BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Lansia merupakan perkembangan tahap akhir pada kehidupan manusia.Banyak
penurunan fungsi yang terjadi pada lansia contohnya penurunan fungsi
pendengaran, penglihatan, dan juga fungsi lainnya salah masalah yang seringkali
di jumpai pada lansia yaitu hipertensi suatu keadaan yang mengakibatkan tekanan
darah di pembuluh darah meningkat (Maryam
Siti et al., 2018, pp. 11–12)
Meningkatnya populasi lansia ini tidak dapat dipisahkan dari masalah
kesehatan yang terjadi pada lansia, menurunnya fungsi organ memicu terjadinya
berbagai penyakit degeneratif. Beberapa penyakit degeneratif yang paling banyak
diderita oleh lansia antara lain gangguan sendi, hipertensi, katarak, stroke,
gangguan mental emosional, penyakit jantung dan diabetes mellitus. Penyakit
degeneratif pada lansia jika tidak ditangani dengan baik maka akan menambah
beban finasial yang tidak sedikit dan akan menurunkan kualitas hidup lansia karena
meningkatnya angka morbiditas bahkan dapat menyebabkan kematian (Hernawan.,2017,
pp. 15–16)
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia yaitu perubahan fisik,
perubahan sosial dan perubahan psikologis. Perubahan psikologis pada lansia
dilihat dari kemampuan beradaptasi terhadap kehilangan fisik, emosional serta
mencapai kebahagiaan, kedamaian dan kepuasaan hidup, perubahan sosial pada
lansia terlihat dari single parent, kesendirian, kehampaan, namun salah satu
perubahan fisik yang terjadi pada lansia yaitu Perubahan sistem
kardiovaskuler yang terjadi pada lansia meliputi penurunan elastisitas dinding
aorta, penebalan katup jantung dan katup jantung menjadi kaku, penurunan
kemampuan jantung memompa darah sehingga kontraksi dan volume kerja jantung
menurun, kehilangan elastisitas pembuluh darah akibat dari kurangnya
efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, dan meningkatnya
resistensi pembuluh darah perifer (Dewi
Rhosm Sofia, 2014, pp. 5–10)
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit rematik yang terutama menyerang
lansia akibat gangguan metabolisme, diikuti dengan beberapa perubahan
muskuloskeletal pada lansia.Hingga saat ini, OA masih menjadi masalah kesehatan
utama di seluruh dunia.Menurut World Health Organization (WHO), OA merupakan
salah satu gangguan fungsional utama yang membatasi kualitas hidup manusia di
seluruh dunia, karena penderitanya tidak banyak bergerak.Suatu kondisi yang
mempengaruhi kemampuan untuk bekerja, yang dapat menyebabkan rasa sakit yang
parah dan kecacatan pada penderitanya yang dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari. Akibatnya, hingga 80% dari mereka yang terkena dampak mengalami
keterbatasan mobilitas dan sisanya bahkan tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari yang sering dilakukan oleh orang lanjut usia. (Tjahyadi Vicynthia, 2017, p. 3)
Prevalensi OA di Asia diperkirakan meningkat dua kali lipat dari 6,8%
pada tahun 2008 menjadi 16,2% pada tahun 2040. Kementerian Kesehatan RI (2015)
melakukan survei jumlah penderita OA, hasilnya kurang lebih 11,5% penduduk di
Indonesia. dari OA. Artinya dari setiap 10 orang di Indonesia terdapat satu
orang penderita osteoarthritis (Mirawati,2021.,
pp. 1–5)
Prevalensi osteoarthritis di Indonesia cukup tinggi, 15,5% pada
laki-laki dan 12,7% pada perempuan. Studi tersebut menemukan bahwa 1-2 juta
lansia di Indonesia memiliki disabilitas
Osteoartritis Nyeri pada pasien osteoarthritis merupakan nyeri
muskuloskeletal yang termasuk dalam kelompok nyeri kronis.Orang yang menderita
sakit kronis memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, mereka cenderung merasa
putus asa dan tidak berdaya karena berbagai obat tidak dapat menghilangkan rasa
sakit pada pasien osteoarthritis (Tjahyadi
Vicynthia, 2017, pp. 28–30)
Nyeri yang tidak diobati dapat menyebabkan tekanan emosional dan memicu
kekambuhan penyakit, sehingga pengasuh harus mengambil langkah-langkah untuk
memenuhi kebutuhan kenyamanan pasien sambil mengelola nyeri.Nyeri
osteoarthritis merupakan nyeri sendi degeneratif yang disebabkan oleh kombinasi
berbagai faktor, salah satunya adalah peradangan. Nyeri merupakan gejala utama
osteoarthritis yang diperantarai oleh berbagai faktor seperti: B. keparahan
penyakit radiografi, persarafan sendi perifer dan sentral yang sensitif, dan
faktor psikologis (Suriya
Melti and zurianti, 2019, pp. 515–516)
Sampai saat ini, penyebab pasti dari osteoarthritis tidak diketahui,
meskipun faktor obesitas, genetika dan biometrik berperan. Diperkirakan dapat
berperan dalam osteoarthritis: adanya nyeri seringkali membuat penderitanya
takut untuk berolahraga, sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan dapat
mempengaruhi produktivitas. Mengalami rasa sakit membuat pasien frustasi untuk
menjalaninya(Tjahyadi Vicynthia, 2017, p.
29)
Perawat melakukan intervensi osteoarthritis pada pasien usia lanjut
dengan pengobatan farmakologis Semua obat yang diberikan untuk mengatasi
osteoarthritis harus diberikan bersamaan dengan pengobatan non farmakologis
agar pengobatan pasien osteoarthritis menjadi efektif. Obat-obatan yang dapat
digunakan untuk mengobati osteoartritis secara farmakologis, seperti
asetaminofen dan beberapa suplemen makanan, juga dapat digunakan untuk
meredakan nyeri dan memperlambat perkembangan penyakit.Terapi senam
osteoporosis untuk orang dengan mobilitas fisik yang kurang dan penyakit kronis
seperti mobilitas fisik, namun sangat membutuhkan perawatan berkelanjutan yang
membutuhkan peran perawat, seperti: B. penggunaan kompres minyak lemon dan
aromaterapi lavender.
Senam Sendi Tulang (Sentul)
merupakan senam pencegahan osteoporosis yang dikembangkan oleh Kelompok Kajian
Osteoporosis FKUI/RSUPN-CM bekerja sama dengan Persatuan Senam Fitness
Indonesia untuk menstimulasiPembentukan massa tulang dan diharapkan senam ini
bertujuan untuk mencegah keropos tulang seiring bertambahnya usia. (Tjahyadi
Vicynthia, 2017, pp. 20–29)
Penelitian ini pernah dilakukan
oleh (Andriani Mardriani and Yanti
Sri, 2019, p. 409).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan melakukan senam osteoporosis
dapat menurunkan keluhan nyeri lutut pada lansia, dilihat dari adanya penurunan
kualitas nyeri.
Hasil studi pendahuluan yang
penulis lakukan di panti werdha palembang terdapat 4 lansia yang sudah
dilakukan wawancara mengalami nyeri pada bagian muskulokeletal masalah ini
sering di temui di panti werdha darma bakti Penyakit ini dapat menyebabkan
nyeri dan peradangan pada area persendian. Nyeri dapat mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk beristirahat atau tidur, berkonsentrasi, dan melakukan
aktivitas lainnya.Jika tidak diobati, hal itu menyebabkan efek samping seperti
tekanan psikologis dan dapat memicu kekambuhan yang memerlukan pengobatan yaitu
dengan dilakukan terapi penerapan senam osteoporosis.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah peneliti uraikan diatas, maka perumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimana penerapan “Penerapan Osteoporosis exercise
Therapy Pada Lansia Dengan Gangguan Nyeri Muskulkeletal ”
C.
Tujuan
Penulisan
1. Tujuan
Umum
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada lansia dengan nyeri
muskulokeletal dengan senam oteporosisi
2. Tujuan
Khusus
a.
Untuk mengetahui
pengkajian pada pasien Untuk merumuskan diagnosis keperawatan pada pasien
dengan nyeri muskulokeletal dengan intervensi senam oteporosisi
b. Untuk
menyusun intervensi keperawatan pada pasien dengannyeri muskulokeletal dengan
intervensi senam oteporosisi
c. Untuk melakukan implementasi keperawatan pada
pasien dengan nyeri muskulokeletal dengan intervensi senam oteporosisi
d. Untuk melakukan evaluasi keperawatan pada
pasien dengan nyeri muskulokeletal
dengan intervensi senam oteporosisi
e. Untuk
melakukan discharge planning pada pasien dengan nyeri muskulokeletal dengan
intervensi senam otseporosisi
D.
Manfaat
Penelitian
1.
Secara
Teoritis
Hasil studi kasus ini dapat
digunakan untuk perkembangan pengetahuan dan wawasan dalam mencari pemecahan
masalah yang berhubungan dengan Asuhan Keperawatan osteoporosis pada lansia.
2.
Manfaat
Praktis
a.
Bagi
Keluarga
Diharapkan
Keluarga mampu melaksanakan tugas kesehatan keluarga dengan masalah osteoporosis mulai dari
mengenal atau mengetahui masalah kesehatan, mengambil keputusan yang tepat,
melakukan perawatan, modifikasi lingkungan dan memanfaatkan fasilitas
kesehatan.
b.
Bagi Institusi
Pendidikan
Diharapkan
dengan adanya penelitian ini dapat di jadikan tambahan informasi dan ilmu
pengetahuan untuk institusi pendidikan dan dapat di gunakan sebagai referensi
di perpustakan sebagai bahan bacaan dan dasar untuk penelitian selanjutnya..
c.
Bagi panti
Penulisan ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pikiran dalam meningkatkan “Asuhan Keperawatan senam osteoporosis
meredakan nyeri pada muskolokeletal
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Lansia
1.
Definisi
Lansia adalah
seseorang individu yang berusia lebih dari 45 tahun atau 60 tahun.
Perubahan-perubahan pada proses “aging” atau penuaan adalah masa ketika
seseorang individu berusaha untuk tetap menjalani hidup dengan bahagia melalui
berbagai perubahan pada hidup. Sebagian besar teori terkait dengan penuaan
menjelaskan bahwa perubahan fisiologis serta psikologis pada lansia.Diperlukan
adaptasi atau penyesuaian seorang individu dalam menghadapi perubahan ini.Fokus
dan penekanan intervensi dilakukan dengan melibatkan keluarga sebagai sistem
yang sangat mempengaruhi kehidupan lansia (Maryam
Siti et al., 2018, p. 32).
Menurut
pasal 1 ayat (2),(3),(4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa
lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam
Siti et al., 2018, p. 33).
Lansia atau
menua merupakan suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Menua
adalah proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dai suatu waktu tertentu,
dimulai sejak permulaan kehidupan. Memasuki usia tua berarti mengalami
kemunduran, misalnya kemunduran fisik, yang di tandai dengan kulit yang
mengendur, gigi mulai ompong, rambut memutih, pendengaran kurang jelas, gerakan
lambat, pengelihatan semakin memburuk dan figure tubuh tidak professional (Maryam
Siti et al., 2018, pp. 32–34)
2. Proses Penuaan
Proses
penuaan berawal dari sesudah pertumbuhan di usia 25 tahun. Beberapa orang
menyadari bahwa proses penuaan (di luar, rambut menjadi putih) pada proses ini
awalnya tidak menimbulkan permasalahan. Selanjutnya, proses penuaan terjadi
semakin cepat dan perubahan fisiologis yang terlihat serta tidak
terlihat.Perubahan fisik yang tidak 9 terlihat ini contohnya perubahan fungsi
organ, seperti pengelihatan dan pendengaran.Perubahan fisik yang terlihat ini,
seperti rambut yang beruban, gigi yang ompong, kulit yang mulai keriput dan
mengendur serta adanya penumpukan lemak pada pinggang dan perut.(Handajani
Fitri, 2019, pp. 16–17)
Terdapat
beberapa teori terkait dengan penuaan yang menjelaskan bagaimana dan mengapa
penuaan terjadi serta dampak pada aspek psikososial dan fisiologis.
a.
Teori Neourendokrin
Terkait dengan sistem saraf
serta pengaturan hipofisis, dalam proses penuaan terjadi gangguan pada area
neurologi, yaitu ketika reaksi yang dibutuhkan untuk menerima, memperoses, dan
merespons terhadap perintah (Handajani Fitri, 2019, p. 17)
b.
Teori Imunitas
Seiring dengan berjalannya
proses penuaan, teori sistem imun ini mengungkapkan adanya penurunan imunitas
terkait dengan pertahanan terhadap agen pathogen atau organisme asing. Penyakit
yang bisa muncul antara lain penyakit infeksi dan kanker. Terkait dengan peran
kelenjar timus, dan kemampuan diferensiensi sel T maka kemungkinan terjadi
respons autoimun serta akan timbul penyakit seperti atritis rheumatoid alergi
Teori Aktivitas
Pada teori ini menjelaskan
bahwa hilangnya fungsi peran di lansia secara negatif mempengaruhi kepuasaan
hidup (Handajani
Fitri, 2019, pp. 17–18)
c.
Teori Kepribadian
Pada teori ini, dijelaskan
bahwa penuaan yang sehat tidak tergantung pada jumlah aktivitas sosial
seseorang. Akan tepati bagaimana kepuasan orang tersebut dengan kegiatan sosial
yang akan dilakukannya(Handajani Fitri, 2019, p. 18)
d.
Teori Kontinuitas
Teori ini menyebutkan bahwa
kepribadian seorang seiring dengan proses penuaan cenderung tidak berubah serta
lebih jelas ketika orang tersebut
bertambah tua. Seorang yang senang serta mempunyai kehidupan sosial yang aktif
akan terus menikmati gaya hidupnya hingga usia lanjut. Sementara itu, orang
yang menyukai kesendirian dan mempunyai jumlah kegiatan yang terbatas mungkin
akan menemukan kepuasan dalam melanjutkan gaya hidupnya. Proses komunikasi
sebagai poin penting dalam menjelaskan peran keluarga akan sangat menentukan
bagaimana fungsi afektif lansia, orientasi nilai lansia, dan fungsi sosialisasi
mereka (Handajani
Fitri, 2019, pp. 18–19)
3.
Klasifikasi
Lansia
Ada lima
klasifikasi pada lansia (Maryam
Siti et al., 2018, p. 33):
a.
Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia
antara 45-59 tahun
b.
Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih
c.
Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70
tahun atau lebih
d.
Lansia tidak potensial, lansia yang tidak
berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain
Menurut World Health
Organization (WHO) lansia dibagi menjadi empat kelompok (Hidayati, 2018).
a.
Usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun
b.
Lansia (elderly) 60-74 tahun
c.
Lansia tua (old) 75-90 tahun
d.
Lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
4.
Tipe
lansia
Beberapa tipe pada lansia
bergantung pada pengalaman hidup, karakter, lingkungan, mental, sosial,dan
ekonomi. Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (Maryam
Siti et al., 2018, pp. 33–34)
a.
Tipe mandiri
Selektif dalam mencari
pekerjaan, mengganti kegiatan yang hilang dengan baru, bergaul dengan teman,
dan memenuhi undangan.
b.
Tipe bingung
Kehilangan kepribadian,
mengasingkan diri, kaget, minder, pasif, dan acuh tak acuh.
c.
Tipe tidak puas
Konflik lahir dan batin menolak
proses penuaan sehingga menjadi mudah tersinggung, sulit dilayani, tidak sabar
dan banyak menuntut.
d.
Tipe pasrah
Menunggu dan menerima nasib
baik, melakukan pekerjaan apa saja dan mengikuti kegiatan agama.
e.
Tipe Arif
Bijaksana Kaya dengan hikmah,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, pemakaman,
memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
5.
Perubahan
Fisik Dan Fungsi Akibat Proses Penuaan
Perubahan fisik dan fungsi
akibat penuaan yang dialami pada lansia adalah sebagai berikut : (Handajani
Fitri, 2019, pp. 18–20)
1)
Sel
1) Jumlah sel menurun
2) Jumlah cairan tubuh dan
cairan intraseluler berkurang
3) Jumlah sel otak menurun
4) Mekanisme perbaikan otak
terganggu
5) Otak menjadi atrofi
6) Lekukan otak akan menjadi
lebih dangkal dan melebar.
b. Sistem
persarafan
1) Menurun
hubungan persarafan
2) Berat
otak menurun 10-20%
3) Respon
dan waktu untuk bereaksi lambat, khusus nya terhadap stress
4) Saraf
pancaindra mengecil
5)
Penglihatan berkurang, pendengaran menghilang, saraf penciuman dan perasa
mengecil, lebih sensitif terhadap perubahan suhu
6) Kurang
sensitif terhadap sentuhan
7) Defisit
memori
c. Sistem
pernafasaan
1) Otot
pernafasan mengalami kelemahan akibat atrofi
2)
Aktivitas silia menurun
d. Sistem
pendengaran
1)
Gangguan pendengaran. Hilangnya daya pendengaran
pada telinga dalam terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi, suara
yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata
2)
Membran timpani menajdi atrofi menyebabkan
otosklerosis
3)
Terjadi pengumpulan serumen, dapat mengeras
karena peningkatan keratin
4)
Fungsi pendengaran semakin menurun pada lansia
yang mengalami stress
5)
Tinnitus (bising yang bersifat mendengung, bisa
bernada tinggi atau rendah)
6)
Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa
seperti bergoyang atau berputar)
e.
Sistem genitourinaria
1)
Ginjal
Ginjal
merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, melalui urine darah
yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan (unit) terkecil dari ginjal yang
disebut nefron akibat atrofi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%
sehingga fungsi tubulus berkurang. Mengakibatkan kemampuan mengosentrai urine
menurun, penurunan berat jenis urine, proteinuria ( biasanya +1), BUN (Blood
Urea Nitrogen) meningkat smapai 21 mg%, nilai ambang ginjal terhadap glukosa
meningkat. Keseimbangan elektrolit dan asam lebih mudah terganggu bila
dibandingkan dengan usia muda. Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerolus
Filtration Rate (GFR) atau klirens kreatinin menurun secara linier sejak usia
30 tahun. Jumlah darah yang difiltrasi oleh ginjal berkurang.
2)
Vesika urinaria
Otot
menjadi lemah, kapasitasnya menurun, sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensi
buang air seni meningkat.Pada pria lansia, vesika urinaria sulit dikosongkan
sehingga mengakibatkan retensi urine meningkat. 3) Pembesaran prostat Kurang
lebih 75% dialami oleh pria usia diatas 65 tahun.
f.
Sistem penglihatan
1)
Spinger pupil timbul sclerosis dan respon
terhadap sinar menghilang
2)
Kornea lebih berbentuk sferis (bola)
3)
Lensa lebih suram, kemudian menjadi katarak
4)
Meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya
adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap
5)
Penurunan daya akomodasi, dengan manifestasi
presbyopia, seseorang sulit melihat dekat karena berkurangnya elastisitas lensa
6)
Penurunan lapang pandang dan berkurangnya luas
pandang 7) Vertigo (perasaan tidak setabil terasa seperti bergoyangatau
berputar)
g.
Sistem kardiovaskuler
1)
Katup jantung menebal menjadi kaku
2)
Elastisitas dinding aorta menurun
3)
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1%
setiap tahun setelah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan kontraksi dan volume
jantung menurun
4)
Curah jantung menurun
5)
Kehilangan elastisitas pembuluh darah,
efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi berkurang
6)
Kinerja jantung lebih rentan terhadap kondisi
dehidrasi dan perdarahan
7)
Tekanan darah meningkat akibat resistensi
pembuluh darah perifer meningkat sehingga menyebabkan hipertensi pada lansia
B.
Konsep
Osteoarthritis
1.
Pengertian
Osteoarthritis
Osteoarthritis merupakan bentuk artritis yang paling
umum dan terutama sering terjadi pada orang lanjut usia atau sering disebut
sebagai penyakit degeneratif. Osteoartritis adalah penyakit sendi yang paling
umum di seluruh dunia Menurut Pusat Statistik Kesehatan Nasional, sekitar 15,8
juta (12%) orang dewasa berusia 25 hingga 74 tahun menderita osteoartritis.
Prevalensi dan keparahan osteoarthritis bervariasi antar daerah dan lansia.(Andriani
Mardriani and Yanti Sri, 2019, pp. 28–29)
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi
degeneratif yang sering menyerang orang lanjut usia bahkan paruh baya akibat
cedera atau penggunaan sendi yang berlebihan (Septiani
Dia et al., 2022, p. 108)
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit rematik yang
terutama menyerang lansia akibat gangguan metabolisme yang diikuti dengan
perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia (Ariyaanti, 2021). OA merupakan
penyakit multifaktorial yang disebabkan oleh berbagai faktor risiko seperti
usia, obesitas, kerusakan sendi, kelainan genetik tulang rawan sendi dan
tekanan berlebih pada sendi akibat stres (Tika dan Aryana, 2018). Gejala utama
yang paling umum dari pasien OA adalah nyeri dan kaku pada persendian.Nyeri sendi
bisa terjadi jika ketegangan terlalu tinggi.Kekakuan sendi akibat imobilitas
atau aktivitas sendi biasanya terjadi pada pagi hari saat baru bangun tidur
atau saat istirahat di siang hari.Sendi juga dapat mengalami kemerahan,
kehangatan, dan nyeri tekan, yang mengakibatkan rasa kaku, tidak bergerak, dan
kelainan bentuk. (Septiani
Dia et al., 2022, pp. 108–109)
Jadi berdasarkan uraian diatas maka penulis dapat
menyimpulakan bahwa osteoarthritis merupakan penyakit yang paling sering
dialami oleh lansia akbita gangguan dan beberapa perubahan pada sistem
muskoloskeletal.
2. Klasifikasi
Osteoarthritis
Osteoarthritis (Septiani
Dia et al., 2022, p. 110)diklasifikasikan menjadi macam
dua, yaitu :
a) Osteoarthritis
primer
Disebut juga Osteoarthritis idiopatik yang mana
penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik,
inflamasi, ataupun perubahan lokal pada sendi.
b) Osteoartritis sekunder
Penyebabnya adalah mis. B. Penggunaan sendi yang
berlebihan selama tugas kerja, olahraga berat, cedera sebelumnya, penyakit
sistemik, peradangan, kondisi traumatis
Sendi, penyakit
keturunan, faktor gaya hidup dan respon imun dapat memicu osteoarthritis.
Adapun klasifikasi keparahan osteoarthritis yaitu menggunakan system
Kellgren & Lawrence (Pratama, 2019) yang menggunakan 5 tahap yaitu :
1)
Tahap 0 : Radiografik tidak menunjukan adanya
Osteoarthritis.
2)
Tahap 1 : Hampir tidak ada penyempitan ruang
sendi dan kemungkinan ada Osteofit.
3)
Tahap 2 : Adanya osteofit dan kemungkinan adanya
penyempitan ruang sendi pada radiografi dengan anteroposterior weight- bearing.
4)
Tahap 3 : Terlihat beberapa osteofit, adanya
penyempitan ruang sendi, sclerosis, kemungkinan deformitas tulang.
5)
Tahap 4 : Terdapat osteofit yang besar,
penyempitan; ruang sendi sangat jelas, sklerosis berat dan adanya deformitas
tulang.
3. Etiologi
Osteoarthritis
Etiologi atau penyebab penyakit sendi degeneratif ini
(Risnanto
and Insani Uswatun, 2014, pp. 76–77). sudah diketahui secara
pasti, namun banyak faktor yang dapat menyebabkan penyakit ini, antara lain:
1) Usia
Semakin tua seseorang, semakin tinggi faktor risiko
osteoarthritis lutut.Hal ini karena sendi lutut yang berfungsi untuk menopang
berat badan sering mengalami kompresi atau tekanan dan gesekan, yang dapat
menyebabkan tulang rawan yang menutupi tulang keras sendi lutut lama kelamaan
menjadi aus dan rentan mengalami degenerasi.
2) Obesitas
Jelas bahwa kelebihan berat badan atau obesitas dapat
menjadi faktor risiko berkembangnya osteoartritis lutut.Berat berlebih
meningkatkan kompresi atau tekanan atau keteganganSendi lutut Semakin banyak
sendi lutut, semakin besar risiko kerusakan tulang.
3) Herediter
atau faktor bawaan
Struktur tulang rawan dan laxity pada sendi, serta
permukaan sendi yang tidak teratur yang dimiliki seseoranmg sebagai faktor
bawaan merupakan faktor resiko terjadinya osteoarthritis lutut.
4) Trauma
pada sendi
Terjadinya trauma, benturan atau cidera pada sendi lutut
juga dapat menyebabkan kerusakan atau kelainan pada tulang-tulang pembentuk
sendi tersebut.
5) Pekerjaan
dan aktivitas sehari-hari
Pekerjaan dan aktivitas yang banyak melibatkan gerakan
lutut juga merupakan salah satu penyebab osteoarthritis pada lutut.
6)
Faktor hormonal dan penyakit metabolic
Perubahan degeneratif pada sendi lutut bisa terjadi akibat
perubahan hormonal yang terjadi pada wanita yang sudah menopuse.Selain itu,
seseorang yang memiliki deabetes militus juga bisa terkena osteoarthritis
lutut.
4. Patofisiologi
osteoarthritis
Pada osteoartritis, proses degeneratif, reparatif,
dan inflamasi terjadi pada jaringan ikat, tulang rawan, sinovium, dan tulang
subkondral. Selama penyakit aktif, salah satu proses dapat berupa domain atau
beberapa, terjadi secara bersamaan dengan intensitas yang bervariasi. OA lutut
dikaitkan dengan berbagai defisit patofisiologi seperti: B. Ketidakstabilan
sendi lutut, rentang gerak lutut (LGS) yang terbatas, nyeri lutut yang sangat
parah terkait dengan melemahnya otot paha depan, yang merupakan penstabil utama
dari sendi lutut dan juga melindungi struktur sendi lutut. . Pada pasien usia
lanjut yang tidak menderita OA lutut, kekuatan quadriceps femoris dapat menurun
1/3 dibandingkan dengan kekuatan quadriceps femoris pada kelompok umur yang
sama.(Cahyati
Yanti, 2022, pp. 3–5)
Osteoarthritis adalah penyakit sendi degeneratif yang
merupakan penyakit kronis, non-inflamasi dan progresif lambat. Osteoartritis
tidak hanya terkait dengan proses degeneratif, tetapi juga melibatkan kombinasi
dari degenerasi tulang rawan, remodeling tulang subkondral, dan artritis.
Berbagai faktor seperti usia, tekanan mekanis atau penggunaan sendi yang
berlebihan, cacat mekanis, obesitas, faktor genetik, humoral, dan budaya dapat
menyebabkan kerusakan mekanis dan kimiawi pada sinovium sendi. Cedera mekanis
dan kimiawi ini dianggap sebagai faktor penting yang merangsang pembentukan
molekul abnormal dan produk degradasi tulang rawan dalam cairan synovial.(Cahyati
Yanti, 2022, pp. 2–4)
5. Manifestasi
klinis
Tanda dan gejala menurut (Suriya
Melti and zurianti, 2019, pp. 30–33)tanda dan gejala yang biasa
dialami oleh penderita osteoarthritis yaitu:
a)
Keluhan sakit dan linu.
b)
Nyeri terutama pada malam atau pagi hari saat
bangun tidur.
c)
Sendi yang terkena osteoarhritis terlihat
bengkak, kemerahan, panas, dan kaku.
d)
Keluhan nyeri sendi yang luar biasa
e)
Sendi yang terkena osteoarthritis terdengar
suara gesekan saat menggerakan sendi.
f)
sendi yang terkena serangan osteoarthritis
berulang adalah jari tangan, lutut, pinggul, dan tulang punggung.
g)
Sendi yang terserang osreoarthritis akan
membengkak dan kulit biasnya akan berwaran merah atau kekuningan, terdengar
suara gesekan saat menggerakan sendi,otot lemah dan masa otot berkurang,muncul
taji atau tulang tambahan,timbul benjolan pada sendi di jari tangan,dan jari
tangan bengkok.
6.
Komplikasi osteoarthritis
Komplikasi yang berkaitan dengan osteoarthritis dapat
terjadi jika osteoarthritis tidak ditangani secara serius. Ada (Suriya Melti and zurianti,
2019, p. 30).
dua jenis komplikasi, yaitu:
a)
Komplikasi akut seperti osteonekrosis, kista
tulang belakang pecah, bursitis.
b)
Komplikasi kronis bermanifestasi dalam bentuk
kegagalan tulang, yang terburuk adalah kelumpuhan.
7.
Pengobatan osteoarthritis
Pengobatan osteoarthritis biasanya bersifat
simtomatis dan berfokus pada beberapa hal, yaitu memperpanjang perjalanan
penyakit, mengendalikan gejala yang muncul dan meningkatkan kualitas hidup
penderita. Hal ini dapat dicapai dengan menggabungkan pengobatan
nonfarmakologis dan farmakologis(Andriani
Mardriani and Yanti Sri, 2019, pp. 1–3).
a)
Pengobatan nonfarmakologis
Perawatan non-obat yang paling umum untuk meredakan
gejala seperti nyeri adalah penurunan berat badan, terapi fisik, dan
rehabilitasi. Selain itu, pelatihan juga diperlukan agar pasien mengetahui
sedikit tentang kekhasan penyakitnya, bagaimana cara melindungi diri agar
penyakit tidak bertambah parah dan persendian tetap dapat digunakan.
Terapi non-obat terdiri dari pendidikan, penurunan
berat badan, terapi fisik dan terapi okupasi. Dalam pendidikan, yang terpenting
adalah pasien mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain. Meskipun OA
tidak dapat disembuhkan, kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan
Fisioterapi dan terapi okupasi bertujuan untuk
memungkinkan mereka yang terkena dampak mencapai fungsi optimal dan bergantung
pada orang lain. Terapi ini terdiri dari pendinginan, pemanasan dan pelatihan
penggunaan alat bantu. Terapi fisik dan okupasi merekomendasikan penguatan
otot, peningkatan jangkauan gerak sendi dan latihan aerobik.Latihan dilakukan
tidak hanya untuk pasien yang belum menjalani operasi, tetapi juga untuk pasien
yang datang dan telah menjalani operasi, sehingga pasien dapat segera mandiri
setelah operasi dan mengurangi komplikasi akibat operasi.
b) .
Pengobatan farmakologis
Selama pengobatan, digunakan obat-obatan tertentu
yang dapat digunakan sebagai pengobatan farmakologis untuk osteoartritis,
seperti parasetamol, obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), suntikan asam
hialuronat atau kortikosteroid, inhibitor reuptake serotonin-norepinefrin
(SNRI), duloxetine.dan intraa. - opioid sendi. Selain itu, beberapa suplemen
makanan juga dapat digunakan untuk meredakan nyeri dan memperlambat
perkembangan penyakit.
C.
Konsep
Nyeri
1.
Pengertian
Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional
tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan
actual . Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius,
protofatik) atau yang tidak berbahaya (non noksius, epikritik) misalnya:
sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan.(Mutaqin
Arif, 2015, pp. 502–503)
Definisi tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri
adalah hasil kerusakan struktural, bukan saja tanggapan sensorik dari suatu
proses nosisepsi, tetapi juga merupakan tanggapan emosional (psikologik) yang
didasari atas pengalaman termasuk pengalaman nyeri sebelumnya. Persepsi nyeri
menjadi sangat subjektif tergantung kondisi emosi dan pengalaman emosional
sebelumnya.Toleransi terhadap nyeri meningkat bersama pengertian, simpati,
persaudaraan, pengetahuan, pemberian analgesik, anisolitik, antidepresan dan pengurang
gejala.Sedangkan toleransi nyeri menurun pada keadaaan marah, cemas, bosan,
kelelahan, depresi, penolakan sosial, isolasi mental dan keadaan yang tidak
menyenangkan.(Mutaqin Arif, 2015, p. 504)
Nyeri pada dasarnya adalah reaksi fisiologis karena
merupakan reaksi perlindungan untuk menghindari stimulus yang membahayakan
tubuh.Tetapi bila nyeri tetap berlangsung walaupun stimulus penyebab sudah
tidak ada, berarti telah terjadi perubahan patofisiologis yang justru merugikan
tubuh dan membutuhkan terapi
2. Etiologi
nyeri
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2017) penyebab
nyeri akut adalah:
a) Agen pencedera
fisiologis (inflamasi, iskemia, neoplasma)
b) Agen pencedera
kimiawi (terbakar, bahan kimia iritan)
c) Agen pencedera
fisik (abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur
operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
3. Klarifikasi nyeri
Nyeri terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) Nyeri
akut dan (2) Nyeri kronis.Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai suatu
pengalaman sensori, persepsi, dan emosional yang tidak nyaman yang berlangsung
dari beberapa detik hingga enam bulan, yang disebabkan oleh kerusakan
jaringan.Nyeri akut biasanya mempunyai awitan yang tiba-tiba dan umumnya
berkaitan dengan cedera spesifik.Nyeri kronik merupakan nyeri berulang yang
menetap dan terus menerus yang berlangsung selama enam bulan atau lebih.Nyeri
kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering
sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.(Mutaqin
Arif, 2015, pp. 504–505)
Pengetahuan tentang nyeri sangat penting untuk
menyusun program penghilangan nyeri pasca pembedahan. Derajat nyeri dapat
diukur dengan macam-macam cara, misalnya tingkah laku pasien, skala verbal
dasar/ Verbal Rating Scales (VRS),
dan yang umum adalahskala analog visual/ Visual
Analogue Scales (V).
a. Wong-Baker Faces
Wong-baker faces mengembangkan skala wajah untuk
menjelaskan lokasi nyeri. Skala ini dapat digunakan untuk anak-anak, pasien
yang mengalami gangguan kognitif ringan hingga sedang dan juga dapat digunakan
pada penderita dengan gangguan bisu bahasa (Mariason
j Moya, 2014, pp. 31–32)
b.
Verbal
Rating Scale
Skala verbal ini menggunakan kalimat yang selalu
dipakai seperti nyeri ringan, sedang dan berat untuk mengukur intesitas nyeri
yang dialami (Mariason j Moya, 2014, p. 31)
c.
Numeric
pain rating scale
Skala numerik sering digunakan untuk menilai derajat
nyeri. Penderita akan menilai nyeri dengan menggunakan skala ini dari 0-10.
Skala numerik paling efektif dan mudah untuk digunakan saat mengkaji intenitas
nyeri sebelum dan sesudah pengobatan.Keterangan skala numerik 0 tidak nyeri,
1-3 nyeri ringan, 4-6 nyeri sedang.Pasien mendesis, menyeringai, dapat
mendeskripsikan, mengikut perintah dengan baik dan menunjukkan lokasi
nyeri.Skala 7-9 nyeri berat, skala 10 nyeri sangat berat (Mariason j Moya, 2014, p. 33)
D. Konsep Senam Osteoporosis
1. Pengertian senam osteoporosis
Latihan
osteoporosis adalah aktivitas yang merangsang kekuatan otot, tulang, dan
gerakan, yang biasanya ditambahkan beberapa jenis permainan yang meningkatkan
koordinasi, keseimbangan, dan fleksibilitas.Latihan untuk osteoporosis adalah
kombinasi dari beberapa latihan aerobik dan benturan ringan yang berbeda,
latihan kekuatan dengan beban di kedua tangan, latihan keseimbangan, dan
latihan pernapasan. (Hidayat
Achmad Asep, 2022, pp. 271–272)
2. Manfaat senam esteoporosis
Gerakan
aerobik yang terlibat dalam latihan osteoporosis berat meningkatkan kepadatan
di tulang belakang, pinggang dan pinggul, dan saat latihan duduk di kursi, aman
untuk sendi pinggul dan lutut.Latihan kekuatan otot, menggunakan beban di kedua
tangan untuk setiap beban, bermanfaat dalam mengurangi risiko patah tulang
pergelangan tangan.Latihan keseimbangan agar lansia tidak mudah jatuh Latihan
ini harus dilakukan dengan hati-hati dan perlahan.Latihan pernapasan sangat
baik karena membawa banyak oksigen ke otot, pembuluh darah, kepala, otak,
jantung dan paru-paru, yang menenangkan kehidupan atau aktivitas sehari-hari
dan meningkatkan energi., dan manajemen stres.Tekankan bahwa senam osteoporosis
juga dapat menjaga postur tubuh, menjaga kelenturan dan mobilitas otot,
meningkatkan kerja jantung dan paru-paru, menjaga keseimbangan tubuh dan
melatih koordinasi anggota gerak. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan fisik
yang dihasilkan oleh otot dan tulang yang memerlukan atau memerlukan
pengeluaran energi yang melebihi kebutuhan energi istirahat, diukur dalam
kilokalori (Hidayat Achmad Asep, 2022, p.
272)
3.
Konsep
Asuhan Keperawatan
1.
Identitas
demografi
a. Identitas
Meliputi : Nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat,
suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan sebelumnya, pendidikan terakhir.
b. Identitas
Keluarga/ orang terdekat
Meliputi: nama, alamat, hubungan dengan klien
c. Riwayat
kesehatan
Menanyakan keluhan utama dan riwayat kesehatan saat
ini
2.
Implementasi
Keperawatan
Implementasi adalah suatu proses pelaksanaan terapi
keperawatan lansia yang berbentuk
intervensi mandiri atau kolaborasi melalui pemanfaatan sumber-sumber yang
dimiliki. Implementasi di prioritaskan sesuai dengan kemampuan lansia dan sumber yang dimiliki keluarga (Friedman,
2010). Implementasi yang diberikan berupa senam hipertensi pada lansia untuk
menurunkan tekanan darah pada lansia.
3. Evaluasi keperawatan
Evaluasi berdasarkan pada seberapa efektif intervensi yang
dilakukan keluarga, perawat dan lainnya.Keberhasilan lebih ditentukan oleh
hasil pada sistem keluarga dan anggota keluarga (bagaimana anggota berespons)
daripada intervensi yang diimplementasikan.Evaluasi merupakan kegiatan bersama
antara perawat dan keluarga. Evaluasi merupakan proses terus menerus yang
terjadi setiap saat perawat memperbarui rencana asuhan keperawatan (Friedman,
2010). Sedangkan menurut Ayu (2010), evaluasi merupakan tahap akhir dari proses
keperawatan.
4. Dischard
Planning
Discharge Planning atau Perencanaan pulang
merupakan suatu proses yang dinamis dan sistematis dari penilaian, persiapan,
serta koordinasi yang dilakukan untuk memberikan kemudahan pengawasan pelayanan
kesehatan dan pelayanan sosial sebelum dan sesudah pulang. Perencanaan pulang
merupakan proses yang dinamis, agar tim kesehatan mendapatkan kesempatan yang
cukup untuk menyiapkan pasien melakukan keperawatan mandiri di rumah.
Perencanaan pulang didapatkan dari proses interaksi ketika keperawatan
profesional, pasien, dan keluarga berkolaborasi untuk memberikan dan mengatur
kontinuitas keperawatan yang diperlukan oleh pasien saat perencanaan harus
berpusat pada masalah pasien yaitu pencegahan, terapeutik, rehabilitatif, serta
keperawatan rutin yang sebenarnya (Nursalam,2014).
0 Reviews:
Posting Komentar
Silahkan tinggal pesan, dilarang SPAM, SARA dan Melanggar Hukum