).

 

0 Reviews:

Posting Komentar

Silahkan tinggal pesan, dilarang SPAM, SARA dan Melanggar Hukum