Oleh : Sumario
Allah Swt. berfirman dalam surat al-Mâ’ûn: 4-6.
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ
سَاهُوْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ يُرَاءُوْنَ وَيَنْمَعُوْنَ اْلمَاعُوْنَ
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat
riya’…” (Q.S. al-Mâ’ûn:
4-6)
Rasulullah Saw.
bersabda:
ِانَّ اَخْوَفَ مَا اَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلاَصْغَرُ,
قِيْلَ: مَا هُوَ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اَلرِّيَاءُ.
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan
dari kamu sekalian adalah syirik kecil.” Para Shahabat bertanya, “Apakah syirik
kecil ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’.”
Sedangkan menurut Imâm
al-Ghazâlî riya' adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan cara melakukan
ibadat dan amal-amal kebajikan.Dilihat dari segi
bentuknya, maka riya' dapat dibagi menjadi enam bagian:
a) Riya' lewat anggota badan, yaitu dengan cara menampakkan kurus
kerempengnya badan, agar disangka orang kurang tidur (selalu bangun malam) dan
banyak berpuasa, atau menampakkan rasa sedih dan iba agar disangka sangat
peduli terhadap urusan agama, menampakkan kusutnya rambut agar disangka
betul-betul tenggelam dalam urusan agama, menampakkan keringnya bibir dan rendahnya
suara agar disangka betul-betul aktif berpuasa dan tekun berjuang.
b) Riya' lewat gaya penampilan, yaitu dengan cara mencukur kumis,
menundukkan kepala saat berjalan, sangat berhati-hati dalam setiap
gerak-geriknya, sengaja membiarkan bekas sujud dalam shalat, dan memejamkan
mata saat berbicara agar orang menilai bahwa dirinya betul-betul memiliki
kasyaf dan wawasan pengetahuannya dalam.
c) Riya' lewat pakaian, yaitu dengan mengenakan baju wol dan baju
kasar yang menjulur ke betis, memakai baju compang-camping dan lusuh agar orang
mengira bahwa dirinya ticlak sedikit pun berpaling dari mengingat Allah,
mengenakan serban dan membawa serta sajadah sebagaimana seorang tasawuf,
mengenakan baju takwa agar disangka orang alim, membuat penutup di atas sorban
dengan kain, memakai kaus kaki agar disangka meninggalkan hidup duniawi karena
begitu kuatnya wara' dan agar terhindar dari debu jalanan.
d) Riya' lewat kata-kata, seperti riya' seorang muballigh dan
pakar. Yaitu dengan cara berkata-kata indah yang memikat, berucap dengan lagak
bijak, mengutip hadis, dan kata-kata ulama salaf, dengan suara yang lembut, dan
menampakkan rasa sedih dan iba, padahal dalam hatinya kosong dari nilai-nilai
keikhlasan dan kejujuran. Mengaku ahli hadis, berteman para syeikh, dengan
cepat-cepat menyela pembicaraan agar disangka ahli ilmu pengetahuan, merasa
sedih atas kemaksiatan yang merajalela, padahal hatinya tidak demikian.
e) Riya' melalui amal, seperti melambatkan berdiri dan memanjangkan
bacaan shalat, memperbagus cara ruku' dan sujud, tidak menoleh kanan-kiri,
banyak bersedekah, puasa, berkali-kali menunaikan ibadah haji, berjalan
khusyu', padahal Allah Swt. Mahatahu batinnya, kalau di dalam keadaan sendiri
tidak bergaya seperti itu semua. Bahkan jika tidak dilihat orang, la berjalan
cepat, dan meremehkan salat. jika merasa ada yang melihat, la kembali tenang
agar disangka khusyu'.
f) Riya' karena banyak murid, dan menyebut banyak syeikh agar
disangka bahwa dia betul-betul banyak berteman para syeikh. Seperti orang yang
senang bila dikunjungi oleh para penguasa dan ulama, agar dia disebut-sebut
banyak berkahnya.
Penjelasan di atas
adalah jenis-jenis riya' dalam agama, bahkan tergolong dosa besar dan tentunya
haram, jika berkedokkan agama dalam mewujudkan ambisi pribadi. Tetapi, bila
menyangkut masalah duniawi dan tidak memperalat agama untuk mencapai maksudnya,
maka bukanlah tergolong riya' yang dilarang, sepanjang tidak mengandung unsur
penipuan.
Menurut Imâm
al-Ghazâlî riya' memiliki tiga derajat negatif:
Pertama, riya' tidak bisa memasuki wilayah keagamaan
dan ibadah. Seperti ketika memakai pakaian bagus, saat keluar, tetapi tidak
saat khalwat. Semisal infak harta untuk suatu jamuan orang-orang kaya, supaya
disangka dermawan, bahkan karena agar disangka sebagai wara' yang shaleh. Maka
riya' seperti di atas tidak haram. Sebab kompetensi hati itu seperti
kepemilikan harta.
Memang, sedikit harta
namun bermanfaat, sementara banyak harta yang bisa melupakan dzikir kepada
Allah Swt., kedudukannya tetap seperti orang kaya. Apabila hartanya
didistribusikan untuk kepentingan kedudukannya, yang tentu bisa menyeret pada
sikap alpa dan maksiat, tindakan. tersebut haram. Keharaman tersebut sebenarnya
terletak pada sikap manipulasi keagamaan dan kewara'an. Karena ia telah
memanipulasi agar manusia yakin, seakan-akan la orang yang mukhlis dan
taat. Niat tersebut sangat dibenci oleh Allah, dan tergolong fasik.
Kedua, kalau seseorang beribadah kepada Allah,
tetapi demi makhluk, berarti dia telah menghina agama. Seandainya ada hamba
yang mau beribadah, dengan keyakinan bahwa hamba-hamba Allah lebih mampu
memberi manfaat dan menjauhkan dari bencana dibanding Allah Swt., yang kemudian
mendorongnya untuk beribadah secara baik di mata orang banyak, lantaran pamer
ibadahnya dengan motivasi, manusia bisa dikuasai hatinya. Itulah sebabnya,
mengapa riya' itu tergolong syirik kecil, yang kemudian semakin bertambah
karena rusaknya motivasi dan niat.
Menurut Imâm
al-Ghazâlî, riya’menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam:
Pertama, riya’ secara terang-terangan, adalah hal-hal
yang membangkitkan amal, kalau saja hal-hal tersebut tidak ada, dia tidak
pernah senang beramal, minimal dia merasa berat beramal. Namun amal tersebut
menjadi ringan dan disertai semangat jika ada motivasi tersebut. Seperti orang
yang bertahajud, apabila ada tamu semakin bersemangat. Tetapi ketika dilihat
oleh orang lain sebelum dan sesudah tahajud, la merasa gembira. Ada suatu
kebanggaan tersendiri. Hal demikian menunjukkan bahwa riya' telah menempati
lubuk hatinya
Kedua, riya’ secara samar adalah tindakan yang
mengarah pada riya’ namun sangat kecil, bahkan lebih kecil dari semut. Ali r.a.
berkata, "Sesungguhnya Allah Swt. bersabda pada hari
Kiamat kepada ulama-ulama, 'Bukankah Allah Swt. telah menurunkan
harga bagi kalian? Bukankah kalian semua telah memulai salam? Bukankah kalian
telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian? Tiada pahala bagi kalian, karena
kalian telah dipenuhi oleh upah kalian'."
Karena itu, seseorang
harus tekun apabila ingin ikhlas, dan orang lain yang berada di sisinya tidak
lebih dari sekedar binatang dan amal-amal kecil. belaka. Dengan tidak
membedakan dalam beribadah, apakah orang lain ada atau tidak, apakah mereka
tahu atau tidak dengan satu tujuan utama yaitu Allah SWT. sebagai tempat
memohon pahala. Dan Allah tidak akan menerimanya kecuali dengan hati yang
jernih (ikhlas).
0 Reviews:
Posting Komentar
Silahkan tinggal pesan, dilarang SPAM, SARA dan Melanggar Hukum