Rabu, 22 Maret 2017

Faktor-faktor yang berhubungan dengan Safe Staffing di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang”

Posted by with No comments


Faktor-faktor yang berhubungan dengan Safe Staffing di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang”

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Rumah sakit merupakan institusi yang mengemban tugas berat di bidang pelayanan kesehatan, dimana rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu yang dapat memuaskan konsumennya dan disisi lain harus mampu memberikan kesejahteraan dan keamanan kepada para karyawannya. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (UU No.4 Tahun 2009).
Mutu Pelayanan Rumah Sakit  merupakan derajat kesempurnaan pelayanan Rumah Sakit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat / konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan profesi dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di Rumah Sakit secara wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai norma, etika, hukum dan sosio budaya, dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat sebagai sumber konsumen (Hasanah, 2012)
Pengaturan staf, pemberian beban kerja, lembur dan kondisi lingkungan tentunya harus mampu menciptakan kualitas pelayanan rumah sakit yang baik.  Rumah sakit selalu mengedepankan peningkatan mutu pelayanan melalui pengembangan program keselamatan dan lingkungan kerja untuk membangun budaya keselamatan di kalangan perawat (Hughes, 2008).
Pelayanan kesehatan yang komprehensif adalah berbagai bentuk pelayanan yang diberikan kepada klien oleh suatu tim multi disiplin sesuai kebutuhan pasien. SDM di rumah sakit menjadi hal penting yang mendukung berkembangnya rumah sakit dan menjadi tolak ukur penting dalam penilaian pengembangan mutu pelayanan di rumah sakit (Fera, 2015).
Sudah seharusnya apabila pihak manajemen rumah sakit memiliki sumber daya yang tepat (baik keuangan dan manusia). Salah satu upaya menciptakan SDM yang berkualitas adalah dengan merekrut dan melakukan pemeliharaan tenaga kerja yang profesional dibidang perawatan kesehatan secara efektif karena hal ini berpengaruh terhadap kualitas sistem pelayanan kesehatan yang diberikan. Membangun lingkungan praktik positif di sektor kesehatan menjadi hal yang sangat penting karena dapat menjamin kesejahteraan keselamatan pekerja dan juga kesehatan pasien. Semua pemangku kepentingan sektor kesehatan, baik itu pengusaha atau karyawan, swasta atau publik, pemerintah atau non-pemerintah, masing-masing memiliki peran yang spesifik peran juga tanggung jawab untuk membina lingkungan praktik positif. Praktek Lingkungan positif adalah pengaturan yang mendukung keunggulan dan pekerjaan yang layak. Secara khusus, mereka berusaha untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pribadi staf, mendukung kualitas perawatan pasien dan meningkatkan motivasi, produktivitas dan kinerja individu dan organisasi (ICN, 2004)
Kohn, Corrigan dan Donaldson (2000) menunjukkan bahwa sistem perawatan kesehatan akan menimbulkan masalah yang diakibatkan dari proses yang tidak memadai, dukungan sumber daya manusia yang tidak memadai dan sistem yang tidak mempromosikan praktik yang aman. Diperkirakan bahwa kurang lebih 98.000 orang per tahun meninggal akibat kesalahan medis yang terjadi di rumah sakit, angka ini adalah lebih besar dibanding dari angka kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kanker payudara atau AIDS (Salim, 2015)
Safe Staffing berarti bahwa jumlah staf yang berkerjasama sesuai dengan tingkat keahliannya, tersedia setiap saat untuk memastikan bahwa kebutuhan perawatan pasien terpenuhi dan kondisi kerja staf yang terbebas dari bahaya (hazardfree) dapat dipertahankan. Pengelolaan Safe Staffing mencerminkan dari kualitas perawatan pasien, kehidupan kerja yang aman seorang perawat. Praktik Safe Staffing menggabungkan seluruh kegiatan keperawatan dan berbagai tingkat kemampuan persiapan perawat, kompetensi, pengalaman, pengembangan kesehatan pribadi perawat. Dukungan dari manajemen keperawatan di tingkat operasional serta eksekutif seperti lingkungan kontekstual, dukungan layanan teknologi dari fasilitas yang tersedia; serta penyediaan perlindungan dari pihak yang berwenang (whistleblower) (ICN, 2006). Hal ini berarti bahwa safe staffing adalah bagaimana menciptakan kondisi kerja bagi perawat yang aman yang dindikasikan dengan kecukupan jumlah staf perawat yang sesuai dengan kompetensi,  dan mampu bekerja sama dalam satu teamwork sehingga dapat memberikan keperawatan pasien yang aman.
Program kesehatan dan keselamatan staf rumah sakit penting untuk menjaga kesehatan, kepuasan, dan produktifitas staf. Keselamatan staf juga menjadi bagian dari program mutu dan keselamatan pasien rumah sakit. Bagaimana rumah sakit memberi orientasi dan melatih staf, menyediakan tempat kerja yang aman, memelihara peralatan biomedis dan peralatan lainnya, mencegah atau mengendalikan infeksi yang terkait pelayanan kesehatan, dan berbagai faktor lain yang menentukan kesehatan dan kesejahteraan staf (Taufik, 2013)
Safe staffing berarti bahwa jumlah staf yang terkombinasi sesuai dengan tingkat keahliannya, tersedia setiap saat untuk memastikan bahwa kebutuhan perawatan pasien terpenuhi dan kondisi kerja staf yang terbebas dari bahaya (hazardfree) dapat dipertahankan (ICN, 2006).
Tantangan utama yang dihadapi oleh manajemen Rumah sakit adalah menetapkan beban kerja yang mengoptimalkan produktivitas tanpa mengorbankan kesejahteraan dan keselamatan perawat atau pasien. Karena pengukuran beban kerja yang saat ini diterapkan belum sesuai dengan alat pengukuran beban kerja yang dilihat dari aspek keahlian dan kompensasi yang diberikan kepada perawat (ICN, 2004).
Beban kerja yang beraneka raga, yang sering dialami oleh perawat diantaranya adalah kerja lembur yang terus menerus, pembagian shift kerja yang tidak menentu, banyaknya jumlah pasien yang harus ditangani. Menurut Sheward, dkk, (2005)  perawat yang bekerja lembur terus menerus atau bekerja tanpa dukungan yang memadai cenderung untuk banyak tidak masuk kerja dan kondisi kesehatan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah perawat berhubungan dengan kondisi kesehatan perawat.
Lingkungan kerja yang positif bagi rumah sakit mampu mempengaruhi, mendorong dan memberikan motivasi bagi seseorang untuk bekerja secara optimal sesuai dengan profesinya sehingga tercapai kepuasan dalam bekerja. Lingkungan kerja yang positif menurut International Council of Nursing (ICN) ditandai oleh 1) inovasi kerangka kebijakan yang berfokus pada rekrutmen dan retensi; 2) strategi pendidikan dan pelatihan berkelanjutan; 3) kompensasi pegawai yang memadai; 4) adanya program-program penghargaan dan pengakuan (recognition); 5) sarana dan peralatan mencukupi; dan 6) lingkungan kerja yang aman (Edy, 2010).
Hasil analisis lingkungan kerja perawat oleh WHO (2003) di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, menemukan bahwa lingkungan kerja perawat belum optimal seperti pendapatan perawat yang rendah, fasilitas kesehatan yang buruk dan tidak aman bagi staf perawat, rasio perawat pasien yang tidak optimal, hubungan tim kerja yang perlu penguatan, beberapa perawat mengalami kekerasan fisik, kurang perlindungan dalam pekerjaan dan beberapa fasilitas yang tidak memuaskan. 
Kompleksitas pasien dapat berupa pasien lansia, pasien dengan sakit kronis, dan pasien fisiologis tidak stabil, serta orang-orang yang menjalani pengobatan jangka panjang atau kompleks, berisiko lebih besar mengalami berbagai jenis efek samping dalam perawatan.
Dalam sektor rumah sakit, tingkat keterampilan dalam team work adalah bahan penting dari perawatan yang optimal.  Pentingnya membentuk tim kerja yang terdiri dari staf perawat profesional dan berpendidikan tinggi
menunjukkan semakin baik hasil perawatan kepada pasien.
Staf campuran merupakan implementasi dari variasi safe staffing yang tergantung pada keadaan setempat. Perawat berkolaborasi dengan berbagai profesional dan non petugas kesehatan, terutama mereka yang bekerja dalam komunitas (ICN 2006).
Pemilihan model pengiorganisasian yang tepat dalam pemberian pelayanan kesehatan pada tiap unit kerja atau organisasi bergantung kepada keterampilan dan keahlian staf, keberadaan perawat professional yang teregister, sumber daya ekonomi organisasi, karakteristik pasien, dan kompleksitas tugas-tugas yang harus diselesaikan (Gillies, 1995).
Meskipun pentingnya biaya keperawatan dalam anggaran rumah sakit, penelitian secara empiris telah membuktikan bahwa sangat kecil pengaruh dari perubahan staf perawat terhadap kinerja keuangan rumah sakit. Biaya tenaga kerja yang meningkat bisa saja timbul dari penambahan jumlah karyawan, upah lembur, atau biaya penyusunan tim kerja. Teori yang lain menyatakan bahwa rumah sakit dapat mengatasi biaya tenaga kerja yang lebih tinggi dengan mengubah unsur-unsur lain dari jasa layanan rumah sakit misalnya dengan cara meningkatkan volume rawat jalan (Kristin, dkk. 2013).
Menurut ILO, setiap tahun ada lebih dari 250 juta kecelakaan di tempat kerja dan lebih dari 160 juta pekerja menjadi sakit karena bahaya di tempat kerja. Terlebih lagi, 1,2 juta pekerja meninggal akibat kecelakaan dan sakit di tempat kerja. Angka menunjukkan, biaya manusia dan sosial dari produksi terlalu tinggi (ILO, 2013).
Menurut WHO (2011), beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, ditemukan fakta perawat yang bekerja di rumah sakit menjalani peningkatan beban kerja dan masih mengalami kekurangan jumlah perawat.
Dari laporan yang dibuat oleh The National Safety Council (NSC), 41% petugas medis mengalami absenteism (kemangkiran) yang diakibatkan oleh penyakit akibat kerja dan injury, angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Survei yang dilakukan terhadap 165 laboratoraoium klinis di Minnesota memperlihatkan bahwa injury yang terbanyak adalah needle sticks injury (63%) diikuti oleh kejadian lain seperti luka dan tergores (21%). Selain itu pekerja di rumah sakit sering mengalami stres, yang merupakan faktor predisposisi untuk mendapatkan kecelakaan. Ketegangan otot dan keseleo merupakan representasi dari low back injury yang banyak didapatkan dikalangan petugas rumah sakit (Ana, 2011).
Perawat Indonesia yang berkerja diempat provinsi sebanyak 50,9% mengalami stres kerja, sering merasa pusing, lelah tidak ada istirahat karena beban terlalu tinggi dan menyita waktu, gaji rendah tanpa insentif yang memadahi. Perawat yang berkerja di rumah sakit swasta dengan gaji yang lebih baik mengalami stres kerja yang lebih besar dibandingkan perawat yang berkerja di rumah sakit pemerintah dengan penghasilan yang lebih rendah (PPNI dalam Urip, 2015)
Hasil penelitian di Puskesmas terpencil di 10 provinsi, 20 Kabupaten dan 60 Puskesmas oleh Depkes dan UI (2005), menunjukkan bahwa;  69% menyatakan Puskesmas tidak mempunyai sistem penghargaan bagi perawat; 78,8% melaksanakan tugas petugas kebersihan;  63,6% melakukan tugas administrasi. Lebih dari 90% perawat melakukan tugas non keperawatan (menetapkan diagnosis penyakit, membuat resep obat, melakukan tindakan pengobatan), sementara hanya 50% melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan peran dan fungsinya (Puspita, 2015).
Hughes (2008) menyatakan bahwa langkah awal memperbaiki pelayanan yang berkualitas adalah keselamatan, sedang kunci dari pelayanan bermutu dan aman adalah membangun budaya keselamatan pasien. Menurut Mitchell dalam Hughes (2008), perawat merupakan kunci dalam pengembangan mutu melalui keselamatan pasien. Marquis dan Huston (2006) menyatakan bahwa program pengembangan staf melalui pelatihan dan pendidikan merupakan program yang efektif untuk meningkatkan produktifitas bagi perawat Dukungan yang adekuat dalam bentuk pelatihan professional dan pengembangan pengetahuan merupakan salah satu upaya untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif bagi perawat agar asuhan yang aman dapat diberikan (ICN, 2006).
Di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang, berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh penulis di salah satu instalasi rawat inap Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang dimana jumlah tenaga disana dalam setiap shift berjumlah  6 orang dan harus memberikan pelayanan kepada kurang lebih 40 pasien. Rasio jumlah tenaga keperawatan tersebut, apabila dibandingkan dengan jumlah pasien masih belum memenuhi standar, sedangkan standar rasio antara perawat dan pasien menurut ......................... adalah ........ hal ini berakibat terhadap meningkatnya beban kerja perawat, kelelahan fisik dan emosional, melibatkan pengembangan konsep diri yang negatif, sikap kerja yang negatif, dan hilangnya perhatian kepada keselamatan pasien. Seperti misalnya pada saat observasi penulis Untuk itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Safe Staffing di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang”

0 Reviews:

Posting Komentar

Silahkan tinggal pesan, dilarang SPAM, SARA dan Melanggar Hukum