Minggu, 07 Januari 2024

Penerapan Osteoporosis exercise Therapy Pada Lansia Dengan Gangguan Nyeri Muskolokeletal

Posted by with No comments

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar belakang

Lansia merupakan perkembangan tahap akhir pada kehidupan manusia.Banyak penurunan fungsi yang terjadi pada lansia contohnya penurunan fungsi pendengaran, penglihatan, dan juga fungsi lainnya salah masalah yang seringkali di jumpai pada lansia yaitu hipertensi suatu keadaan yang mengakibatkan tekanan darah di pembuluh darah meningkat (Maryam Siti et al., 2018, pp. 11–12)

 Di Indonesia jumlah lansia yang terjadi terutama pada usia diatas 60 tahun dengan prevalensi mencapai 60-80% dari populasi lansia. Pada usia 25-44 tahun sebesar 29%,  pada usia 45-64 tahun sebesar 15% ( wayan et al.,2016).Diperkirakan populasi lansia akan terus meningkat secara global mencapai 22% dari penduduk atau sekitar 2 milliar, sekitar 80% lansia hidup di Negara berkembang. Pada tahun 2014 jumlah lansia di Indonesia sekitar 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025 jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa (Depkes, 2015,pp. 1–2)

Meningkatnya populasi lansia ini tidak dapat dipisahkan dari masalah kesehatan yang terjadi pada lansia, menurunnya fungsi organ memicu terjadinya berbagai penyakit degeneratif. Beberapa penyakit degeneratif yang paling banyak diderita oleh lansia antara lain gangguan sendi, hipertensi, katarak, stroke, gangguan mental emosional, penyakit jantung dan diabetes mellitus. Penyakit degeneratif pada lansia jika tidak ditangani dengan baik maka akan menambah beban finasial yang tidak sedikit dan akan menurunkan kualitas hidup lansia karena meningkatnya angka morbiditas bahkan dapat menyebabkan kematian (Hernawan.,2017, pp. 15–16)

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia yaitu perubahan fisik, perubahan sosial dan perubahan psikologis. Perubahan psikologis pada lansia dilihat dari kemampuan beradaptasi terhadap kehilangan fisik, emosional serta mencapai kebahagiaan, kedamaian dan kepuasaan hidup, perubahan sosial pada lansia terlihat dari single parent, kesendirian, kehampaan, namun salah satu perubahan fisik yang terjadi pada lansia yaitu Perubahan sistem kardiovaskuler yang terjadi pada lansia meliputi penurunan elastisitas dinding aorta, penebalan katup jantung dan katup jantung menjadi kaku, penurunan kemampuan jantung memompa darah sehingga kontraksi dan volume kerja jantung menurun, kehilangan elastisitas pembuluh darah akibat dari kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, dan meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (Dewi Rhosm Sofia, 2014, pp. 5–10)

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit rematik yang terutama menyerang lansia akibat gangguan metabolisme, diikuti dengan beberapa perubahan muskuloskeletal pada lansia.Hingga saat ini, OA masih menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia.Menurut World Health Organization (WHO), OA merupakan salah satu gangguan fungsional utama yang membatasi kualitas hidup manusia di seluruh dunia, karena penderitanya tidak banyak bergerak.Suatu kondisi yang mempengaruhi kemampuan untuk bekerja, yang dapat menyebabkan rasa sakit yang parah dan kecacatan pada penderitanya yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Akibatnya, hingga 80% dari mereka yang terkena dampak mengalami keterbatasan mobilitas dan sisanya bahkan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari yang sering dilakukan oleh orang lanjut usia. (Tjahyadi Vicynthia, 2017, p. 3)

Prevalensi OA di Asia diperkirakan meningkat dua kali lipat dari 6,8% pada tahun 2008 menjadi 16,2% pada tahun 2040. Kementerian Kesehatan RI (2015) melakukan survei jumlah penderita OA, hasilnya kurang lebih 11,5% penduduk di Indonesia. dari OA. Artinya dari setiap 10 orang di Indonesia terdapat satu orang penderita osteoarthritis (Mirawati,2021., pp. 1–5)

Prevalensi osteoarthritis di Indonesia cukup tinggi, 15,5% pada laki-laki dan 12,7% pada perempuan. Studi tersebut menemukan bahwa 1-2 juta lansia di Indonesia memiliki disabilitas

Osteoartritis Nyeri pada pasien osteoarthritis merupakan nyeri muskuloskeletal yang termasuk dalam kelompok nyeri kronis.Orang yang menderita sakit kronis memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, mereka cenderung merasa putus asa dan tidak berdaya karena berbagai obat tidak dapat menghilangkan rasa sakit pada pasien osteoarthritis (Tjahyadi Vicynthia, 2017, pp. 28–30)

Nyeri yang tidak diobati dapat menyebabkan tekanan emosional dan memicu kekambuhan penyakit, sehingga pengasuh harus mengambil langkah-langkah untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan pasien sambil mengelola nyeri.Nyeri osteoarthritis merupakan nyeri sendi degeneratif yang disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, salah satunya adalah peradangan. Nyeri merupakan gejala utama osteoarthritis yang diperantarai oleh berbagai faktor seperti: B. keparahan penyakit radiografi, persarafan sendi perifer dan sentral yang sensitif, dan faktor psikologis (Suriya Melti and zurianti, 2019, pp. 515–516)

Sampai saat ini, penyebab pasti dari osteoarthritis tidak diketahui, meskipun faktor obesitas, genetika dan biometrik berperan. Diperkirakan dapat berperan dalam osteoarthritis: adanya nyeri seringkali membuat penderitanya takut untuk berolahraga, sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat mempengaruhi produktivitas. Mengalami rasa sakit membuat pasien frustasi untuk menjalaninya(Tjahyadi Vicynthia, 2017, p. 29)

Perawat melakukan intervensi osteoarthritis pada pasien usia lanjut dengan pengobatan farmakologis Semua obat yang diberikan untuk mengatasi osteoarthritis harus diberikan bersamaan dengan pengobatan non farmakologis agar pengobatan pasien osteoarthritis menjadi efektif. Obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengobati osteoartritis secara farmakologis, seperti asetaminofen dan beberapa suplemen makanan, juga dapat digunakan untuk meredakan nyeri dan memperlambat perkembangan penyakit.Terapi senam osteoporosis untuk orang dengan mobilitas fisik yang kurang dan penyakit kronis seperti mobilitas fisik, namun sangat membutuhkan perawatan berkelanjutan yang membutuhkan peran perawat, seperti: B. penggunaan kompres minyak lemon dan aromaterapi lavender.

Senam Sendi Tulang (Sentul) merupakan senam pencegahan osteoporosis yang dikembangkan oleh Kelompok Kajian Osteoporosis FKUI/RSUPN-CM bekerja sama dengan Persatuan Senam Fitness Indonesia untuk menstimulasiPembentukan massa tulang dan diharapkan senam ini bertujuan untuk mencegah keropos tulang seiring bertambahnya usia. (Tjahyadi Vicynthia, 2017, pp. 20–29)

Penelitian ini pernah dilakukan oleh (Andriani Mardriani and Yanti Sri, 2019, p. 409). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan melakukan senam osteoporosis dapat menurunkan keluhan nyeri lutut pada lansia, dilihat dari adanya penurunan kualitas nyeri.

Hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan di panti werdha palembang terdapat 4 lansia yang sudah dilakukan wawancara mengalami nyeri pada bagian muskulokeletal masalah ini sering di temui di panti werdha darma bakti Penyakit ini dapat menyebabkan nyeri dan peradangan pada area persendian. Nyeri dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk beristirahat atau tidur, berkonsentrasi, dan melakukan aktivitas lainnya.Jika tidak diobati, hal itu menyebabkan efek samping seperti tekanan psikologis dan dapat memicu kekambuhan yang memerlukan pengobatan yaitu dengan dilakukan terapi penerapan senam osteoporosis.

B.     Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti uraikan diatas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana penerapan “Penerapan Osteoporosis exercise Therapy Pada Lansia Dengan Gangguan Nyeri Muskulkeletal ”

C.    Tujuan Penulisan

1.      Tujuan Umum

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada lansia dengan nyeri muskulokeletal dengan senam oteporosisi

2.      Tujuan Khusus

a.         Untuk mengetahui pengkajian pada pasien Untuk merumuskan diagnosis keperawatan pada pasien dengan nyeri muskulokeletal dengan intervensi senam oteporosisi

b.      Untuk menyusun intervensi keperawatan pada pasien dengannyeri muskulokeletal dengan intervensi senam oteporosisi

c.        Untuk melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan nyeri muskulokeletal dengan intervensi senam oteporosisi

d.       Untuk melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan  nyeri muskulokeletal dengan intervensi senam oteporosisi

e.       Untuk melakukan discharge planning pada pasien dengan nyeri muskulokeletal dengan intervensi senam otseporosisi

 

D.    Manfaat Penelitian

1.      Secara Teoritis

Hasil studi kasus ini dapat digunakan untuk perkembangan pengetahuan dan wawasan dalam mencari pemecahan masalah yang berhubungan dengan Asuhan Keperawatan osteoporosis pada lansia.

2.      Manfaat Praktis

a.         Bagi Keluarga

Diharapkan Keluarga mampu melaksanakan tugas kesehatan keluarga  dengan masalah osteoporosis mulai dari mengenal atau mengetahui masalah kesehatan, mengambil keputusan yang tepat, melakukan perawatan, modifikasi lingkungan dan memanfaatkan fasilitas kesehatan.

b.        Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat di jadikan tambahan informasi dan ilmu pengetahuan untuk institusi pendidikan dan dapat di gunakan sebagai referensi di perpustakan sebagai bahan bacaan dan dasar untuk penelitian selanjutnya..

c.         Bagi panti

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam meningkatkan “Asuhan Keperawatan senam osteoporosis meredakan nyeri pada muskolokeletal

 

 

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

 

A.    Lansia

1.      Definisi

Lansia adalah seseorang individu yang berusia lebih dari 45 tahun atau 60 tahun. Perubahan-perubahan pada proses “aging” atau penuaan adalah masa ketika seseorang individu berusaha untuk tetap menjalani hidup dengan bahagia melalui berbagai perubahan pada hidup. Sebagian besar teori terkait dengan penuaan menjelaskan bahwa perubahan fisiologis serta psikologis pada lansia.Diperlukan adaptasi atau penyesuaian seorang individu dalam menghadapi perubahan ini.Fokus dan penekanan intervensi dilakukan dengan melibatkan keluarga sebagai sistem yang sangat mempengaruhi kehidupan lansia (Maryam Siti et al., 2018, p. 32).

Menurut pasal 1 ayat (2),(3),(4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam Siti et al., 2018, p. 33).

Lansia atau menua merupakan suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Menua adalah proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dai suatu waktu tertentu, dimulai sejak permulaan kehidupan. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik, yang di tandai dengan kulit yang mengendur, gigi mulai ompong, rambut memutih, pendengaran kurang jelas, gerakan lambat, pengelihatan semakin memburuk dan figure tubuh tidak professional (Maryam Siti et al., 2018, pp. 32–34)

2.      Proses Penuaan

Proses penuaan berawal dari sesudah pertumbuhan di usia 25 tahun. Beberapa orang menyadari bahwa proses penuaan (di luar, rambut menjadi putih) pada proses ini awalnya tidak menimbulkan permasalahan. Selanjutnya, proses penuaan terjadi semakin cepat dan perubahan fisiologis yang terlihat serta tidak terlihat.Perubahan fisik yang tidak 9 terlihat ini contohnya perubahan fungsi organ, seperti pengelihatan dan pendengaran.Perubahan fisik yang terlihat ini, seperti rambut yang beruban, gigi yang ompong, kulit yang mulai keriput dan mengendur serta adanya penumpukan lemak pada pinggang dan perut.(Handajani Fitri, 2019, pp. 16–17)

Terdapat beberapa teori terkait dengan penuaan yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi serta dampak pada aspek psikososial dan fisiologis.

a.       Teori Neourendokrin

Terkait dengan sistem saraf serta pengaturan hipofisis, dalam proses penuaan terjadi gangguan pada area neurologi, yaitu ketika reaksi yang dibutuhkan untuk menerima, memperoses, dan merespons terhadap perintah (Handajani Fitri, 2019, p. 17)

b.      Teori Imunitas

Seiring dengan berjalannya proses penuaan, teori sistem imun ini mengungkapkan adanya penurunan imunitas terkait dengan pertahanan terhadap agen pathogen atau organisme asing. Penyakit yang bisa muncul antara lain penyakit infeksi dan kanker. Terkait dengan peran kelenjar timus, dan kemampuan diferensiensi sel T maka kemungkinan terjadi respons autoimun serta akan timbul penyakit seperti atritis rheumatoid alergi Teori Aktivitas

Pada teori ini menjelaskan bahwa hilangnya fungsi peran di lansia secara negatif mempengaruhi kepuasaan hidup (Handajani Fitri, 2019, pp. 17–18)

c.       Teori Kepribadian

Pada teori ini, dijelaskan bahwa penuaan yang sehat tidak tergantung pada jumlah aktivitas sosial seseorang. Akan tepati bagaimana kepuasan orang tersebut dengan kegiatan sosial yang akan dilakukannya(Handajani Fitri, 2019, p. 18)

d.      Teori Kontinuitas

Teori ini menyebutkan bahwa kepribadian seorang seiring dengan proses penuaan cenderung tidak berubah serta lebih jelas ketika orang  tersebut bertambah tua. Seorang yang senang serta mempunyai kehidupan sosial yang aktif akan terus menikmati gaya hidupnya hingga usia lanjut. Sementara itu, orang yang menyukai kesendirian dan mempunyai jumlah kegiatan yang terbatas mungkin akan menemukan kepuasan dalam melanjutkan gaya hidupnya. Proses komunikasi sebagai poin penting dalam menjelaskan peran keluarga akan sangat menentukan bagaimana fungsi afektif lansia, orientasi nilai lansia, dan fungsi sosialisasi mereka (Handajani Fitri, 2019, pp. 18–19)

3.      Klasifikasi Lansia

Ada lima klasifikasi pada lansia (Maryam Siti et al., 2018, p. 33):

a.       Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45-59 tahun

b.      Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

c.       Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih

d.      Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain

Menurut World Health Organization (WHO) lansia dibagi menjadi empat kelompok (Hidayati, 2018).

a.       Usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun

b.      Lansia (elderly) 60-74 tahun

c.       Lansia tua (old) 75-90 tahun

d.      Lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun

 

4.      Tipe lansia

Beberapa tipe pada lansia bergantung pada pengalaman hidup, karakter, lingkungan, mental, sosial,dan ekonomi. Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (Maryam Siti et al., 2018, pp. 33–34)

a.       Tipe mandiri

Selektif dalam mencari pekerjaan, mengganti kegiatan yang hilang dengan baru, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

b.      Tipe bingung

Kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, kaget, minder, pasif, dan acuh tak acuh.

 

c.       Tipe tidak puas

Konflik lahir dan batin menolak proses penuaan sehingga menjadi mudah tersinggung, sulit dilayani, tidak sabar dan banyak menuntut.

d.      Tipe pasrah

Menunggu dan menerima nasib baik, melakukan pekerjaan apa saja dan mengikuti kegiatan agama.

e.       Tipe Arif

Bijaksana Kaya dengan hikmah, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, pemakaman, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

 

5.      Perubahan Fisik Dan Fungsi Akibat Proses Penuaan

Perubahan fisik dan fungsi akibat penuaan yang dialami pada lansia adalah sebagai berikut : (Handajani Fitri, 2019, pp. 18–20)

1)      Sel

1) Jumlah sel menurun

2) Jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang

3) Jumlah sel otak menurun

4) Mekanisme perbaikan otak terganggu

5) Otak menjadi atrofi

6) Lekukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar.

b. Sistem persarafan

1) Menurun hubungan persarafan

2) Berat otak menurun 10-20%

3) Respon dan waktu untuk bereaksi lambat, khusus nya terhadap stress

4) Saraf pancaindra mengecil

5) Penglihatan berkurang, pendengaran menghilang, saraf penciuman dan perasa mengecil, lebih sensitif terhadap perubahan suhu

6) Kurang sensitif terhadap sentuhan

7) Defisit memori

c. Sistem pernafasaan

1) Otot pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi

2) Aktivitas silia menurun

d. Sistem pendengaran

1)   Gangguan pendengaran. Hilangnya daya pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata

2)   Membran timpani menajdi atrofi menyebabkan otosklerosis

3)   Terjadi pengumpulan serumen, dapat mengeras karena peningkatan keratin

4)   Fungsi pendengaran semakin menurun pada lansia yang mengalami stress

5)   Tinnitus (bising yang bersifat mendengung, bisa bernada tinggi atau rendah)

6)   Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang atau berputar)

e.    Sistem genitourinaria

1)   Ginjal

Ginjal merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui urine darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang disebut nefron akibat atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50% sehingga fungsi tubulus berkurang. Mengakibatkan kemampuan mengosentrai urine menurun, penurunan berat jenis urine, proteinuria ( biasanya +1), BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat smapai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. Keseimbangan elektrolit dan asam lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia muda. Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerolus Filtration Rate (GFR) atau klirens kreatinin menurun secara linier sejak usia 30 tahun. Jumlah darah yang difiltrasi oleh ginjal berkurang.

2)   Vesika urinaria

Otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun, sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi buang air seni meningkat.Pada pria lansia, vesika urinaria sulit dikosongkan sehingga mengakibatkan retensi urine meningkat. 3) Pembesaran prostat Kurang lebih 75% dialami oleh pria usia diatas 65 tahun.

f.        Sistem penglihatan

1)      Spinger pupil timbul sclerosis dan respon terhadap sinar menghilang

2)      Kornea lebih berbentuk sferis (bola)

3)      Lensa lebih suram, kemudian menjadi katarak

4)      Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap

5)      Penurunan daya akomodasi, dengan manifestasi presbyopia, seseorang sulit melihat dekat karena berkurangnya elastisitas lensa

6)      Penurunan lapang pandang dan berkurangnya luas pandang 7) Vertigo (perasaan tidak setabil terasa seperti bergoyangatau berputar)

g.      Sistem kardiovaskuler

1)      Katup jantung menebal menjadi kaku

2)      Elastisitas dinding aorta menurun

3)      Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun setelah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan kontraksi dan volume jantung menurun

4)      Curah jantung menurun

5)      Kehilangan elastisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi berkurang

6)      Kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan perdarahan

7)      Tekanan darah meningkat akibat resistensi pembuluh darah perifer meningkat sehingga menyebabkan hipertensi pada lansia

B.     Konsep Osteoarthritis

1.      Pengertian Osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan bentuk artritis yang paling umum dan terutama sering terjadi pada orang lanjut usia atau sering disebut sebagai penyakit degeneratif. Osteoartritis adalah penyakit sendi yang paling umum di seluruh dunia Menurut Pusat Statistik Kesehatan Nasional, sekitar 15,8 juta (12%) orang dewasa berusia 25 hingga 74 tahun menderita osteoartritis. Prevalensi dan keparahan osteoarthritis bervariasi antar daerah dan lansia.(Andriani Mardriani and Yanti Sri, 2019, pp. 28–29)

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang sering menyerang orang lanjut usia bahkan paruh baya akibat cedera atau penggunaan sendi yang berlebihan (Septiani Dia et al., 2022, p. 108)

Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit rematik yang terutama menyerang lansia akibat gangguan metabolisme yang diikuti dengan perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia (Ariyaanti, 2021). OA merupakan penyakit multifaktorial yang disebabkan oleh berbagai faktor risiko seperti usia, obesitas, kerusakan sendi, kelainan genetik tulang rawan sendi dan tekanan berlebih pada sendi akibat stres (Tika dan Aryana, 2018). Gejala utama yang paling umum dari pasien OA adalah nyeri dan kaku pada persendian.Nyeri sendi bisa terjadi jika ketegangan terlalu tinggi.Kekakuan sendi akibat imobilitas atau aktivitas sendi biasanya terjadi pada pagi hari saat baru bangun tidur atau saat istirahat di siang hari.Sendi juga dapat mengalami kemerahan, kehangatan, dan nyeri tekan, yang mengakibatkan rasa kaku, tidak bergerak, dan kelainan bentuk. (Septiani Dia et al., 2022, pp. 108–109)

Jadi berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat menyimpulakan bahwa osteoarthritis merupakan penyakit yang paling sering dialami oleh lansia akbita gangguan dan beberapa perubahan pada sistem muskoloskeletal.

2.      Klasifikasi Osteoarthritis

Osteoarthritis (Septiani Dia et al., 2022, p. 110)diklasifikasikan menjadi macam dua, yaitu :

a)      Osteoarthritis primer

Disebut juga Osteoarthritis idiopatik yang mana penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik, inflamasi, ataupun perubahan lokal pada sendi.

b) Osteoartritis sekunder

Penyebabnya adalah mis. B. Penggunaan sendi yang berlebihan selama tugas kerja, olahraga berat, cedera sebelumnya, penyakit sistemik, peradangan, kondisi traumatis

Sendi, penyakit keturunan, faktor gaya hidup dan respon imun dapat memicu osteoarthritis.  Adapun klasifikasi keparahan osteoarthritis yaitu menggunakan system Kellgren & Lawrence (Pratama, 2019) yang menggunakan 5 tahap yaitu :

1)      Tahap 0 : Radiografik tidak menunjukan adanya Osteoarthritis.

2)      Tahap 1 : Hampir tidak ada penyempitan ruang sendi dan kemungkinan ada Osteofit.

3)      Tahap 2 : Adanya osteofit dan kemungkinan adanya penyempitan ruang sendi pada radiografi dengan anteroposterior weight- bearing.

4)      Tahap 3 : Terlihat beberapa osteofit, adanya penyempitan ruang sendi, sclerosis, kemungkinan deformitas tulang.

5)      Tahap 4 : Terdapat osteofit yang besar, penyempitan; ruang sendi sangat jelas, sklerosis berat dan adanya deformitas tulang.

3.      Etiologi Osteoarthritis

Etiologi atau penyebab penyakit sendi degeneratif ini (Risnanto and Insani Uswatun, 2014, pp. 76–77). sudah diketahui secara pasti, namun banyak faktor yang dapat menyebabkan penyakit ini, antara lain:

1)      Usia

Semakin tua seseorang, semakin tinggi faktor risiko osteoarthritis lutut.Hal ini karena sendi lutut yang berfungsi untuk menopang berat badan sering mengalami kompresi atau tekanan dan gesekan, yang dapat menyebabkan tulang rawan yang menutupi tulang keras sendi lutut lama kelamaan menjadi aus dan rentan mengalami degenerasi.  

2)      Obesitas

Jelas bahwa kelebihan berat badan atau obesitas dapat menjadi faktor risiko berkembangnya osteoartritis lutut.Berat berlebih meningkatkan kompresi atau tekanan atau keteganganSendi lutut Semakin banyak sendi lutut, semakin besar risiko kerusakan tulang.

3)      Herediter atau faktor bawaan

Struktur tulang rawan dan laxity pada sendi, serta permukaan sendi yang tidak teratur yang dimiliki seseoranmg sebagai faktor bawaan merupakan faktor resiko terjadinya osteoarthritis lutut.

4)      Trauma pada sendi

Terjadinya trauma, benturan atau cidera pada sendi lutut juga dapat menyebabkan kerusakan atau kelainan pada tulang-tulang pembentuk sendi tersebut.

5)      Pekerjaan dan aktivitas sehari-hari

Pekerjaan dan aktivitas yang banyak melibatkan gerakan lutut juga merupakan salah satu penyebab osteoarthritis pada lutut.

6)      Faktor hormonal dan penyakit metabolic

Perubahan degeneratif pada sendi lutut bisa terjadi akibat perubahan hormonal yang terjadi pada wanita yang sudah menopuse.Selain itu, seseorang yang memiliki deabetes militus juga bisa terkena osteoarthritis lutut.

4.      Patofisiologi osteoarthritis

Pada osteoartritis, proses degeneratif, reparatif, dan inflamasi terjadi pada jaringan ikat, tulang rawan, sinovium, dan tulang subkondral. Selama penyakit aktif, salah satu proses dapat berupa domain atau beberapa, terjadi secara bersamaan dengan intensitas yang bervariasi. OA lutut dikaitkan dengan berbagai defisit patofisiologi seperti: B. Ketidakstabilan sendi lutut, rentang gerak lutut (LGS) yang terbatas, nyeri lutut yang sangat parah terkait dengan melemahnya otot paha depan, yang merupakan penstabil utama dari sendi lutut dan juga melindungi struktur sendi lutut. . Pada pasien usia lanjut yang tidak menderita OA lutut, kekuatan quadriceps femoris dapat menurun 1/3 dibandingkan dengan kekuatan quadriceps femoris pada kelompok umur yang sama.(Cahyati Yanti, 2022, pp. 3–5)

Osteoarthritis adalah penyakit sendi degeneratif yang merupakan penyakit kronis, non-inflamasi dan progresif lambat. Osteoartritis tidak hanya terkait dengan proses degeneratif, tetapi juga melibatkan kombinasi dari degenerasi tulang rawan, remodeling tulang subkondral, dan artritis. Berbagai faktor seperti usia, tekanan mekanis atau penggunaan sendi yang berlebihan, cacat mekanis, obesitas, faktor genetik, humoral, dan budaya dapat menyebabkan kerusakan mekanis dan kimiawi pada sinovium sendi. Cedera mekanis dan kimiawi ini dianggap sebagai faktor penting yang merangsang pembentukan molekul abnormal dan produk degradasi tulang rawan dalam cairan synovial.(Cahyati Yanti, 2022, pp. 2–4)

5.      Manifestasi klinis

Tanda dan gejala menurut (Suriya Melti and zurianti, 2019, pp. 30–33)tanda dan gejala yang biasa dialami oleh penderita osteoarthritis yaitu:

a)      Keluhan sakit dan linu.

b)      Nyeri terutama pada malam atau pagi hari saat bangun tidur.

c)      Sendi yang terkena osteoarhritis terlihat bengkak, kemerahan, panas, dan kaku.

d)      Keluhan nyeri sendi yang luar biasa

e)      Sendi yang terkena osteoarthritis terdengar suara gesekan saat menggerakan sendi.

f)       sendi yang terkena serangan osteoarthritis berulang adalah jari tangan, lutut, pinggul, dan tulang punggung.

g)      Sendi yang terserang osreoarthritis akan membengkak dan kulit biasnya akan berwaran merah atau kekuningan, terdengar suara gesekan saat menggerakan sendi,otot lemah dan masa otot berkurang,muncul taji atau tulang tambahan,timbul benjolan pada sendi di jari tangan,dan jari tangan bengkok.

6.      Komplikasi osteoarthritis

Komplikasi yang berkaitan dengan osteoarthritis dapat terjadi jika osteoarthritis tidak ditangani secara serius. Ada (Suriya Melti and zurianti, 2019, p. 30). dua jenis komplikasi, yaitu:

a)      Komplikasi akut seperti osteonekrosis, kista tulang belakang pecah, bursitis.

b)      Komplikasi kronis bermanifestasi dalam bentuk kegagalan tulang, yang terburuk adalah kelumpuhan.  

7.      Pengobatan osteoarthritis

Pengobatan osteoarthritis biasanya bersifat simtomatis dan berfokus pada beberapa hal, yaitu memperpanjang perjalanan penyakit, mengendalikan gejala yang muncul dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Hal ini dapat dicapai dengan menggabungkan pengobatan nonfarmakologis dan farmakologis(Andriani Mardriani and Yanti Sri, 2019, pp. 1–3).

a)              Pengobatan nonfarmakologis

Perawatan non-obat yang paling umum untuk meredakan gejala seperti nyeri adalah penurunan berat badan, terapi fisik, dan rehabilitasi. Selain itu, pelatihan juga diperlukan agar pasien mengetahui sedikit tentang kekhasan penyakitnya, bagaimana cara melindungi diri agar penyakit tidak bertambah parah dan persendian tetap dapat digunakan.

Terapi non-obat terdiri dari pendidikan, penurunan berat badan, terapi fisik dan terapi okupasi. Dalam pendidikan, yang terpenting adalah pasien mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain. Meskipun OA tidak dapat disembuhkan, kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan

Fisioterapi dan terapi okupasi bertujuan untuk memungkinkan mereka yang terkena dampak mencapai fungsi optimal dan bergantung pada orang lain. Terapi ini terdiri dari pendinginan, pemanasan dan pelatihan penggunaan alat bantu. Terapi fisik dan okupasi merekomendasikan penguatan otot, peningkatan jangkauan gerak sendi dan latihan aerobik.Latihan dilakukan tidak hanya untuk pasien yang belum menjalani operasi, tetapi juga untuk pasien yang datang dan telah menjalani operasi, sehingga pasien dapat segera mandiri setelah operasi dan mengurangi komplikasi akibat operasi.

b)      . Pengobatan farmakologis

Selama pengobatan, digunakan obat-obatan tertentu yang dapat digunakan sebagai pengobatan farmakologis untuk osteoartritis, seperti parasetamol, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), suntikan asam hialuronat atau kortikosteroid, inhibitor reuptake serotonin-norepinefrin (SNRI), duloxetine.dan intraa. - opioid sendi. Selain itu, beberapa suplemen makanan juga dapat digunakan untuk meredakan nyeri dan memperlambat perkembangan penyakit.  

C.    Konsep Nyeri 

1.              Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan actual . Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (non noksius, epikritik) misalnya: sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan.(Mutaqin Arif, 2015, pp. 502–503)

Definisi tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah hasil kerusakan struktural, bukan saja tanggapan sensorik dari suatu proses nosisepsi, tetapi juga merupakan tanggapan emosional (psikologik) yang didasari atas pengalaman termasuk pengalaman nyeri sebelumnya. Persepsi nyeri menjadi sangat subjektif tergantung kondisi emosi dan pengalaman emosional sebelumnya.Toleransi terhadap nyeri meningkat bersama pengertian, simpati, persaudaraan, pengetahuan, pemberian analgesik, anisolitik, antidepresan dan pengurang gejala.Sedangkan toleransi nyeri menurun pada keadaaan marah, cemas, bosan, kelelahan, depresi, penolakan sosial, isolasi mental dan keadaan yang tidak menyenangkan.(Mutaqin Arif, 2015, p. 504)

Nyeri pada dasarnya adalah reaksi fisiologis karena merupakan reaksi perlindungan untuk menghindari stimulus yang membahayakan tubuh.Tetapi bila nyeri tetap berlangsung walaupun stimulus penyebab sudah tidak ada, berarti telah terjadi perubahan patofisiologis yang justru merugikan tubuh dan membutuhkan terapi

2.      Etiologi nyeri

Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) penyebab nyeri akut adalah:

a)    Agen pencedera fisiologis (inflamasi, iskemia, neoplasma)

b)    Agen pencedera kimiawi (terbakar, bahan kimia iritan)

c)    Agen pencedera fisik (abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)

3. Klarifikasi nyeri

Nyeri terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) Nyeri akut dan (2) Nyeri kronis.Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai suatu pengalaman sensori, persepsi, dan emosional yang tidak nyaman yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan, yang disebabkan oleh kerusakan jaringan.Nyeri akut biasanya mempunyai awitan yang tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik.Nyeri kronik merupakan nyeri berulang yang menetap dan terus menerus yang berlangsung selama enam bulan atau lebih.Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.(Mutaqin Arif, 2015, pp. 504–505)

Pengetahuan tentang nyeri sangat penting untuk menyusun program penghilangan nyeri pasca pembedahan. Derajat nyeri dapat diukur dengan macam-macam cara, misalnya tingkah laku pasien, skala verbal dasar/ Verbal Rating Scales (VRS), dan yang umum adalahskala analog visual/ Visual Analogue Scales (V).

a.      Wong-Baker Faces

Wong-baker faces mengembangkan skala wajah untuk menjelaskan lokasi nyeri. Skala ini dapat digunakan untuk anak-anak, pasien yang mengalami gangguan kognitif ringan hingga sedang dan juga dapat digunakan pada penderita dengan gangguan bisu bahasa (Mariason j Moya, 2014, pp. 31–32)

b.         Verbal Rating Scale

Skala verbal ini menggunakan kalimat yang selalu dipakai seperti nyeri ringan, sedang dan berat untuk mengukur intesitas nyeri yang dialami (Mariason j Moya, 2014, p. 31)

c.          Numeric pain rating scale

Skala numerik sering digunakan untuk menilai derajat nyeri. Penderita akan menilai nyeri dengan menggunakan skala ini dari 0-10. Skala numerik paling efektif dan mudah untuk digunakan saat mengkaji intenitas nyeri sebelum dan sesudah pengobatan.Keterangan skala numerik 0 tidak nyeri, 1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang.Pasien mendesis, menyeringai, dapat mendeskripsikan, mengikut perintah dengan baik dan menunjukkan lokasi nyeri.Skala 7-9 nyeri berat, skala 10 nyeri sangat berat (Mariason j Moya, 2014, p. 33)

D. Konsep Senam Osteoporosis

1. Pengertian senam osteoporosis

               Latihan osteoporosis adalah aktivitas yang merangsang kekuatan otot, tulang, dan gerakan, yang biasanya ditambahkan beberapa jenis permainan yang meningkatkan koordinasi, keseimbangan, dan fleksibilitas.Latihan untuk osteoporosis adalah kombinasi dari beberapa latihan aerobik dan benturan ringan yang berbeda, latihan kekuatan dengan beban di kedua tangan, latihan keseimbangan, dan latihan pernapasan. (Hidayat Achmad Asep, 2022, pp. 271–272)

2. Manfaat senam esteoporosis

               Gerakan aerobik yang terlibat dalam latihan osteoporosis berat meningkatkan kepadatan di tulang belakang, pinggang dan pinggul, dan saat latihan duduk di kursi, aman untuk sendi pinggul dan lutut.Latihan kekuatan otot, menggunakan beban di kedua tangan untuk setiap beban, bermanfaat dalam mengurangi risiko patah tulang pergelangan tangan.Latihan keseimbangan agar lansia tidak mudah jatuh Latihan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan perlahan.Latihan pernapasan sangat baik karena membawa banyak oksigen ke otot, pembuluh darah, kepala, otak, jantung dan paru-paru, yang menenangkan kehidupan atau aktivitas sehari-hari dan meningkatkan energi., dan manajemen stres.Tekankan bahwa senam osteoporosis juga dapat menjaga postur tubuh, menjaga kelenturan dan mobilitas otot, meningkatkan kerja jantung dan paru-paru, menjaga keseimbangan tubuh dan melatih koordinasi anggota gerak. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan fisik yang dihasilkan oleh otot dan tulang yang memerlukan atau memerlukan pengeluaran energi yang melebihi kebutuhan energi istirahat, diukur dalam kilokalori (Hidayat Achmad Asep, 2022, p. 272)

3.      Konsep Asuhan Keperawatan

1.         Identitas demografi

a.    Identitas

Meliputi : Nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan sebelumnya, pendidikan terakhir.

b.    Identitas Keluarga/ orang terdekat

Meliputi: nama, alamat, hubungan dengan klien

c.    Riwayat kesehatan

Menanyakan keluhan utama dan riwayat kesehatan saat ini

2.         Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah suatu proses pelaksanaan terapi keperawatan lansia  yang berbentuk intervensi mandiri atau kolaborasi melalui pemanfaatan sumber-sumber yang dimiliki. Implementasi di prioritaskan sesuai dengan kemampuan lansia  dan sumber yang dimiliki keluarga (Friedman, 2010). Implementasi yang diberikan berupa senam hipertensi pada lansia untuk menurunkan tekanan darah pada lansia.

3.      Evaluasi keperawatan

Evaluasi berdasarkan pada seberapa efektif intervensi yang dilakukan keluarga, perawat dan lainnya.Keberhasilan lebih ditentukan oleh hasil pada sistem keluarga dan anggota keluarga (bagaimana anggota berespons) daripada intervensi yang diimplementasikan.Evaluasi merupakan kegiatan bersama antara perawat dan keluarga. Evaluasi merupakan proses terus menerus yang terjadi setiap saat perawat memperbarui rencana asuhan keperawatan (Friedman, 2010). Sedangkan menurut Ayu (2010), evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan.

4.      Dischard Planning

Discharge Planning atau Perencanaan pulang merupakan suatu proses yang dinamis dan sistematis dari penilaian, persiapan, serta koordinasi yang dilakukan untuk memberikan kemudahan pengawasan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial sebelum dan sesudah pulang. Perencanaan pulang merupakan proses yang dinamis, agar tim kesehatan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk menyiapkan pasien melakukan keperawatan mandiri di rumah. Perencanaan pulang didapatkan dari proses interaksi ketika keperawatan profesional, pasien, dan keluarga berkolaborasi untuk memberikan dan mengatur kontinuitas keperawatan yang diperlukan oleh pasien saat perencanaan harus berpusat pada masalah pasien yaitu pencegahan, terapeutik, rehabilitatif, serta keperawatan rutin yang sebenarnya (Nursalam,2014).

 

  

 


0 Reviews:

Posting Komentar

Silahkan tinggal pesan, dilarang SPAM, SARA dan Melanggar Hukum