Minggu, 27 Agustus 2017

Adakah hubungan gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS. Siloam Sriwijaya Palembang

Posted by with No comments



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda (Corwin, 2009). Diketahui sembilan dari sepuluh orang penderita hipertensi tidak dapat diidentifikasi penyebab penyakitnya. Itulah sebabnya hipertensi dijuluki pembunuh diam-diam atau silent killer, sebab seseorangmdapat mengidap hipertensi selama bertahun-tahun tanpa menyadarinya sampai terjadi kerusakan organ vital yang cukup berat yang bahkan dapat menyebabkan kematian. Seseorang baru merasakan dampak gawatnya hipertensi ketika telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung, koroner, fungsi ginjal, gangguan fungsi kognitif atau stroke (Saraswati, 2009).
Hipertensi bukan merupakan penyakit dengan faktor penyebab tunggal, tetapi disebabkan oleh banyak faktor yaitu kegemukan, pola makan yang tidak sehat, aktivitas fisik yang kurang, keadaan stress psikologis, kebiasaan minum alkohol, pola konsumsi kopi dan kebiasaan merokok (Dhiannintyas et al., 2006).
Sesungguhnya gaya hidup merupakan faktor terpenting yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang tidak sehat, dapat menyebabkan terjadinya penyakit hipertensi, misalnya makanan, aktivitas fisik, stres dan merokok (Puspitorini, 2009).
Adapun orang-orang yang memiliki risiko menderita hipertensi adalah orang yang mempunyai keluarga yang menderita hipertensi, orang yang berumur diatas 55 tahun, orang yang tidak pernah berolahraga, orang yang suka merokok,  orang yang suka makan makanan yang banyak mengandung garam (J.B. Suharjo et al, 2008). Walaupun 90% dari pnyebab hipertensi adalah riwayat keluarga, namun faktor lain seperti pola makan, aktivitas fisik dan gaya hidup turut mempengaruhi kejadian hipertensi (Pritasari, 2006).
Jenis penelitian merupakan salah satu faktor risiko yang dapat diubah yang berpengaruh terhadap penyakit hipertensi (Cahyono, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan menggunakan data Rikerdas tahun 2007, prevalensi pada perempuan leih besar dibandingkan dengan laki-laki yaitu 50,3% dan 49,7% (rahajeng dan Tuminah, 2009).
Hipertensi juga dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap sesorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah (Dalimartha et al., 2008). Menurut sitorus  (2005), yang menyatakan bahwa merokok sebatang setiap hari meningkatkan tekanan darah sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/ menit.
Perilaku konsumsi asin juga diyakini berkontribusi dalam penyakit hipertensi (Kotchen et al., 2006). Dari penelitian Sugihartono (2007), didapatkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi asin berisiko menderita hipertensi sesar 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak mempunyai kebiasaan mengkansumsi asin.
Beberapa fakta dalam studi epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara tingginya asupan lemak jenuh dengan hipertensi (Kotchen et al., 2006). Konsumsi lemak jenuh meningkatkan risiko kenaikan berat badan yang merupakan faktor risiko hipertensi. Asupan lemak jenuh yang kemudian menyebabkan hipertensi (Irza, 2009).
Kafein akan meningkatkan hormon stres seperti epinepfrin, nonefrinefrin, dan kortisol yang dapat menyebabkan hipertensi (saleh, 2011). Seseorang yang tidak terbiasa minum kopi memiliki tekanan darah lebih rendah jika dibandingkan dengan seseorang yang mengkonsumsi kopi 1-3 cangkir per hari. Pria yang mengkonsumsi kopi 3-6 cangkir per hari memiliki tekanan darah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang mengkonsumsi kopi 1-3 cangkir per hari (Uiterwaal et al, 2007).
Olah raga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunakn tekanan darah (untu hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikkan risiko hipertensi karena bertambahnya risiko orang untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot-otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap konstraksi, semakin keras dan sering jantung memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri yang dapat menyebabkan hipertensi (Rohaendi, 2008).
Stres sering dihubungkan dengan hipertensi. Pada keadaan stres, tubuh akan memproduksi hormon adrenalin yang menyebabkan denyut jantung meningkat, sehingga meningkatkan tekanan darah (Irza, 2009). Prevalensi stress terus meningkat dikalangan masyarakat. Dunia bergerak dan berubah semakin cepat dan bagi yang tidak siap menghadapinya akan terjebak pada situasi penuh pertentangan, sehingga gejala yang muncul adalah stres scara fisik maupun psikologis (Dwiyono).
Menurut WHO lansia adalah penduduk berusia 60 tahun keatas (Siyoto, 2016). Lansia merupakan usia yang berisiko tinggi terhadap penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes mellitus, gout (reumatik), dan kanker. Salah satu penyakit yang diderita lansia adalah hipertensi.
Pada populasi usia lanjut, angka penyandang tekanan darah tinggi lebih banyak lagi, dialami oleh lebih dari sepuluh populasi orang di atas 60 tahun dengan tekanan darah tinggi di atas 140 atau 90 mmHg. Prevalensi hipertensi diperkirakan akan meningkat tahun 2025, diperkirakan penderita hipertensi hampir memncapai 1,6 milyar di dunia (Bandiyah 2009). Pada lansia akan meningkat yaitu sekitar 1,2 milyar jiwa (Bandiyah, 2009). Hal ini merupakan faktor risiko dari penyakit kardiovaskuler dan bertanggung jawab terhadap kebanyakan kematian di dunia (Adrogue&Madia 2007).
Hipertensi adalah faktor risiko utama dari penyakit-penyakit kardiovaskuler yang merupakan penyebab kematian tertinggi di setiap negara. Data WHO (2011), menunjukkan di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% dari 3,5 milyar penduduk dunia mempunyai penyakit hipertensi. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 juta berada di negara berkembang, termasuk Indonesia (Debby, 2012).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran usia di atas 18 tahun sebesar 26,5% dari jumlah penduduk 251.160.124. Sedangkan di provinsi Sumatera Selatan penyakit hipertensi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Prevalensi penderita hipertensi pada tahun 2014 berjumlah 4.522 atau 46,97% dari 9.626 kasus penyakit tidak menular (PTM), tahun 2015 berjumlah 6.892 atau 50,11% dari 13.735 kasus, dan tahun 2016 berjumlah 13.530 atau 52,13% dari 25.950 kasus (Dinkes SumSel, 2017). Dan di RS Siloam Sriwijaya pravelinsi Hipertensi pada tahun 2014 berjumlah 96 orang, pada tahun 2015 berjumlah 132 orang, dan pada tahun 2016 penderita hipertensi berjumlah 180 orang. Sedangkan dari periode Januari sampai dengan Maret 2017 tercatat sebanyak 75 lansia yang dirawat di RS Siloam dengan penyakit Hipertensi. Dari data yang didapat terdapat meningkatan jumlah penderita hipertensi di ruang rawat inap RS Siloam Sriwijaya setiap tahunnya.
Hal ini  membuat peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada lansia di RS Siloam Sriwijaya  dan untuk mengetahui apakah hipertensi ada hubungannya dengan gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan permasalahan “ Adakah hubungan gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS. Siloam Sriwijaya Palembang”
C.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang.
2.      Tujuan Khusus
a.       Mengetahui hubungan antara karakteristik (usia, jenis kelamin, ras dan riwayat penyakit hipertensi) pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
b.      Mengetahui hubungan antara kebiasaan konsumsi natrium pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
c.       Mengetahui hubungan antara kebiasaan konsumsi kalium pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
d.      Mengetahui hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan berlemak pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
e.       Mengetahui hubungan antara kebiasaan minum kopi pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
f.       Mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
g.      Mengetahui hubungan antara stress pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
h.      Mengetahui hubungan antara aktivitas fisik pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017.

D.    Manfaat Penelitian
1.      Bagi RS Siloam Palembang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi kepada Rumah Sakit khususnya di Ruang Rawat Inap RS Siloam Sriwijaya untuk merancang suatu kebijakan yang berhubungan dengan penanggulangan pasien lansia dengan hipertensi.
2.      Bagi institusi Pendidikan STIK Siti Khadijah Palembang
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan tambahan referensi untuk menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa STIK Siti Khadijah Palembang khususnya mahasiswa keperawatan  tentang pengaruh gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi .
3.      Bagi Peneliti
Sebagai wadah untuk mengaplikasikan ilmu keperawatan gerontik, serta menambah wawasan dan wacana baru bagi peneliti untuk melihat fenomena nyata yang ada di lapangan.





E.     Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Motode Penelitian
Hasil Penelitan
Solehatul Mahmudah, Taufik Maryusman, Firlia Ayu Arini, Ibnu          
Malkan

Hubungan Gaya Hidup dan Pola Makan dengan Kejadian Hipertensi  
Pada Lansia di Kelurahan Sawangan Baru
Metode penelitian ini menggunakan analitik dengan pendekatan kuantitatif.
Ada hubungan  gaya hidup dan pola makan dengan kejadian hipertensi pada lansia di kelurahan.    
sawangan baru
Edi Sampuno Ridwan, Esti Nurwanti
Gaya Hidup dan Hipertensi pada Lanjut Usia di Kecamatan Kasihan Bantul Yogyakarta
Jenis penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analitik observasional dengan metode kuantitatif.
Ada hubungan gaya hidup dan hipertensi pada lanjut usia di kecamatan kasihan bantul yogyakarta
Meylen Suoth, Hendro Bidjuni, Reginus T. Malara
Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadia Hipertensi di Puskesmas Kolongan Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara
Metode penelitian survei dengan menggunakan metode kuantitatif.
Ada hubungan gaya hidup dengan kejadian hipertensi di puskesmas kolongan kecamatan kalawat

Penelitian-penelitian sebelumnya pada tabel diatas menunjukkan adanya hubungan antara gaya hidup pada lansia dengan hipertensi. Perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah tempat dan waktu penelitian, sampel dan populasi yang digunakan.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Landasan Teori
1.      Konsep Penyakit Hipertensi
a.      Pengertian Hipertensi
Tekanan darah merupakan kekuatan darah untuk melawan dinding arteri selama bersiklasi ke seluruh tubuh (National Heart Lung and Blood Institute, 2011). Tekanan darah dibagi menjadi dua. Pertama, tekanan sisolik. Tekanan sistolik menggambarkan tekanan darah arteri yang dihasilkan selama kontraksi ventrikel. Kedua, tekanan diastolik. Tekanan diastolik menggambarkan tekanan darah arteri yang dihasilkan sewaktu ventrikel relaksasi. Satuan untuk angka tekanan darah adalah mmHg. Alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah bermacam-macam. Salah satu alat yang sering dipakai dokter dan tenaga kesehatan adalah Sphygnoamometer (Pickering, 1996).
Menurut JNC VII 2003, Hipertensi adalah teakanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmhg dan tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg atau mengkonsumsi obat anti hipertensi (Guyton, 2007).
Menurut WHO penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan tekanan diastolik sama atau lebih besar 95 mmHg (Kodim Nasrin, 2003).
b.      Penyebab Hipertensi
Menurut Cowin tahun 2000  dalam (Wijaya, 2013) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral Resistence (TPR). Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denytu jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup sehingga tidak menimbulkan hipertensi
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan rennin atau alosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup atau tekanan darah. Peningkatan preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik.
Peningkatan TPR yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintasi pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebabkan peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrofi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada hipertrofi, sarat-sarat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.
c.       Patofisiologi Hipertensi
Patofisiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor yang saling berhubungan terlibat  dalam peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi esensial. Namun, pada sejumlah kecil pasien penyakit ginjal atau korteks adrenal (2% dan 5%) merupakan penyebab utama peningkatan tekanan darah (hipertensi sekunder) namun selebihnya tidak terdapat penyebab yang jelas pada pasien penderita hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologi turut berperan aktif pada tekanan darah normal dan terganggu. Hal ini mungkin berperan penting pada perkembangan penyakit hipertensi esensial. Terdapat banyak faktor yang saling berhubungan terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi (Crea, 2008).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjt keawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan aseilkolin, yang akan meransang serabut saraf pasca gangglion ke pembuluh darah,  dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketai dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Crea, 2008).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainna, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokomstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yan pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh koteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Crea, 2008).
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubaan struktural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi arterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otpt polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung dan peningkatan tahanan perifer (Rohaendi, 2008).




d.      Klasifikasi Hipertensi
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII

Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
<120
dan<80
Pra-hipertensi
120-139
atau 80-89
Hipertensi Tingkat 1
140-159
atau 90-99
Hipertensi Tingkat 2
≥160
atau ≥ 100

e.       Gejala Hipertensi
 ini beberapa gejala yang ditimbulkan dari hipertensi berdasarkan penyebabnya (Sudoyo, dkk, 2006).
1)       Peningkatan tekanan darah
Rasa berdebar, rasa melayang (dizzy), pusing.
2)       Penyakit jantung/ hipertensi vaskular
     Cepat lelah, sesak nafas, sakit dada, bengkak kedua kaki dan perut. Gangguan vaskular lainnya adalah epitaksis, hematuria, dan pandangan kabur karena perdarahan retina.
     Pada hipertensi, tekanandarah yang naik secara drastis merusak lapisan dalam pembuluh darah kecil sehingga dapat mengakibatkan akumulasi fibrin (protein berwarna agak putih) di dalam pembuluh darah, edema lokal, dan kemungkinan pembekuan intravaskular pembekuan didalam pembuluh darah (Corwin, 2007)
f.       Faktor Risiko Hipertensi
`Ada dua macam fator risiko terjadinya hipertensi yaitu faktor risiko yang bisa dikendalikan dan faktor risiko yang tidak bisa diubah. Beberapa macam faktor risiko yang tidak bisa diubah yaitu (Sutono 2008):
1)      Usia
Ada hubungan positif antara usia dengan hipertensi.Prevalensi hipertensi meningkat seiring dngan bertambahnya usia seseorang (Bullock 1996). Pada usia 45-54 tahun kejadian hipetensi pada pria sebesar 37,1% dan pada wanita 35,2%, pada usia 55-64 pevalensi meningkat menjadi 54,0% pada pria dan 53,3%paa wanita begitu seterusnya sampai usia 75 tahun ketas (CDC, 2012). Berdasarkan data dari  American Heart Association, sekitar 80% dari orang yang meninggal akibat penyakit kadiovaskular merupakan orang berusia 65 tahun ke atas (UCSF, 2012).
2)      Ras
Ras kulit hitam memiliki risiko hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih baik pada pria maupun wanita (Bullock, 1996). Hipertensi sangat umum terjadi di daerah perkotaan di Afrika. Hipertensi banyak terjadi pada ras kulit hitam karena perbedaan respon terhadap obat hipertensi. Ras kulit hitam yang hipertensi cenderung kurang sensitif terhadap beta-blokers dan angiotensin-converting enzyme inhibitors. Ras kuit hitam juga memiliki lasma renin yang lebih rendah (Beevers ad Mac Gregor, 1995).
3)      Jenis Kelamin
Berdasarkan data dari Framingham Heart Stuy yang usia respondennya berkisar antara 65-89 tahun dengan hipertensi, ditemkan 65% berjenis kelamin perempuan dan 57% laki-laki (Chernoff, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa hipetensi pada kisaran umur tersebut lebih anyak diderita oleh wanita. Setelah melewatimasa produktif, wanita akan memasuki masa menopause. Pada masa menopause, terjadi penurunan sekresi ormon esterogen. Salah satu fungsi esterogen adalah mempertahankan fleksibilitas pembuluh darah dan memoduasi kerja hormon lain yang dapat berkontribusi menngkatkan tekanan darah. Jadi seirin dengan penurunan esterogen, risiko wanita untu menderita hipertensi meningkat (highbloodpresure.about.com).
4)      Riwayat Hipertensi
Genetik memegang peranan penting pada terjadinya hipertensi. Jika kedua orang tua menderita hipertensi essensial,peluang anaknya menderita hipertensi adalah satu banding dua. Jika salah sat dari orang tua (ayah atau ibu saja) yang menderita hipertensi, peluang anaknya menderita hipertensi adalah satu bandin tiga. Sementara itu, jika kedua oang tua tidak menderita hipertensi, peluang anaknya menderita hipertensi adalah 1 banding 20 (Bulock, 1996).
Faktor risiko yang bisa dikendalikan antara lain (Sutono, 2008):
1)      Kegemukan
Ada beberapa sebab mengapa kelebihan berat badan bisa memicu hipertensi. Masa tubuh yang besar membutuhkan lebih banyak darah untuk menyediakan oksigen dan makanan kejaringan tubuh. Artinya, darah yang mengalir dalam pembuluh darah semakin banyak sehingga dinding arteri mendapatkan tekanan lebih besar. Tidak hanya itu, kelebihan berat badan membuat frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah meningkat. Kondisi ini menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.
2)      Konsumsi Asin
Dari penelitian Sugihartono (2007), didapatkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi asin berisiko menderita hipertensi sesar 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak mempunyai kebiasaan mengkansumsi asin.
3)      Kalium Rendah
Kalium merupakan komponen yang esensial di dalam setiap sel, yang terlibat dalam reaksi dalam tubuh, diantaranya untuk mempertahankan tekanan osmotik, pengantaran impuls dalam saaf, kontraksi ritmis jantung, sintesis protein, metabolisme karbohidrat, melepaskan insulin dari pankreas, dan mempertahankan tekanan darah yang normal (Wiseman, 2002).
Beberapa bukti studi epidemiologis telah menggambarkan hubungan antara intake kalium dengan tekanan darah, dan hubungan lansung antara rasio natrium/ kaliumpada urin dengan tekanan darah. Peningkatan intake kalium berhubungan dengan natriuretik dan kemungkinan efek diuretik. Pengurangan konsumsi kalium meningkatkan kahilangan kalsium di urin, yang juga merupakan kation penting yang mengatur tekanan darah. Pada situasi ini, kehilangan kalsium dapat mempercepat stimulasi hormon paratiroid, yang dapat mengkontribusi peningkatan tekanan darah. Peningkatan konsentrasi Kalium dalam tubuh dapat mengurangi produksi radikal bebas pada sel endothel, yang dapat membantu menjaga tekanan darah (Paolo, 1998).
Keseimbangan kalium dipengaruhi oleh konsumsi Kalium dan pengeluaran kalium. Konsumsi kalium sebagian didapatkan dari asupan makanan. Makanan yang mengandung kalium antara lain buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian merupakan sumber kalium yang baik. Kalium memiliki efek anti-hipertensi. Efek ini juga berhubungan dengan interaksi yang kompleks dengan beberapa nutrien dan substansi lain. Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang telah dikemukakan di Amerika Serikat menganjurkan diet yang tinggi kalium dengan banyak memakan sayuran dan buah-buahan untuk mencegah hipertensi (Paolo, 1998).
Kalium membantu tubuh menjagi kesimbangan jumlah natrium di daam cairan sel. Apabila tubuh kekurangan kalium, natrium yang berlebihan di dalam tubuh tidak bisa dikeluarkan sehingga risiko hipertensi meningkat.
4)      Konsumsi Kopi
Kafein akan meningkatkan hormon stres seperti epinepfrin, nonefrinefrin, dan kortisol yang dapat menyebabkan hipertensi (Saleh, 2011). Seseorang yang tidak terbiasa minum kopi memiliki tekanan darah lebih rendah jika dibandingkan dengan seseorang yang mengkonsumsi kopi 1-3 cangkir per hari. Pria yang mengkonsumsi kopi 3-6 cangkir per hari memiliki tekanan darah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang mengkonsumsi kopi 1-3 cangkir per hari (Uiterwaal et al, 2007).
5)      Kebiasaan Merokok
Hipertensi juga dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap sesorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah (Dalimartha et al., 2008). Menurut sitorus  (2005), yang menyatakan bahwa merokok sebatang setiap hari meningkatkan tekanan darah sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/ menit. Seseorang dikatakan peroko ringan bila rokok yang dihisap kurang dari 10 batang/ hari, perokomsedang bila 11-20 batang sehari, dan sebagai perokok berat bila menghisap lebih dari 21 batang/ hari (Kanisius, 2008).
6)      Aktivitas Fisik
Olah raga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunakn tekanan darah (untu hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabilajantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikkan risiko hipertensi karena bertambahnya risiko orang untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot-otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap konstraksi, semakin keras dan sering jantung memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri yang dapat menyebabkan hipertensi (Rohaendi, 2008).
7)      Stres
Stress didefinisikan sebagai proses ketika stressor mengancam keselamatan dan kesejahteraan organisme, stressor tersebut meliputi stressor lingkungan (contohnya bencana alam dan satus sosial ekonomi), stressor psikologi (contohnya kekhawatiran, kegugupan saat berbicara, dan penderitaan batin), dan stressor fisik (contohnya olahraga dan trauma), dan stressor imunolgis (contohnya penyakit infeksi dan penyakit fisik). Stressor bisa bersifat menyenangkan atau tidak menyenangkan. Stressor yang menyenangkan disebut eustres, sedangkan stressor yang tidak menyenangkan disebut distress. Peristiwa tidak menyenangkan terjadi pada masa lalu juga menimbulkan hal yang teraumatis yang dapat menyebabkan stress misalnya, kehilangan seseorang terdekat yang meninggal, perceraian dan sebagainya (Corwin, 2007).
Pada keadaan hipetensi, jantung meyang sangat memompa darah ke tubuh  dengan tekanan yang sangat tinggi. Sala satu penyebabnya adalah stress emosional. Jika seseorang mengalami gangguan emosional, denyut jantung  meningkat sebagai usaha untuk memompa lebih banyak darah ke dalam tubuh. Dr. Wolf menentukan bahwa dalam wawancara dengan kelompok tersebut, mereka ragu-ragu mengungkapkan perasaan dan konflik mereka. Wolf menggambarkan dampak stress terhadap tekanan darah suatu contoh sejarah. Pada masa Perang Dunia II terjadi pertempuran yang luar biasa antara prajurit Rusia dengan orang Jerman sehingga banyak korban berjatuhan. Selama tahun 1942-1943 prevalensi hipertensi pada penduduk meningkat dari 4,1% menjadi 64%. Sebagian besar dari penduduk tersebut sudah meninggal pada awal tahun 1960 (McQuade, 1991).
Hubungan antra stress dengan hipertensi diduga melalui aktivasi saraf simpatik yang dapat meningkatkan tekann darah secara intermiten. Jika stress terjadi secara terus menerus maka akan berdampak pada tekanan darah yang tinggi. Percobaan  pada hewan yang dipapar oleh stress menunjukkan bahwa ternyata hewan tersebut mengalami hipertensi. Kebanyakkan masyarakat yang tinggal di perkotaan prevalensi hipertensinya lebih tinggi daripada masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal ini berkaitan dengan pengaruh stress psikososial yang lebih banyak dialami oleh masyarakat yang tinggal diperkotaan dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan (Darmajo, dkkm 1986).

g.      Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan tidak ditanggulangi, maka dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan arteri didalam tubuh sampai organ yang mendapat suplai darah dari arteri tersebut. Komplikasi hipertensi dapat terjadi pada organ-organ sebagai berikut:
1)      Jantung
Tekanan darah tinggi dapat menyebagkan terjadinya gagal jantung dan penyakit jantung koroner. Pada penderita hipertensi, beban kerja jantung akan meningkat, otot jantung akan mengendur dan berkurang elastisitasnya, yang disebut dekompensasi. Akibatnya jantung tidak mampu lagi memompa sehingga banyak cairan tertahan  diparu maupun jaringan tubuh lain yang dapat menyebabkan sesak nafas atau oedema. Kondisi ini disebut gagal jantung (Wijaya, 2013)
2)      Otak
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan risiko stroke, apabila tidak diobati risiko terkena stroke 7 kali lebih besar (Wijaya, 2013)
3)      Ginjal
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan risiko stroke, apabila tidak diobati risiko terkena stroke 7 kali lebih besar (Wijaya, 2013)
4)      Mata
Pada mata hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati hipertensi dan dapat menimbulkan kebutaan (Yahya, 2005 dalam Wijaya, 2013).


h.      Pencegahan Hipertensi
Tidak semua penderita tekanan darah tinggi mmerlukan obat. Apabila hipertensinya tergolong ringan maka masih dapat dikontrol melalui gaya hidup sehari-hari. Hal-hal yang perlu dilakukan bagi penderita hipertensi sebagai tindakan pencegahan adalah (Wijayakusuma 2008) :
1)      Diet rendah lemak
Kurangi atau hindari makanan gorengan, daging yang banyak lemak, susu full cream, telur.
2)      Diet rendah garam
Batasi pemakaian garam dan makan yang diasinkan seperti cumi asin, ikan asin, telur asin, kecap asin.
3)      Hindari memakan daging kambing, buah durian, atau minum-minuman yang beralkohol.
4)      Lakukan olahraga secara teratur dan terkontrol
Olah raga yang cocok berupa aktivitas aerobik, seperti jalan kaki, lari, naik sepeda dan berenang.
5)      Berhenti merokok
6)      Berhenti minum kopi
7)      Menurunkan beat badan bagi penderita hipertensi yang mengalami obesitas
8)      Menghindari stress dengan gaya hidup yang lebih santai
9)      Mengobati penyakit penyerta, seperti diabetes mellitus, hipertiroid dan kolesterol tinggi.
i.        Penatalaksanaan Hipertensi
1)      Penatalaksanaan Nonfarmakologi
Penatalaksanaan nonfarmakologis dengan modifikasi gaya hidup sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah tinggi (Ridwanamiruddin, 2007). Penatalaksanaan hipertensi dengan nonfarmakologis terdiri dari dari berbagai macam cara modifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah yaitu:
a)      Mempertahankan berat badan ideal
Mempertahankan berat badan ideal sesuai Body Mass Index (BMI) dengan rentang 18,5-24,9 kg/ m² (Kaplan, 2006). BM dapat diketahui dengan membagi berat badan dengan tinggi badan yang telah dikuadratkan dalam satuan meter. Mengatasi obesitas (kegemukan) juga dapat dilakukan dengan melakukan diet rendah kolesterol namun kaya serat dan protein (pfizerpeduli.com), dan jika berhasil menurunkan berat badan 2,5-5 kg maka tekanan darah diastolik dapat diturunkan sebanyak 5 mmHg (Radmarssy, 2007).
b)      Kurangi asupan natrium (sodium)
Mengurangi asupan natrium dapat dilakukan dengan cara diet rendah garam yaitu tidak lebih dari 100 mm0l/ hari (kira-kira 6 gr NaCl atau 2,4 garam/ hari) (Kaplan, 2006). Jumlah yang lain dengan mengurangi asupan garam sampai kurang dari 2300 mg (1 sendok teh) setiap hari. Pengurangan konsumsi garam menjadi ½ teh perhari, dapat menurunkan tekanan diastolik sebanyak 5 mmHg dan tekanan diastolik sekitar 2,5 mmHg (Radmarssy, 2007).
c)      Batasi konsumsi alkohol
Radmarssy (2007) mengatakan bahwa konsusmsi alkohol harus dibatasi karena konsumsi alkohol berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah. Para peminum berat mempunyai risiko mengalami hipertensi empat kali lebih besa dari pada mereka yang tidak minum alkohol.
d)     Makan K dan Ca yang cukup dari diet
Pertahankan asupan diet potassium (>90 mmol (3500mh)/ hari) dengan cara konsumsi diet tinggi buah dan sayur dan diet rendah lemak dengan cara mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak total (Kaplan, 2006). Kalium dapat menurunkan tekanan darah dengan meningkatkan jumlah natrium yang terbuang bersama air kencing. Dengan setidaknya mengkonsumsi buah-buahan sebanyak 3-5 kali dalam sehari, sesorang mencapai asupan potassium yang cukup (Radmarssy, 2007).
e)      Menghindari merokok
Merokok memang tidak berhubungan secara langsung dengan timbulnya hipertensi, tetapi merokok dapat meningakatkan risiko komplikasi pada pasien hipertensi seperti penyakit jantung dan stroke, maka perlu dihindari mengkonsumsi tembakau (rokok) karena dapat memperberat hipertensi (Dalimartha, 2008).
Nikotin dalam tembakau membuat jantung bekerja lebih keras karena menyempitkan pembulu darah dan meningkatkan frekuensi denyut jantung serta tekanan darah (Sheps, 2005). Maka penderita hipertensi dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan merokok (pfizerpeduli.com).
f)       Penurunan stres
Stress memeng tidak menyebabkan hipertensi yang menetap namun jika episode stress sering terjadi dapat menyebabkan kenaikan sementara yang sangat tinggi (Sheps, 2005). Menghindari stress dengan menciptakan suasana yang menyenangkan bagi penderita hipertensi dan memperkenalkan  berbagai metode relaksasi seperti yoga atau meditasi yang dapat mengontrol sistem saraf yang akhirnya akan menurunkan tekanan darah (pfizerpeduli.com).
g)      Terapi massase (pijat)
Menurut Dalimartha (2008), pada prinsipnya pijat yang dilakukan pada penderita hipertensi adalah untuk memperlancar aliran energi dalam tubuh sehingga gangguan hipertensi dan komplikasinya dapat diminimalisir, ketika semua jalur energi terbuka dan aliran energi tidak lagi terhalang oleh ketegangan otot dan hambatan lain maka risiko hipertensi dapat ditekan.
2)      Pengobatan Farmakologi
a)      Diuretik (Hidrokloritiazid)
Mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan tubuh berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
b)      Penghambat simpatetik (Metildop, Klonidin, dan Reserpin)
Menghambat aktivitas saraf simpatis.
c)      Betabloker (Metaprolol, Propanolol, dan Atenolol)
(1)   Menurunkan daya pompa jantung
(2)   Tidak dianjurkan pada penderita yang elah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronkial
(3)   Pada penderita dibetes melitus: dapat menutupi gejala hipoglikemi
d)     Vasodilator (Prasosin, Hidralasin)
Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos pembuluh darah.
e)      ACE inhibitor (Captopril)
(1)   Menghambat pembentukan zat angiotensin II
(2)   Efek samping: batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas
f)       Penghambat Reseptor Angiotensin II (Valsartan)
Menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptor sehingga memperingan daya pompa jantung.
g)      Antagonis Kalsium (Diltiasem dan Verapamil)
Menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas).
2.      Konsep Lansia
a.   Pengertian Lansia
            Menurut Setianto (2004), seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun keatas. Lansia bukan suatu penyakit, namun tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang dintandai dengan penurunan kemapuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan (Pudjiastuti 2003). Lansia menurut Hawari (2001), adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis, kegagalan ini berkaita dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual. Usia lanjut dapat dikata usia emas, karena tidak semua orang dapat mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan keperawatan baik yang bersifat preventif maupun promotif agar mereka dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia (Maryam. Dkk 2008).
            Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna Keliat dikutip dalam Maryam dkk 2008). Usia lanjut adalah suatu kejadian yang akan dialami oleh semua orang yang tidak bisa dihindari oleh siapapun. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup sesorang, yaitu suatu periode dimana sesorang telah”beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock dikutip dalam Murwani & Wiwin 2010). Usia tua tidak hanya dilihat dari perhitungan kronologis atau berdasarkan kalender saja, tetapi juga menurut kondisi kesehatan seseorang dan berdasarkan ciri daya pikirnya (Nugroho 2000).
b.   Batasan Usia Lanjut
Birren dan Jenner (dikutip dalam Murwani & Wiwin, 2010) membedakan usia menjadi tiga yaitu:
1)        Usia biologis
Diartikan sebagai jangka waktu sesorang sejak lahirnya berada dalam keadaan hidup dan tidak pernah mati

2)        Usia psikologis
Diartikan sebagai kemapuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya.
3)        Usia sosial
Diartikan sebagai peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan usianya.
Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Dalam menuju usia lanjut dilewati dua fase, yaitu: fase inventus meruapakn fase dimana lansia  menginjak usia antara 25-40 tahun dan fase virilitas merupakan fase dimana lansia menginjak 40-55 tahun. Dan pada akhir fase virilitas inilah biasanya disebut fase pertama usia lanjut. Dalam konsep Raus, masa tersebut disebut masa presenium, antara 55 tahun hingga 65 tahun dan fase selanjutnya yaitu fase senium, mulai umur 65 tahun hingga tutup usia (Nugroho dikutip dalam Murwani & Wiwin 2010).
c.   Klasifikasi Lansia
Klasifikasi lansia dibagi menjadi lima (Maryam. Dkk 2008) yaitu:
      1)    Pralansia (prasenil)
      2)    Seseorang yang berusia 45-59 tahun
      3)    Lansia
                                    Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
4)        Lansia risiko tinggi
                 Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
5)        Lansia potensial
                 Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan/ kegiatan yang dapat menghasilkan barang/ jasa.
6)        Lansia tidak potensial
Lansia yang sudah tidak bisa mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.
Tabel 2.2 Klasifikasi Lansia menurut WHO
Kelompok Usia
Usia (tahun)
Usia pertengahan (middle age)
45-59
Lanjut usia (olderly)
60-74
Lanjut usia tua (old)
75-90
Usia sangat tua
≥ 90

Sumber: WHO dalam Fatmah (2010)
d.   Karakteristik Lansia
       Menurut Budi Anna Keliat (dikuti dalam Maryam. Dkk 2008) menyatakan bahwa lansia memiliki  beberapa macam karakteristik antara lain:
      1)    Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 dalam Bab I Pasal 1 Ayat 2 lanjut usia adalah sesorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas.
      2)    Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spritual, serta dari kondisi adaftif hingga kondisi maladaftif.
      3)    Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi
4)    Tipe lansia
     Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Effendi&Makhfudi 200(). Tipe lansia dapat dijabarkan sebagai berikut:
(a)    Tipe arif bijaksana
           Lansia tersebut bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, dan menjadi panutan.
(b)   Tipe mandiri
           Lansia tersebut bisa mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, dan dapat bergaul dengan teman.
(c)    Tipe tidak puas
           Konflik lahir batin menetang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.


(d)   Tipe pasrah
           Lansia tersebut hanya menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.

(e)    Tipe bingung
           Lansia tersebut biasanya suka kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
5)      Tugas perkembangan lansia
      Kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap tumbuh kembangnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan baik serta membina hubungan yang serasi dengan orang-orang disekitarnya, maka pada usia lanjut akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap perkembangan sebelumnya seperti olahraga, bercocok tanam. Adapun tugas perkembangan lansia yaitu (Maryam. Dkk 2008):
(a)    Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun
(b)   Mempersiapkan diri untuk pensiun
(c)    Membentuk hubungan yang baik dengan orang seusianya
(d)   Mempersiapkan kehidupan baru
(e)    Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/ masyarakat secara santai.
(f)    Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.

3.      Konsep Gaya Hidup
a.    Pengertian Gaya Hidup
Gaya hidup adalah pola hidup sesorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya (Sakinah, 2002). Menurut Lisnawati (2006), gaya hidup sehat mengambarkan pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental dan sosial berada dalam kedaan positif.
Sejalan dengan pendapat Lisnawati, Notoatmojo (2005), menyebutkan bahwa perilaku sehat (healthybehaviour) adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai gaya hidu yang sehat diperlukan pertahanan yang baik dengan menhindari kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan ketidakseimbangan yang menurunkan kekebalan dan semua yang mendatangkan penyakit. Hal ini juga didukung oleh pendapat maulana (2009) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan yang prima jalan terbaik adalh merubah gaya hidup yang terlihat dari aktivitasnya dalam menjaga keshatan.
Berdasarakan uraian diatas dapat disimpulakn bahwa yang dimaksud dengan gaya hidup adalah pola perilaku individu sehari-hari yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opininya untuk memperthakankan hidup sedangkan gaya hidup sehat dap disimpulkan sebagai serangkaian pola perilaku atau kebiasaan hidup sehar-hari untuk memelihara dan menghasilkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya penyakit serta melindugi diri untuk sehat secara utuh. Gaya hidup dapat memicu terjadinya hipertensi. Ini dikarenakangaya hidup menggambarkan pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental, sosial yang meliputi  kebiasaan tidur, konsumsi makanan tidak sehat, meroko, atau bahkan minum-minuman beralkohol (Lisnawati, 2011).
Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. “(Becker, 1979 dalam Notoatmojo, 2012). Notoatmodjo, 2005 (dalam Yanti 2008) mendefinisikan perilaku kesehatan (health behaviour) sebagai respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisasi) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 1993 dalam Agustin, 2006). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bawa perilaku sehat adalah tindakan-tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
b.   Gaya Hidup Yang Tidak Sehat
Sesungguhnya gaya hidup merupakan faktor terpenting yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang tidak sehat, dapat menyebabkan terjadinya penyakit hipertensi, misalnya; makanan, aktivitas fisik, stres, dan merokok (Puspitorini, 2009). Jenis makanan yang menyebabkan hipertensi yaitu makanan yang siap saji yang mengandung pengawet, kadar garam yang terlalu tinggi dalam makan, kelebihan konsumsi lemak (Susilo, 2011).
Untuk mengendalikan dan mencegah hipertensi, selain pola makan sehat harus juga melakukan gaya hidup sehat, ini sangat penting karna gaya hidup sehat akan membuat kita sehat keseluruhan dengan melakukan olahraga teratur, berhenti merokok juga berperan untuk mengurangi hipertensi, dan mengendalikan pola kesehatan secara keseluruhan, termasuk mengendalikan kadar kolesterol, diabetes, berat badan dan pemicu penyakit lainnya (Susilo, 2011).
Gaya hidup masa kini menyebabkan stress berkepanjangan. Kondisi ini memicu berbagai penyakit seperti sakit kepala, sulit tidur, maag, jantung, hipertensi. Saat seseorang tertekan, tubuhnya melepaskan adrenalin dan kortison, sehingga menyebabkan tekanan darahnya meningkat. Tubuh menjadi lebih siaga menhadapi bahaya. Bila kndis ini berlarut-larut, tekanan darahnya akan tetap tinggi. Gaya hidup modern cenderung membuat berkurangnya aktivitas fisik (olahraga), konsums alkohol tinggi, minum kopi dan merokok. Semua perilaku tersebut merupakan pemicu tekanan darah tinggi (Sutomo, 2009).
Perubahan gaya hidup yang bisa dilakukan adalah mengatur pola makan, olahraga secara teratur, dan menghindari konsumsi alkohol atau rokok. Adapun beberapa jenis diet, yakni diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan lemak terbatas, diet tinggi serat, dan diet kalori. Diet yang diterapkan bisa disesuaikan dengan kondisi hipertensi. Dengan mengatur makanan yang tepat, tekanan darah bisa turun dengan lebih cepat (Sutomo, 2009).
Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan gaya hidup yang tidak aktif (kurang gerak) bisa memicu terjadinya hipertensi bagi orang-orang yang memiliki kepakaan yang diturunkan. Kurang aktivitas berpengaruh terhadap kerja detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri (Rohaendi, 2008).
1)      Kebiasaan Merokok
Hipertensi juga dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat meningkatkanpnggumpalan darah dalam pembuluh darah (Dalimartha et al, 2008). Menurut Sitorus (2005), yang menyatkan bahwa merokok sebatang setiap hari meningkatkan tekanan darah sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/ menit. Sitepu (2012), menyatakan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan merokok memilki risiko 5,320 kali lebih besar untuk terjadinya hipertensi.
Risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseorang lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali leboh rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak merkok. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalu rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses artrisklerosis dan hipertensi (Marliani, 2007).
Senyawa kimia yang terkandung dalam stu batang rokok sangat berbahaya, terutama nikotin da karbon monoksida. Zat kimia tersebut dihisap dan kemudian masuk ke dalam aliran darah yang akan menyebabkan arterisklerosis yang menyebabkan penyempitan pebuluh darah yang akan menyebabkan tekanan dalam dinding arteri meningkat. Jika merokok dimulai usia muda, berisiko mendapat serangan jantung menjadi dua kali lebih sering dibanding tidak merokok. Serangan sering terjadi sebelum usia 50 tahun (Depkes, 2008).
Bahaya efek langsung dari meroko yaitu hubungan langsung dengan aktivitas berlebih saraf simpatik, yang meningkatkan kebutuhan oksigen pada miokardial yang kemudian diteruskan dengan peningkatan pada tekanan darah, denyut jantung dan kontraksi miokardial (Kaplan, 2011).
2)      Frekuensi Konsumsi Makan Asin
Garam (NaCL) diyakini berkontribusi dalam meingkatkan tekanan darah pada dinding arteri. Hal ini dibuktikan melalui sejumlah penelitian eksperimental dengan model simpanse, yang secara genetik mendekati manusia. NaCl disuntikkan kedalm makaa mereka selama 20 bulan. Hasil penelitian tersebut memnbuktikan bahwa asupan NaCl meningkatkan tekanan darah simpanse tersebut. Tekanan darah akan meningkat tajam, pada asupan NaCL yang berlebih, dan pada studi asupan NaCl tertinggi, dilaporkan bahwa tekanan sistolik akan meningkat 33 dan 10 mmHg, sedangkan pada manusiadampak NaCl pada tekanan darah akan meningkatkan risiko hipertensi bersamaan dengan faktor lain seperti usia atau riwayat keluarga (Kothchen et al, 2006).
Natrium bersama klorida yang terdapat dalam garam dapur daam jumlah normal dapat membantu tubuh mempertahankan keseimbangan cairan tubuh untuk mengatur tekanan darah. Namun natrium dalam jumlah yang berlebih dapat menahan air (resistensi), sehingga meningkatkan volume darah.Akibatnya jantung harus bekerja lebih keras untuk memompanya dan tekanan darah menjadi naik (Sustrani, 2006). Hasil penelitian Sugiharto (2007), yang membuktikan bahwa ada hubungan anatara konsusmsi makanan asin dengan kejadian hipertensi dan menyatakan bahwa seseorang yang terbiasa mengkonsumsi makanan asin akan berisiko 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak terbiasa konsumsi makanan asin.
3)      Frekuensi Konsumsi Makanan Berlemak
Beberapa fakta dalam studi epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara tingginya asupan lemak jenuh dengan tekanan darah, dan pada beberapa populasi dengan tekanan arah dibawah rata-rata mengkonsumsi lemak total dan asam lemak jeuh rendah (Kotchen et al, 2006). Selain itu, konsumsi lem jenuh meningkatkan risiko kenaikan berat badan yang merupakan faktor risiko hipertensi. Asupan lemak jenuh yang kemudian menyebabkan hipertensi (irza, 2009). Keberadaan lemak jenuh yang berlebih dalam tubuh akan menyebabkan penumpukkan dan pembentuk plak di pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi semakin sempt dan elstisitasnya berkurang (Almatsier, 2003).
4)      Frekuensi Konsumsi Minuman Berkafein
Konsumsi kopi yang berlebihan dalam jangka yang panjang dan jumlah yang banyak diketahui dapat meningkatkan risiko penyakit hipertensi atau penyait kardiovaskuler. Beberapa penelitian menunjukkan didalam 2-3 gelas kopi (200-250 mg) terbukti meningkakan tekanan sistolik sebesar 3-14 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 4-13 mmHg pada orang yang tidak mempunyai hipertensi (Crea, 2008).
Mengkonsumsi kafein secara teratur sepanjang hari  mempunyai tekanan darah rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kalau mereka tidak mengkonsumsi sama sekali. Kebisaan mengkonsumsi kopi dapat meningkatkan kadar kolesterol daah dan meningkatkan risiko terkena penyakit jantung (Sustrani, 2006).
5)      Aktivitas Fisik
Tekanan darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Tekanan darah akan lebih tinggi pada saat melakukan aktivitas fisik dan lebih rendah ketika beristirahat.  (Arnilawati, 2007). Hasil penelitian Dalimartha, dkk (2005), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi, dan individu yang kurang aktif mempunyai risiko menderita hipertensi sebesar 30-50%. Penelitian di Farmingharm Study menyatakan bahwa aktivits fisik sedang dan berat dapat mencegah kejadian stroke. Selain itu, dua meta-amalisis yang telah dilakukan juga menyebutkan hal yang sama. Hasil analisis pertama menyebutkan bahwa bejalan kaki dapat menurunkan tekanan darah pada orang dewasa sekita 2% (Kelly, 2011).
Menurut Depkes (2006), sesorang yang dikatakan olehraga apabila melakukan olahraga selama> 30 menit dan 3-4 kali/ minggu. Pada ssat melakukan intensitas latihan, ekan darah yang meninggi adalah sistolik, sedangkan diastolik tidak tegantung intensitas latihan. Apabila latihan terus dilanjutkan, maka secara bertahap tekanan darah sistolik akan turun sebagai reaksi dari peningkatan dilatasi arteriola di dalam otot yang aktif saat latihan. Olahraga yang dilakukan secara teratur, menyebabkan janung bekerja lebih efisien, denyut jantung berkurang dan menurunkan tekanan darah (Tremblay, 2006 dalam Respati, 2007).
6)      Keadaan Stres
Suheni (2007), yang menyatakan bahwa responden yang mengalami stres memiliki risiko terkena hipertensi sebesar 9,333 kali lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak memilki stres. Dalam Cahyono (2008), stres adalah respon fisiologik, psikologis, dan perilaku seseorang individu dalam dalam menghadapi penyesuai diri terhadap tekanan yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut Hawari (2001), stres adalah respon tubuh yang sifatna non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (stresor psikososial) yang berdampak pada sistem kardiovaskuler. Stesor Psikososial itu sendiri terdiri dari: perkawinan, orangtua, antar pribadi, pekerjaan, lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga, dan trauma.
Stres dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air an garam (Syaifuddin, 2006).
Menurut Depkes RI (2006) dan Sutanto (2010), stres atau ketegangan jiwa (rasa murung, tertekan, marah, dendam, takut dan bersalah). Ketika otak menerima sinyal bahwa seseorang sedang stres, perintah untuk meningkatkan sistem simpatetik berjalan dan mengakibatkan hormon stres dan adrenalin meningkat. Liver melepaskan gula dan lemak dalam darah untuk menambah bahan bakar. Nafas menjadi lebih cepat sehingga jumlah oksigen bertambah. Sehingga menyebabkan kerja jantung menjadi semakin cepat sehingga meningkatkan tekanan darah.
Sutanto (2010), menjelaskan bahwa pelepasan hormon adrenalin oleh anak ginjal sebagai akibat stres berat akan menyebabkan naiknya tekanan darah dan meningkatkan kekentalan darah yang membuat darah membeku atau menggumpal. Adrenalin juga dapat mempercepat denyut jantung, menyebabkan gangguan irama jantung dan mempersempit pembuluh darah koroner.
B.     Kerangka Teori


 










Gambar 2.3 Kerangka Teori
(Modifikasi dari Bullock, 1996; Chenoff, 2006; Sutono, 2008;  Sugihartono; 2007; Wiseman, 2002; Saleh, 2011; Dalimartha et al, 2008; Rohaendi, 2008; Corwin, 2007).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah  metode cross sectional yaitu pengumpulan data baik untuk variabel independen dan variabel dependen dilakukan bersama-sama (Notoatmojo, 2012). Dengan metode ini diharapkan dapat mengetahui hubungan gaya hidup pada pasien lansia dengan penyakit hipertensi di Ruang Rawat Inap RS. Siloam Sriwijaya Palembang.

B.     Variabel Penelitian
Adapun variabel pada penelitian ini yaitu:
1.      Variabel independen (variabel terikat), yang terdiri dari karakteristik (usia, jenis kelamin, ras, riwayat hipertensi) dan gaya hidup (pola makan, kebiasaan minum kopi, kbisaan merokok, stress, aktivitas fisik).
2.      Variabel dependen  (variabel bebas), yaitu hipertensi.

C.    Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep pada penelitian ini seperti yang tercantum pada gambar berikut:


Gambar. 3.1 Kerangka Konsep








 
















Keterangan:
                                                = Variabel yang diteliti
                                                = Varibel yang tidak diteliti



D.    Populasi dan Sampel
1.      Populasi Penelitian
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang diteliti, Populasi adalah setiap subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2013). Populasi penelitian ini adalah semua pasien lansia yang datang berobat ke Rumah Sakit Siloam Sriwijaya pada periode Januari sampai dengan Maret Tahun 2017 yang berjumlah 75 responden.
2.      Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu untuk dapat mewakili populasi (Notoatmojo, 2010). 
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012).
Besar sampel dalam penelitian ini diambil berdasarkan populasi yang ada dengan menggunakan rumus Slvoin adalah sebagai berikut :
n =

Dimana :       n   = Number of samples (jumlah sampel)
                     N   =  Total population (jumlah seluruh anggota populasi)
                     e    =  Error tolerance (toleransi terjadinya galat; taraf signifikansi; untuk sosial dan pendidikan lazimnya 10% atau 5 %)


Maka batasan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah :
n =  
n = 
n= 75/ (1+75(0,01)
n = 75/ (1+0,75)
n=75/1,75 = 42,8 ~43
jadi jumlah sampel sebanyak 43 responden.
Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara accidental sampling . Yaitu pengambilan kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien lansia di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang dengan kriteria inklusi, yaitu:
1)      Pasien lansia yang diduga mengalami hipertensi
2)      Pasien yang dapat berkomunikasi secara verbal
3)      Kesadaran pasien compos mentis
4)      Pasien yang bersedia menjadi responden.
5)      Usia pasien 55 Tahun


E.     Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Ruang Rawat Inap RS Siloam Sriwijaya Palembang.

F.     Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada bulan Juni – Juli 2017.

G.    Etika Penelitian
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus dipehatikan (Hidayat, 2007). Masalah etika penelitian yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut:
1.      Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dengan memebrikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan dari informed consent adalah agar subjek mengerti maksud, tujuan penelitian, dan mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, makan mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika subjek tidak bersedia maka peneliti harus menghormai hak pasien.

2.      Anonimity (Tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan  nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan.
3.      Confidentiality (Kerahasiaan)
Masalah ini merupakan maslah etika dengan memberikan jaminan kerahasian hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya oleh peneliti. Peneliti akan menjamin kerahasiaan identitas responden, dimana data-data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian dan apabila telah selesai makan data tersebut akan dimusnahkan.
Beberapa prinsip etik menurut Polit (2006), yaitu:
1.      Self Determination, yaitu responden diberi kebebasan untuk menentukan aapakh bersedia atau tidak mengikuti kegiatan penelitian dengan sukarela, setelah semua informasi yang berkaitan dengan penelitian dijelaskan dengan menandatangani informed consent yang telah disediakan.
2.      Protection from discomfort, kenyamanan responden selama penelitian dijamin. Peneliti menekankan apabila responden merasa tidak aman atau naman selama menikuti kegiatan penelitian sehingga menimbulkan masalah baik fisik maupun psikologis, maka peneliti mempersiapkan responden untuk menghentikan partisipasinya.
H.    Instrument Penelitian
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti untuk mengobservasi, mengukur dan menilai suatu fenomena untuk  pengumpulan data (Kelana Kusuma Dharma, 2011) Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1.      Alat Spyghmomanometer aneroid dan stetoskop, digunakan untuk pengukuran  penyakit hipertensi atau penentuan nilai tekanan darah (sistole dan diastole).
2.      Kuesioner, isi dari kuesioner yang dibuat yaitu:
a.       Data Demografi (nama responden, usia responden,jenis kelamin responden, dan hail ukur tekanan darah responden)
b.      Berisi sejumlah pertanyaan mengenai, usia, jenis kelamin, riwayat keturunan hipertensi, kebisaan merokok, pola makan, perilaku konsumsi minuman berkafein (kopi), aktivitas fisik, dan keadaan stres.
I.       Uji Validitas dan Reabilitas
1.      Uji Validitas
2.      Uji Reailitas



J.      Prosedur Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil kuesioner, sedangkan data sekunder merupakan hasil pencatatan data-data penunjang di Ruang Rawat Inap RS Siloam Sriwijaya seperti jumlah pasien dan Rekam Medis pasien.
Adapun proses pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah:
1.      Melakukan pendekatan dan memberikan penjelasan maksud dan tujuan peneliti kepada responden dan memohon kesediaan responden untuk menjadi responden.
2.      Meminta responden mengisi kesediaan menjadi responden dan menjelaskan cara pengisian kuesioner
3.      Pengisian kuesioner dilakukan secara langsung oleh responden dan didampingi oleh peneliti.
4.      Pengisian kuesioner
5.      Setelah itu kuesioner akan diolah menggunakan program software komputer yang hanya bisa di akses oleh peneliti dan pembimbing dan kemudian akan dimusnahkan setelah 2 tahun.

K.    Metode Pengolahan dan Analisa data
Data yang telah dikumpulkan lalu dilakukan proses sebagai berikut:
1.      Pengolahan Data
a.       Proses Editing
Meneliti kembali jawaban yang telah diisi oleh responden sehingga jawaban yang diperoleh lengkap. Proses ini dilakukan dilapangan sehingga apabila ada kekurangan atau ketidaksesuaian bisa langsung dilengkapi dan disempurnakan.
b.      Pemberian Kode (Coding)
Untuk mempermudah pengolahan, data yang telah terkumpul diubah bentuknya kedalam bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode untuk mempermudah dalam menganalisis data.
c.       Penyusunan Data (Tabulasi)
Penyusunan data merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Proses tabulasi pada penelitian ini yaitu menggunakan komputer.
d.      Pembersihan Data (Cleaning)
Cleaning merupakan proses pengecekan ulang dan pembersihan data dari kesalahan, apakah benar-benar bebas dari kesalahan.
2.      Analisa Data
Data yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, variabel yang diteliti adalah variabel independen. Berdasarkan penelitian ini maka uji statistik yang digunakan adalah univariat dan bivariat.


a.       Analisa Univariat
Digunakan untuk memperoleh gambaran distribusi dan proporsi dari semua variabel yang diteliti. Variabel yang diteliti meliputi distribusi frekuensi responden berdasarkan usia, jenis kelamin, dan riwayat hipertensi. Selanjutnya distribusi responden untuk gambaran gaya hidup responden berdasarkan stress, aktivitas fisik, kebiasaan minum kopi, kebiasaan merokok, dan pola makan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel analisis univariat berikut ini;
Tabel 4.2  Uji Analisa Univariat
Variabel
Analisa Univariat
Usia
Sentral tendensi (Mean)
Jenis Kelamin
Proporsi (Persentase)
Riwayat Hipertensi
Proporsi (Persentase)
Stress
Proporsi (Persentase)
Aktivitas Fisik
Proporsi (Persentase)
Kebiasaan Minum Kopi
Proporsi (Persentase)
Kebiasaan Merokok
Proporsi (Persentase)
Pola Makan
Proporsi (Persentase)
Hipertensi Lansia
Proporsi (Persentase

b.      Analisis Bivariat
Untuk dapat mengetahui bagaimana hubungan variabel independen terhadap variabel dependen, uji statistik yang digunakan adalah uji statistik chi square test (X2) pada variabel independen gaya hidup yang meliputi: stress, aktivitas fisik, kebiasaan minum kopi, kebiasaan merokok, dan pola makan dan variabel dependen (penyakit hipertensi).  
Untuk mengetahui tingkat kemaknaan dari variabel yang dianalisa maka dilihat dari P Value. Dalam penelitian ini menggunakan derajat kepercayaan (Confident Interval) 95% (0,05). maka P ≤ α (0,05) maka hasil perhitungan statistik bermakna yang berarti ada hubungan, jika P > α (0,05) maka hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan  (Notoatmodjo, 2007).
Untuk mengetahui skala ukur mean atau median digunakan uji normalitas. Dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas Shapiro Wilk karena jumlah sampel 43 orang berarti kurang dari 50 orang. Keputusan uji normalitas data adalah dengan melihat sig. atau p value > 0,05 maka kita simpulkan data berdistribusi normal dan digunakan mean dan apabila tidak normal p value < 0,05 maka digunakan nilai median.

L.     Jalannya Penelitian
Alur penelitian pada penelitian ini seperti yang tercantum pada gambar berikut:







Gambar 3.2 Alur Penelitian
 






















M.   Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
1.
Hipertensi
Tekanan darah sistolik yang ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (JNC VII, 2003)
Sphygnomanometer dan stetoskop
1.        Hipertensi Derajat I tekanan sistolik 140-159 mmHg atau lebih atau diastolik 90-99 mmHg atau lebih
2.        Hipertensi  Derajat II (jika tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 90 mmH) (JNC VII, 2003)
Ordinal









2.
Stress
Suatu kondisi yang disebabkan oleh kejadian yang tidak menyenangkan  dalam hidup dalam satu tahun terakhir yang meliputi permasalahan dengan orang lain, kehilangan orang terdekat, permasalahan keuangan, dan sebagainya. Tingkat stress diukur dengan menggunakan skor metode Holmes & Rahe (1967)
Kuesioner
1.      Stess jika skor > 300
2.      Tidak stress, jika skor ≤300
Ordinal
3.
Aktivitas fisik
Penilaian aktivitas fisik dengan melihat  aktivitas bekerja, berolahraga, dan
aktivitas pada waktu luang dengan menggunakan keusioner Baeke, (1982)
Kuesioner
1.      Aktivitas Ringan, jika indeks < 7,5
2.      Aktivitas Sedang, jika indeks ≥75
 (Baeke et  al,1982 dalam Kamso, 2000)
Ordinal
4.
Pola Makan
Suatu bentuk kebiasaan konsumsi makanan yang dilakukan oleh seseorang dalam kegiatan makannya sehari-hari yang mencakup sumber zat tenaga, pembangun dan pengatur
Kuesioner
1.      Baik, apabila jawaban responden  ≥ mean = 47
2.      Baik, apabila jawaban responden  < mean = 47
Ordinal
5.
Kebiasaan minum kopi
Kebiasaan  mengkonsumsi kafein
Kuesioner
1.      Minum Kopi
2.      Tidak minum kopi
Ordinal
6.
Kebiasaan merokok
Kebiasaan  menghisap rokok
Kuesioner
3.      Perokok
4.      Mantan  perokok (berhenti merokok, paling sedikit selama 6 buan)
5.      Tidak pernah merokok (WHO 1997 dalam Camoes et al, 2010)
Ordinal

N.    Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian (Nursalam, 2013). Hipotesis dalam penelitian adalah:
Ha = Ada hubungan antara gaya hidup pada lansia dengan hipertensi di ruang rawat inap RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017.
H0 =  Tidak ada hubungan antara gaya hidup pada lansia dengan hipertensi di ruang rawat inap RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017.


BAB IV
HASIL PENELITIAN

A.    Gambaran Umum RS Siloam Palembang
1.      Profil Rumah Sakit
Siloam Hospital Group (Siloam) adalah jaringan rumah sakit swasta yang terdepan di Indonesia dan telah menjadi benchmark (nilai standar) pada pelayanan kesehatan berkualitas di Indonesia. Tim medis Siloam terdiri dari 400 Dokter  umum, 1.500 Dokter spesialis, serta 7.200 perawat, teknisi kesehatan dan staf pendukung lainya yang telah melayani hampir 2 juta pasien setiap tahunnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan medis berkelas dunia bagi semua kalangan masyarakat di Indonesia, strategi bisnis Siloam yang berdasarkan pada economies of scale (Prinsip Skala Ekonomi) memungkinkan setiap unit rumah sakitnya untuk beroperasi dengan biaya yang lebih rendah.
Dengan demikian visi perusahaan untuk mewujudkan pelayanan kesehatan berkualitas internasional di Indonesia yang dilandasi dengan belas kasih Iilahi dapat menjadi Platform bagi Siloam untuk meresponi transformasi sosial yang dinamis di Indonesia.
Rumah sakit Siloam pertama kali di resmikan adalah RS Siloam Glenegles pada tahun 1996 yang terletak di Lippo Village, bekerja sama dengan Gleregles Development  Rte, Jtd. Sementara Rs Siloam Sriwijaya yang dikenal sebagai Siloam Hospital Palembang di Sumatera Selatan di resmikan pada tahun 2017.
RS Siloam Sriwijaya Palembang memiliki beberapa ruangan diantaranya Unit Gawat Darurat 24 jam, sedangkan fasilitas rawat inap terdiri dari 150 tempat tidur yang meliputi ruangan Intensive Care Unit (ICU), High Care Unit (HCU), Neonatal Intensive Care Unit (NICU), Maternty dan LDS, Operating Theater (OT)/ kamar operasi, Inpatient Departement yang meliputi IPD 5, IPD 6, IPD 7, Out Patient Departemen (OPD)/ rawat jalan dan masih ada layanan Diagnostik, (EKG, Ehokardiografi, EEG), layanan Radiologi (MRI 2,5 T, Cath Lab, CT Scan, Digital x-Ray, Teleradiologi, Mamografi, ScanUltra Anografi, Pemeriksaan Fluroskopis, Densitometri Mineral Tulang), layanan Laboratorium dan spesialis lainnya.

2.      Visi Misi Rumah Sakit Siloam
a.       Visi
1.      Berkualitas internasional
2.      Menjangkau seluruh lapisan masyarakat
3.      Memiliki jaringan luas
4.      Melayani dengan belas kasih dari Tuhan



b.      Misi
Pilihan terpercaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dan penelitian yang holistik, dan bertaraf internasional.
3.      Gambaran Umum Ruang Rawat Inap RS Siloam Palembang


B.     Analisa Univariat
Dari penyebaran angket terhadap 43 responden diperoleh hasil penelitian berupa deskripsi karakteristik responden yaitu lansia yang dirawat di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang  dengan diagnosa medis hipertensi yang meliputi : usia, jenis kelamin, dan riwayat hipertensi. Selanjutnya distribusi responden untuk gambaran gaya hidup responden berdasarkan stress, aktivitas fisik, kebiasaan minum kopi, kebiasaan merokok, dan pola makan dan kategori hipertensi yang diderita yang disajikan sebagai berikut :
1.      Karakteristik Responden
a.      Usia Responden

Tabel 5.1
Distribusi Rata-Rata Menurut Usia Responden
Di Ruang Rawat Inap RS Siloam Sriwijaya Palembang

Variabel
Min
Max
Mean
SD
Usia
50
80
62,3
6,401

Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan rata-rata usia responden pada penelitian ini yaitu 62,3 tahun dengan besarnya simpangan baku 6,401. Usia terendah adalah 50 tahun dan usia tertinggi 80 tahun.


b.      Jenis Kelamin Responden
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Di RS Siloam Palembang

Jenis kelamin
F
%
Laki-laki
22
51,2
Perempuan
21
48,8
Total
43
100

Berdasarkan tabel 5.2 diatas bahwa jenis kelamin responden yang terbesar dalam penelitian ini yaitu laki-laki sebanyak 22 responden (51,2%) sedangkan perempuan sebanyak 21 responden (48,8%). Dengan demikian maka sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki.
c.       Riwayat Hipertensi
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Hipertensi Di RS Siloam Palembang

Riwayat Hipertensi
F
%
Ada
27
62,8
Tidak ada
16
37,2
Total
43
100

Berdasarkan tabel 5.3 diatas bahwa karakteristik responden berdasarkan riwayat hipertensi yang terbanyak dalam penelitian ini yaitu ada riwayat hipertensi sebanyak 27 responden (62,8%) dan tidak ada riwayat hipertensi sebanyak 16 responden (37,2%). Maka sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki riwayat hipertensi.
d.      Stress
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Stress
Di RS Siloam Palembang

Stress
F
%
Tidak Stress
40
93,0
Stress
3
7,0
Total
43
100

Berdasarkan tabel 5.4 diatas bahwa responden yang tidak mengalami stress sebanyak 40 responden 93,0%. Sedangkan yang mengalami stress sebanyak 3 responden atau 7,0%. Dengan demikian sebagian besar responden tidak mengalami stress.
e.       Aktivitas Fisik
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Aktivitas Fisik
Di RS Siloam Palembang

Jenis Aktivitas
F
%
Aktivitas Ringan
25
58,1
Aktivitas Sedang
18
41,9
Total
43
100

Berdasarkan tabel 5.5 diatas bahwa responden yang masih melakukan aktivitas ringan sebanyak 25 responden 58,1%. Sedangkan yang beraktivitas sedang sebanyak 18 responden atau 41,9%. Dengan demikian sebagian besar responden melakukan aktivitas ringan.
f.       Pola Makan
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Makan
Di RS Siloam Palembang

Pola Makan
F
%
Baik
22
51,2
Tidak baik
21
48,8
Total
43
100

Berdasarkan tabel 5.6 diatas bahwa responden dengan pola makan yang baik sebanyak 22 responden 51,2%. Sedangkan yang memiliki pola makan tidak baik sebanyak 21 responden atau 48,8%. Dengan demikian sebagian besar responden memiliki pola makan yang baik.
g.      Kebiasaan Minum Kopi
Tabel 5.7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan Minum Kopi Di RS Siloam Palembang

Kebiasaan Minum Kopi
F
%
Bukan Peminum
35
81,4
Peminum Kopi
8
18,8
Total
43
100

Berdasarkan tabel 5.7 diatas bahwa responden yang bukan peminum kopi sebanyak 35 responden 81,4%. Sedangkan yang peminum kopi sebanyak 8 responden atau 18,8%. Dengan demikian sebagian besar responden adalah bukan peminum kopi.
h.      Kebiasaan Merokok
Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok
Di RS Siloam Palembang

Kebiasaan Merokok
F
%
Tidak Merokok
21
48,8
Mantan Perokok
6
14,0
Merokok
16
37,2
Total
43
100

Berdasarkan tabel 5.8 diatas bahwa responden yang tidak merokok sebanyak 21 responden 48,8%. Sedangkan yang mantan perokok sebanyak 6 responden atau 14,0%, sedangkan yang merokok sebanyak 16 orang atau 37,2%. Dengan demikian sebagian besar responden tidak merokok.
i.        Hipertensi
Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hipertensi
Di RS Siloam Palembang

Kebiasaan Merokok
F
%
Hipertensi
24
55,8
Tidak Hipertensi
19
44,2
Total
43
100

Berdasarkan tabel 5.9 diatas bahwa responden dengan penyakit hipertensi sebanyak 24 responden 55,8%. Sedangkan yang tidak mengelami hipertensi sebanyak 19 responden atau 44,2%. Dengan demikian sebagian besar responden mengalami hipertensi.

C.    Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk menemukan jawaban dari hipotesis yang telah ditegakkan yaitu untuk melihat hubungan variabel dependen dengan variabel independen. Untuk mengidentifikasi hubungan gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang digunakan Uji Chi square dengan batas nilai kemaknaan α = 0,05.   
1.      Hubungan Stress dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.10
Distribusi Hubungan Stress dengan Penyakit Hipertensi pada Lansia di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang Tahun 2017

Pola Stress
Hipertensi Lansia
OR
95%CI
Nilai P value
Hipertensi
Tidak Hipertensi
Total
n
%
n
%
N
%
2,70
0,575
Tidak Stress
23
57,5
17
42,5
40
100,0
Stress
1
33,3
2
66,7
3
100,0
Total
24
55,8
19
44,2
43
100,0

Berdasarkan analisis hubungan antara pola stress dengan hipertensi lansia diketahui bahwa dari 40 responden yang tidak mengalami stress sebanyak 23 responden atau 57,5% dengan mengalami hipertensi dan dari 3 responden yang mengelami stress sebanyak 1 responden atau 33,3%  dengan penyakit hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,575 lebih besar dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara stress dengan hipertensi lansia  dan dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 2,7 artinya tingkat stress lansia mempunyai peluang 2,7 kali untuk terjadinya hipertensi lansia dibandingkan dengan lansia yang tidak stress.
2.      Hubungan Aktivitas Fisik dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.11
Distribusi Hubungan Aktivitas Fisik dengan Hipertensi di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang  Tahun 2017

Aktivitas Fisik
Hipertensi Lansia
OR
95%CI
Nilai P value
Hipertensi
Tidak Hipertensi
Total
n
%
n
%
n
%
7,846
0,002
Aktivitas ringan
19
76,0
6
24,0
25
100,0
Aktivitas sedang
5
27,8
13
72,2
18
100,0
Total
24
55,8
19
44,2
43
100,0

Berdasarkan analisis hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi diketahui bahwa dari 25 responden yang melakukan aktivitas ringan,  sebanyak 19 responden atau 76,0%  mengelami hipertensi dan dari 18 responden yang melakukan aktivitas sedang, ada sebanyak 5 responden atau 27,8% yang mengelami hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,022 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan hipertensi lansia  dan dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 4,33 artinya aktivitas lansia mempunyai peluang 4,3 kali untuk terjadinya hipertensi lansia dibandingkan dengan lansia yang tidak beraktivitas atau beraktivitas ringan.
3.      Hubungan  Pola Makan dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.12
Distribusi Hubungan Pola Makan dengan Hipertensi di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang  Tahun 2017

Pola Makan
Hipertensi Lansia
OR
95%CI
Nilai P value
Hipertensi
Tidak Hipertensi
Total
n
%
n
%
n
%
4,33
0,022
Baik
16
72,7
6
27,3
22
100,0
Tidak Baik
8
38,1
13
61,9
21
100,0
Total
24
55,8
19
44,2
43
100,0

Berdasarkan analisis hubungan antara pola makan dengan hipertensi diketahui bahwa dari 22 responden yang memiliki pola makan baik, ada  sebanyak 16 responden atau 72,7%  yang mengalami hipertensi dan dari 21 responden yang memiliki pola makan baik, ada sebanyak 8 responden atau 38,1% yang mengalami hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,022 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan hipertensi lansia  dan dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 4,3 artinya pola makan lansia mempunyai peluang 4,3 kali untuk terjadinya hipertensi lansia dibandingkan dengan lansia yang tidak stress.
4.      Hubungan  Kebiasaan Minum Kopi dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.12
Distribusi Hubungan Kebiasaan Minum Kopi dengan Hipertensi
di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang  Tahun 2017

Kebiasaan Minum Kopi
Hipertensi Lansia
OR
95%CI
Nilai P value
Hipertensi
Tidak Hipertensi
Total
n
%
n
%
n
%
10,615
0,033
Tidak minum kopi
23
63,9
13
36,1
36
100,0
Minum Kopi
1
14,3
6
85,7
7
100,0
Total
24
55,8
19
44,2
43
100,0

Berdasarkan analisis hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan hipertensi diketahui bahwa dari 36 responden yang tidak minum kopi, ada  sebanyak 23 responden atau 63,9%  yang mengalami hipertensi dan dari 7 responden yang minum kopi, ada sebanyak 1 responden atau 14,3% yang mengalami hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,033 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan minum kopi dengan hipertensi lansia  dan dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 10,615 artinya kebiasaan minum kopi lansia mempunyai peluang 10,615 kali untuk terjadinya hipertensi lansia dibandingkan dengan lansia yang tidak minum kopi.


5.      Hubungan  Kebiasaan Merokok dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.12
Distribusi Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Hipertensi
di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang  Tahun 2017

Kebiasaan Merokok
Hipertensi Lansia
OR
95%CI
Nilai P value
Hipertensi
Tidak Hipertensi
Total
n
%
n
%
n
%
-
0,003
Tidak merokok
17
81,0
4
19,0
21
100,0
Mantan Perokok
3
50,0
3
50,0
6
100,0
Perokok
4
25,0
12
75,0
16
100,0
Total
24
55,8
19
44,2
43
100,0

Berdasarkan analisis hubungan antara kebiasaan merokok dengan hipertensi diketahui bahwa dari 21 responden yang tidak merokok, ada  sebanyak 17 responden atau 81,0%  yang mengalami hipertensi dan dari 6 responden yang mantan perokok, ada sebanyak 3 responden atau 50,0% yang mengalami hipertensi. Dari 16 responden yang merokok terdapat 4 responden (25,0%) yang menderita hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,003 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan hipertensi lansia.

B.     Pembahasan
1.      Analisis Univariat
a.       Usia Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata usia responden pada penelitian ini yaitu 62,3 tahun dimana usia terendah responden adalah 50 tahun dan usia tertinggi 80 tahun.
Menurut Prasetyo (2010), usia merupakan variabel yang paling penting dalam mempengaruhi persepsi setiap individu. Kategori Umur Menurut Depkes (2009) : masa balita usia 0 – 5 tahun, masa kanak-kanak usia 5 – 11 tahun, masa remaja awal usia 12 – 16 tahun, masa remaja akhir usia 17 – 25 tahun, masa dewasa muda usia 26- 35 tahun, masa dewasa akhir usia 36- 45 tahun, masa lansia awal usia 46- 55 tahun, masa lansia akhir usia 56 – 65 tahun, masa manula usia 65 sampai atas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Usia mempunyai peranan yang penting dalam mempersepsikan dan mengekspresikan suatu masalah berdasarkan sudut pandang pengalaman hidup yang sudah dialaminya.
Pada usia 45-54 tahun kejadian hipetensi pada pria sebesar 37,1% dan pada wanita 35,2%, pada usia 55-64 pevalensi meningkat menjadi 54,0% pada pria dan 53,3%paa wanita begitu seterusnya sampai usia 75 tahun ketas (CDC, 2012). Berdasarkan data dari  American Heart Association, sekitar 80% dari orang yang meninggal akibat penyakit kadiovaskular merupakan orang berusia 65 tahun ke atas (UCSF, 2012).
Sejalan dengan penelitian
Pertambahan usia menyebabkan adanya perubahan fisiologis dalam tubuh seperti penebalan dinding arteri akibat adanya penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan mengalami penyempitan dan menjadi kaku dimulai saat usia 45 tahun. Selain itu juga terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik serta kurangnya sensitivitas baroreseptor (pengatur tekanan darah) dan peran ginjal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun.


b.      Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin responden yang terbesar dalam penelitian ini yaitu laki-laki sebanyak 22 responden (51,2%) sedangkan perempuan sebanyak 21 responden (48,8%).
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria hampir sama dengan wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh
hormon esterogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Menurut penelitian dari Sapitri tahun 2016, menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Jenis kelamin terbanyak pada laki-laki yaitu 56,4%.

c.       Riwayat Hipertensi
karakteristik responden berdasarkan riwayat hipertensi yang terbanyak dalam penelitian ini yaitu ada riwayat hipertensi sebanyak 27 responden (62,8%) dan tidak ada riwayat hipertensi sebanyak 16 responden (37,2%)
Adanya faktor genetik pada keluarga dapat menyebabkan risiko untuk menderita penyakit hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraselular dan rendahnya rasio antara potassium terhadap sodium. Individu orang tua menderita hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga.
d.      Stress
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tidak mengalami stress sebanyak 40 responden 93,0%. Sedangkan yang mengalami stress sebanyak 3 responden atau 7,0%.
Stress diyakini memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga melalui aktivitas syaraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Disamping itu juga dapat merangsang kelenjar
anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress berlangsung cukup lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang akan muncul berupa hipertensi atau penyakit mag. Stress dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu dan bila stress sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sapitri tahun 2014 menunjukkan bahwa orang yang memiliki riwayat stress mempunyai risiko mendertia hipertensi sebesar 0,19 kali dibanding dengan yang tidak memiliki riwayat stress.

e.       Aktivitas Fisik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang masih melakukan aktivitas ringan sebanyak 25 responden 58,1%. Sedangkan yang beraktivitas sedang sebanyak 18 responden atau 41,9%.
Aktivitas fisik yang mampu membakar kalori 800-1000 kalori akan meningkatkan high density lipoprotein (HDL) sebesar 4.4 mmHg (Khomsan, 2004). Sebagian besar studi epidimiologi dan studi intervensi olahraga memberikan dukunga tegas bahwa peningkatan aktivitas fisik, durasi yang cukup, intensitas dan jenis sesuai mampu menurunkan tekanan darah secara signifikan, baik dengan tersendiri maupun sebagai bagian dari terapi pengobatan. Aktivitas fisik yang baik dan rutin akan melatih otot jantung dan tahanan perifer yang dapat mencegah peningkatan tekanan darah. Disamping itu, olahraga yang teratur dapat merangsang pelepasan hormon endorfin yang menimbulkan efek euphoria dan relaksasi otot sehingga tekanan darah tidak meningkat.
Penelitian dari Framingham study menyatakan bahwa aktivitas fisik sedang dan berat dapat mencegah kejadian stroke. Selain itu, meta analisis yang dilakukan juga menyebutkan hal yang sama. Hasil analisis
pertama menyebutkan bahwa berjalan kaki menurunkan tekanan darah pada orangdewasa sekitar 2%. Analisis kedua pada 54 randomized controlled trial (RCT), aktivitas aerobik menurunkan tekanan darah rata-rata TDS 4 mmHg dan 2 mmHg TDD pada pasien dengan dan tanpa hipertensi. Peningkatan intensitas aktivitas fisik, 30-45 menit per hari penting dilakukan sebagai strategi untuk pencegahan dan pengelolaan
hipertensi.
f.       Pola Makan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan pola makan yang baik sebanyak 22 responden 51,2%. Sedangkan yang memiliki pola makan tidak baik sebanyak 21 responden atau 48,8%.
Menurut (Hidayat, 2007) pola makan adalah perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan, jenis makanan, frekuensi, cara pengolahan, dan pemilihan makanan.
Didukung oleh Neil (2004) bahwa penderita hipertensi lanjut usia mungkin tidak patuh dengan penatalaksanaan diet pola makan karena tidak mengetahui tujuan dari penatalaksanaan atau mungkin melupakan begitu saja atau sudah mengerti instruksi yang diberikan tetapi tidak dilaksanakan.
Menurut Witjaksono (2009) bahwa peran serta keluarga atau kelompok sebagai pendukung terbukti berhasil mengubah gaya hidup pola makan seseorang untuk mencegah hipertensi. Soesetyo Boedi (2002) juga berpendapat bahwa kegagalan membangun hubungan komunikasi yang baik menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pola makan dan kontrol yang tak memuaskan terhadap hipertensi.
Hasil penelitian Anisah (2011), menunjukkan bahwa sebagian besar responden 70% (14 responden) mempuyai pola makan yang tidak sesuai diet hipertensi dan hampir setengah dari responden 30% (6 responden) mempunyai pola makan yang sesuai diet hipertensi.

g.      Kebiasaan Minum Kopi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bukan peminum kopi sebanyak 35 responden 81,4%. Sedangkan yang peminum kopi sebanyak 8 responden atau 18,8%. 
Konsumsi kafein secara berlebihan yang terdapat dalam kopi, teh, dan cola akan meningkatkan aktifitas syaraf simpatis karena dapat merangsang sekresi Corticotropin Releasing Hormone (CRH) yang berujung pada peningkatan tekanan darah. Sementara kafein dapat menstimulasi jantung untuk bekerja lebih cepat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya.

h.      Kebiasaan Merokok
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tidak merokok sebanyak 21 responden 48,8%. Sedangkan yang mantan perokok sebanyak 6 responden atau 14,0%, sedangkan yang merokok sebanyak 16 orang atau 37,2%.
Hubungan antara merokok dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya merokok, risiko akibat merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok
yang dihisap per hari. Seseorang yang merokok lebih dari satu pak (15 batang) rokok sehari memiliki risiko 2 kali lebih rentan untuk menderita hipertensi dan penyakit kardiovaskuler daripada mereka yang tidak merokok.
2.      Analisis Bivariat
a.       Hubungan Stress dengan Hipertensi
diketahui bahwa dari 40 responden yang tidak mengalami stress sebanyak 23 responden atau 57,5% dengan mengalami hipertensi dan dari 3 responden yang mengelami stress sebanyak 1 responden atau 33,3%  dengan penyakit hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,575 lebih besar dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara stress dengan hipertensi lansia 
b.      Hubungan Aktivitas fisik dengan Hipertensi
hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi diketahui bahwa dari 25 responden yang melakukan aktivitas ringan,  sebanyak 19 responden atau 76,0%  mengelami hipertensi dan dari 18 responden yang melakukan aktivitas sedang, ada sebanyak 5 responden atau 27,8% yang mengelami hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,022 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan hipertensi lansia
c.       Hubungan Pola makan dengan Hipertensi
hubungan antara pola makan dengan hipertensi diketahui bahwa dari 22 responden yang memiliki pola makan baik, ada  sebanyak 16 responden atau 72,7%  yang mengalami hipertensi dan dari 21 responden yang memiliki pola makan baik, ada sebanyak 8 responden atau 38,1% yang mengalami hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,022 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan hipertensi lansia 
d.      Hubungan Kebiasaan Minum Kopi dengan Hipertensi
hubungan antara kebiasaan minum kopi dengan hipertensi diketahui bahwa dari 36 responden yang tidak minum kopi, ada  sebanyak 23 responden atau 63,9%  yang mengalami hipertensi dan dari 7 responden yang minum kopi, ada sebanyak 1 responden atau 14,3% yang mengalami hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,033 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan minum kopi dengan hipertensi lansia.
e.       Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Hipertensi
hubungan antara kebiasaan merokok dengan hipertensi diketahui bahwa dari 21 responden yang tidak merokok, ada  sebanyak 17 responden atau 81,0%  yang mengalami hipertensi dan dari 6 responden yang mantan perokok, ada sebanyak 3 responden atau 50,0% yang mengalami hipertensi. Dari 16 responden yang merokok terdapat 4 responden (25,0%) yang menderita hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,003 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan hipertensi lansia.
C.    Keterbatasan Penelitian  
Adapun keterbatasan penelitian ini adalah
1.      Desain penelitian hanya menggunakan cross sectional sehingga besar resiko masing-masing variabel bebas tidak dapat diketahui secara kuat.
2.      Dalam meneliti pola makan responden menggunakan kuesioner yang waktunya sesaat saja sehingga besar kemungkinan dapat mengurangi keakuratan hasil penelitian.
3.      Untuk kuesioner aktivitas fisik peneliti hanya menggunakan dua kriteria saja yaitu aktivitas sedang dan ringan saja hal  ini mengingat batas kemampuan aktivitas lansia yang diteliti. Sehingga untuk mengetahui aktivitas fisik yang sebenarnya mungkin kurang akurat.

0 Reviews:

Posting Komentar

Silahkan tinggal pesan, dilarang SPAM, SARA dan Melanggar Hukum