Tampilkan postingan dengan label hubungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hubungan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 November 2014

HUBUNGAN KEKUATAN JARI TANGAN TERHADAP KEMAMPUAN PASSING ATAS PERMAINAN BOLA VOLI SISWA EKSTRAKULIKULER SMAXXXX SUNGAI LILIN KABUPATEN MUSI BANYUASIN

Posted by with No comments
Proposal Skripsi
HUBUNGAN KEKUATAN JARI TANGAN TERHADAP KEMAMPUAN PASSING ATAS PERMAINAN BOLA VOLI SISWA EKSTRAKULIKULER SMAXXXX SUNGAI LILIN KABUPATEN MUSI BANYUASIN

1.             Latar Belakang
Olahraga merupakan aktivitas fisik yang dilakukan untuk mendapatkan tubuh sehat dan kuat, aktivitas itu sendiri cenderung yang menyenangkan dan menghibur. Kata olahraga berasal dari bahasa Indonesia asli, tidak sama dengan sport. Olahraga berarti mengolah atau menyempurnakan jasmani atau fisik. Melihat dari tujuannya, olahraga dibagi menjadi tiga yaitu olahraga pendidikan, olahrgaga prestasi, dan olahraga rekreasi. Pendidikan jasmani olah raga dan kesehatan (PJOK) yang ada disekolah merupakan aktivitas fisik yang merupakan sarana untuk menyehatkan jasmani dan rohani pelajar sekaligus juga memberikan pendidikan kesehatan yang mendasar kepada peserta didik. 

Permainan bola voli merupakan salah satu permainan yang kompleks yang tidak mudah dilakukan oleh setiap orang, karena dalam permainan bola voli dibutuhkan koordinasi gerak yang benar-benar bias diandalkan untuk melakukan semua gerakan yang ada dalam permainan bola voli. Sutarmin dan Sri Wahyuni (2010 :25) menjelaskan bahwa, “permainan bola voli adalah merupakan salah satu jenis permainan bola besar. Permainan bola voli dilakukan oleh dua regu terdiri atas enam pemain. Setiap regu saling memantulkan bola yang melewati atas net atau jaring”. Walaupun begitu, permainan bola voli sangat cepat berkembang dan merupakan salah satu cabang olahraga yang sangat popular di Indonesia setelah cabang olahraga sepak bola dan bulu tangkis.
selengkapnya anda dapat menghubungi kami di 082307286262 / Rio..






Sabtu, 24 November 2012

Hubungan pola pemberian ASI dengan Produksi ASI pada ibu meyusui pada bayi usia 1 – 2 Tahun di

Posted by with No comments
BAB I
PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan dilaksanakan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan antara lain adalah penurunan angka kematian Bayi dan peningkatan status gizi masyarakat. Indonesia saat ini masih menghadapi masalah gizi ganda yaitu kondisi dimana disatu sisi masih banyaknya jumlah penderita gizi kurang, sementara disisi lain jumlah masyarakat yang mengalami gizi lebih cenderung meningkat. Masalah gizi ganda ini sangat erat kaitannya dengan gaya hidup masyarakat dan perilaku gizi. Status gizi masyarakat akan baik apabila perilaku gizi yang baik dilakukan pada setiap tahap kehidupan termasuk pada Bayi.
ASI Ekslusif adalah pemberian ASI (air susu ibu) sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa terjadwal dan tidak diberi makanan lain walaupun air putih sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan bayi diperkenalkan dengan makanan tambahan yang lain. Karena pada saat berumur 6 bulan sistem pencernaannya mulai matur.
Sebelum tahun 2001, World Health Organization (WHO) merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif selama 4-6 bulan. Namun pada tahun 2001, setelah melakukan telaah artikel penelitian secara sistematik dan berkonsultasi dengan para pakar, WHO merevisi rekomendasi ASI eksklusif tersebut dari 4-6 bulan menjadi 6 bulan.  Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran (Linkages, 2010).
Meskipun usaha untuk meningkatkan pemberian ASI Eksklusif sangat gencar dilakukan tapi pemberian ASI di Indonesia masih memprihatinkan. Hal tersebut tergambar dari cakupan pemberian ASI ekslusif 6 bulan hanya 39,5% dari keseluruhan bayi dan terdapat peningkatan pemakaian susu formula sampai 3 kali lipat antara 1997-2002. Berdasarkan data yang ada pada tahun 2002-2003 bayi dibawah usia 4 bulan yang diberi ASI ekslusif hanya 55% sementara itu pemberian ASI ekslusif pada bayi usia 2 bulan hanya 64%. 60 % pada bayi berusia 2-3 bulan dan 14% pada bayi 4-5 bulan (Meutia, H, 2008). Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997-2007 memperlihatkan terjadinya penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 40,2% pada tahun 1997 menjadi 39,5% dan 32% pada tahun 2003 dan 2007 (Fikawati, 2010).
Berdasarkan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2010, baru ada 33,6 persen bayi umur 0-6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Bahkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menyebutkan, hanya 15,3 persen bayi umur kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif.  Secara nasional, jumlah konselor menyusui baru mencapai 2.921 orang. Jumlah ini masih terlalu kecil dari target yang dibutuhkan sekitar 9.323 konselor. Oleh karenanya, Pemerintah melalui Kementrian kesehatan mengupayakan agar setiap pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas dan Rumah Sakit tersedia konselor menyusui untuk membantu para ibu yang memiliki kendala memberikan ASI.
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2002–2003 hanya 4% bayi yang mendapat ASI dalam satu jam pertama kelahirannya, dan hanya 8% bayi di Indonesia yang mendapat ASI Eksklusif enam bulan, sementara target Pemerintah tahun 2010 ingin mencapai ASI Eksklusif sebanyak 80%. Hal ini disebabkan antara lain karena rendahnya pengetahuan para ibu mengenai manfaat ASI dan cara menyusui yang benar, kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari Petugas Kesehatan, persepsi – persepsi sosial budaya yang menentang pemberian ASI, kondisi yang kurang memadai bagi para ibu yang bekerja dan pemasaran agresif oleh perusahan – perusahan susu formula yang tidak saja mempengaruhi para ibu namun juga Petugas Kesehatan (Baskoro, 2008).
Persiapan menyusui pada masa kehamilan merupakan hal yang penting sebab dengan persiapan yang lebih baik maka ibu lebih siap untuk menyusui bayinya sehingga ibu hamil masuk dalam kelas Bimbingan Persiapan Menyusui (BPM). Demikian pula suatu pusat pelayanan ibu hamil yang dapat menunjang kebijakan yang berkenaan dengan pelayanan ibu hamil yang dapat menunjang keberhasilan menyusui (Soetjiningsih, 2009).
Produksi dan pengeluaran ASI diatur oleh kerja hormon Prolaktin dan Oksitosin. Kedua hormon ini akan dihasilkan saat bayi menyusu. Sehingga kesimpulan kita adalah proses menyusui itu sendiri akan meningkatkan produksi dan pengeluaran ASI juga mempengaruhi tumbuh kembang anak, menyusui semau bayi dapat menjamin tercukupinya kebutuhan bayi (Syam, 2011).
Ada sejumlah tanda yang menunjukkan pada anda bahwa bayi tidak mendapat cukup ASI. Jika bayi anda disusui kurang dari delapan kali dalam waktu 24 jam, kencing sedikit yang bisa terlihat hanya dari beberapa popok saja yg diganti, mengeluarkan air kemih yang tampak mengandung "debu batu bata" berwarna kemerahan, atau buang air besar kurang dari satu kali dalam sehari sesudah menyusu, ada kecenderungan besar bahwa bayi mengalami masalah dengan kenaikan berat badannya. Produksi ASI atau asupan yang kurang memadai bagi bayi dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut: ketidakefektifan menempelkan mulut, pemberian ASI yang terjadwal, menyusu hanya dari satu payudara, bayi tidur lama, gaya hidup si ibu, pasokan asi yang tidak memadai (bidanku, 2011).
Produksi ASI yang sedikit disebabkan oleh karena adanya kelainan kelenjar mamae tetapi hal ini hanya 1% saja, penyebab utamanya adalah "supply by demand" yaitu persediaan cadangan air susu, dimana apabila ibu sering mengosongkan payudaranya dengan cara menyusui langsung maupun perah/ pompa ASI maka produksi ASI akan semakin banyak, jusru sebaliknya apabila ibu tidak menerapkan pola menyusui yang benar dengan frekuensi yang jarang menyusui anaknya dan menyelingi dengan susu formula maka kemungkinan besar produksi ASI akan berkurang (Syam, 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa dewasa ini terdapat kecenderungan penurunan pemberian ASI  dan  ibu yang baru melahirkan cenderung menggantikan pemberian ASI dengan susu fomula di  masyarakat.  Hal ini diakibatkan kenaikan tingkat partisipasi  wanita dalam angkatan kerja  dan peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang memudahkan periklanan susu  buatan serta luasnya distribusi susu  buatan terdapat kecenderungan menurunnya kesediaan menyusui maupun lamanya menyusui baik dipedesaan dan diperkotaan. Menurunnya jumlah ibu yang menyusui  sendiri bayinya  pada mulanya disebabkan oleh tidak keluarnya produksi ASI yang memadai untuk kebutuhan bayinya. Hal itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu mengenai pola pemberian ASI yang benar.  Meskipun  mereka menyadari pentingnya pemberian ASI tetapi budaya modern dan kekuatan  ekonomi yang semakin meningkat telah mendesak para ibu untuk segera menyapih  anaknya dan memilih air susu buatan sebagai jalan keluarnya.
 Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pendahuluan dapat diketahui bahwa masih banyak ibu rumah tangga yang belum mengetahui secara benar bagaimana cara mempertahankan produksi ASI yang dibuyuhkan oleh bayinya, hal ini kemungkinan dikarenakan faktor pola pemberian ASI yang salah . Untuk itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, ”Hubungan pola pemberian ASI dengan Produksi ASI pada ibu meyusui pada bayi usia 1 – 2 Tahun di wilayah Kerja Puskesmas Sukarami Palembang Tahun 2012.
 
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis ingin mengetahui  adakah hubungan pola pemberian ASI dengan Produksi ASI pada ibu meyusui pada bayi usia 1 – 2 Tahun di wilayah Kerja Puskesmas Sukarami Palembang Tahun 2012
 
C.    Pertanyan Penelitan
Faktor apa sajakah yang berhubungan dengan motivasi seorang perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0-6 tahun di RS.Muhammadiyah Palembang 2012.
D.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi seorang perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0 - 6 tahun di RS. Muhammadiyah Palembang 2012.
2.      Tujuan Khusus
a.       Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan motivasi seorang  perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0 – 6 bulan di RS. Muhammadiyah Palembang 2012.
b.      Diketahuinya hubungan sikap dengan motivasi seorang perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0 – 6 bulan di RS. Muhammadiyah Palembang 2012.
c.       Diketahuinya hubungan dukungan suami dengan motivasi perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0 – 6 bulan di RS. Muhammadiyah Palembang 2012.
 
E.     Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.      Manfaat Bagi Instansi Kesehatan
Dapat menjadi masukan bagi instansi kesehatan, khususnya RS. Muhammadiyah dalam menjalankan program pemerintah tentang pemberian ASI Eksklusif dan menyediakan tempat untuk ibu menyusui anaknya.
2.      Manfaat Bagi Tenaga kesehatan / perawat
Dapat meningkatkan pengetahuan kesehatan, khususnya tentang pemberian ASI eksklusif sehingga dapat memberikan support dan memotivasi kepada para perawat untuk dapat menjalankan program pemberian ASI eksklusif.
3.      Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi Mahasiswa STIKes Siti Khodijah Palembang.
4.      Manfaat Bagi Penelitian
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan, khususnya tentang motivasi dalam pemberian ASI eksklusif.
 
F.     Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam lingkup keperawatan Maternitas. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu faktor yang berhubungan dengan motivasi perawat dalam pemberian ASI Ekslusif pada bayi 0-6 bulan. Variabel yang akan diteliti bagaimana hubungan pengetahuan, sikap dan dukungan suami dengan motivasi perawat dalam pemberian ASI. Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang, waktu penelitian  ini akan dilakukan pada bulan Juni 2012. Populasi yang akan diambil dalam penelitian ini adalah semua perawat yang memiliki bayi usia 0-6 bulan yang bekerja di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
.

HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI SUNTIK 3 BULAN DI PUSKESMAS ARIODILLAH PALEMBANG SEPTEMBER 2011

Posted by with No comments

UNIVERSITAS KADER BANGSA PALEMBANG
Program Studi DIII Kebidanan
Skripsi   September 2011

Lia Komalasari

HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI SUNTIK 3 BULAN DI PUSKESMAS ARIODILLAH PALEMBANG SEPTEMBER 2011

xvi + 56 halaman + 6 lampiran + 3 tabel

ABSTRAK

Penggunaan kontrasepsi suntik adalah usaha-usaha untuk mencegah kehamilan. Jenis kontrasepsi adalah 25 mg depomedroksiprogesteron asetat dan 5 mg sipionat yang diberikan secara injeksi im. Tujuan peneltian ini untuk menegetahui hubungan anatara pendidikan dan pengetahuan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik 3 bulan di puskesmas Ariodillah Palembang tahun 2011. Penelitian ini menggunakan survey analitik dengan pendekatan cross sectional dan teknik accidental sampling. Sample dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memakai kontrasepsi di puskesmas Ariodillah Palembang yang berjumlah 85 respondent data ini dianalistis secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji ehi-square dengan teknik komputerisasi. Hasil penelitian analisis univariat di dapatkan yang berpendidikan (≥SMA) sebanyak 42 orang (49,4%) sedangkan yang berpendidikan (<SMA) sebanyak 43 orang (50,6%), sedangkan respondent dengan pengetahuan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik 3 bulan yang pengetahuannya baik sebanyak 38 orang (44,7%) dan respondent dengan pengatahuan kurang baik sebanayk 47 orang (55,3%) dan ibu yang menggunakan alat kontrasepsi suntik 3 bulan sebanayk 40 orang (47,1%) dan yang menggunakan kontrasepsi selain KB suntik 3 bulan sebanyak 45 orang (52,9%).
Dari analisis bivariat dengan chi-square menghasilkan hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik 3 bulan, dengan nilai p value = 0,013 < 0,05 dan hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan nilai p value = 0,019 < 0,05. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dan pengetahuan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik 3 bulan, disarankan kepada petugas kesehatan terutama bidan agar lebih meningkatkan penyuluhan dan pemberian informasi mengenai penggunaan alat kontrasepsi suntik KB hingga dapat dijadikan bahan pertimbangan sebelum menjadi akseptor KB.

Daftar Pustaka          : 13 (2004-2010)
Kata kunci     :KB

Untuk skripsi hubungi kami rentalsinarmas@gmail.com




Sabtu, 04 Februari 2012

“Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Rumah Sakit Myria Palembang pada Tahun 2011”

Posted by with No comments




BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Diare adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau alami seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume, keenceran, serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan atau tanpa lendir darah. (Hidayat, 2006).
Kebersihan lingkungan merupakan suatu yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan pada umumnya. Banyaknya penyakit-penyakit lingkungan yang menyerang masyarakat karena kurang bersihnya lingkungan disekitar ataupun kebiasaan yang buruk yang mencemari lingkungan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan penyakit yang dibawa oleh kotoran yang ada di lingkungan bebas tersebut baik secara langsung ataupun tidak langsung yaitu melalui perantara. Penyakit diare merupakan suatu penyakit yang telah dikenal sejak jaman Hippocrates. Sampai saat ini, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama masyarakat Indonesia. Dari urutan penyebab kunjungan Puskesmas/ Balai Pengobatan, diare hampir selalu termasuk dalam kelompok 3 (tiga) penyebab utama masyarakat berkunjung ke Puskesmas. (Widjaja, 2001)
1
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita yaitu status kesehatan lingkungan (penggunaan sarana air bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah) dan perilaku hidup sehat dalam keluarga. Sedangkan secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam enam kelompok besar yaitu infeksi (yang meliputi infeksi bakteri, virus dan parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan (keracunan bahan-bahan kimia, keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi baik jazad renik, ikan, buah-buahan, sayur-sayuran, algae dan lain-lain), imunisasi, defisiensi dan sebab-sebab lain (Beaglehole, 2007).
Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi  faktor pendorong  terjadinya diare,  terdiri dari factor agent, penjamu, lingkungan dan perilaku. Faktor penjamu yang  menyebabkan meningkatnya  kerentanan terhadap diare,  diantaranya  tidak memberikan ASI  selama 2 tahun, kurang gizi, penyakit campak, dan imunodefisiensi. Faktor lingkungan yang paling dominan yaitu sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja, kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan  perilaku manusia. Apabila  faktor  lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan  perilaku manusia  yang tidak sehat pula,  maka  penularan diare dengan mudah dapat terjadi (Depkes, 2005)
 Data yang menunjukkan angka kematian akibat diare menurut Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO) yaitu Negara India sebanyak 122.270 balita, Nigeria 49.974 balita, DR Congo sebanyak 30.444 balita, Ethiopia sebanyak 27.424 balita, China sebanyak 27.349, Pakistan sebanyak 19.933 balita, Afghanistan sebanyak 17.992 balita, Bangladesh sebanyak 15.382 balita, Indonesia sebanyak 12.970 balita, Angola sebanyak 11.229 balita dan Nigeria sebanyak 10.884 jiwa (Sofwan, 2010).
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, angka kematian akibat diare 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita 75 per 100 ribu balita. Selama tahun 2006 sebanyak 41 kabupaten di 16 provinsi melaporkan KLB (kejadian luar biasa) diare di wilayahnya. Jumlah kasus diare yang dilaporkan sebanyak 10.980 dan 277 diantaranya menyebabkan kematian. Hal tersebut, terutama disebabkan rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi buruk dan perilaku hidup tidak sehat. Jumlah penderita diare tertinggi ada di daerah NTT yakni 2194 jiwa, sedangkan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebesar 196 jiwa (Piogama, 2009)
Jumlah kasus diare  di Sumatera Selatan pada tahun 2008 sebanyak 186.479 kasus dan pada tahun 2009 sebanyak 205.991 kasus. Jumlah kasus diare pada balita setiap tahunnya rata-rata di atas 40%, hal ini menunjukkan bahwa kasus diare pada balita masih tetap tinggi dibandingkan golongan umur lainnya (Dinkes Sumsel, 2010).         
Jumlah penderita diare di Kota Palembang jumlah penderita pada tahun 2007 sebanyak 46.738 penderita dengan prevalensi 33,25 per 100.000 penduduk, tahun 2008 sebanyak 33.558 penderita dengan prevalensi 23,68 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 2009 sebanyak 54.612 penderita dengan prevalensi 37,95 per 100.000 penduduk (Dinkes Kota Palembang, 2009).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam Medik Rumah Sakit Myria Palembang di peroleh data bahwa jumlah penderita diare pada tahun 2008 sebanyak 736 balita, pada tahun 2009 sebanyak 921 balita dan pada tahun 2010 sebanyak 930 balita.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis banyaknya jumlah penderita diare yang dirawat di Rumah Sakit Myria adalah disebabkan kurangnya pengetahuan ibu mengenai perilaku hidup bersih, kurangnya kebiasaan mencuci tangan pada balita, kebersihan alat-alat makan balita serta kebersihan makanan pada balita
selengkapnya klik disini