BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hipertensi
adalah tekanan darah tinggi yang abnormal dan diukur paling tidak pada tiga
kesempatan yang berbeda (Corwin, 2009). Diketahui sembilan dari sepuluh orang
penderita hipertensi tidak dapat diidentifikasi penyebab penyakitnya. Itulah
sebabnya hipertensi dijuluki pembunuh diam-diam atau silent killer, sebab
seseorangmdapat mengidap hipertensi selama bertahun-tahun tanpa menyadarinya
sampai terjadi kerusakan organ vital yang cukup berat yang bahkan dapat
menyebabkan kematian. Seseorang baru merasakan dampak gawatnya hipertensi
ketika telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung,
koroner, fungsi ginjal, gangguan fungsi kognitif atau stroke (Saraswati, 2009).
Hipertensi
bukan merupakan penyakit dengan faktor penyebab tunggal, tetapi disebabkan oleh
banyak faktor yaitu kegemukan, pola makan yang tidak sehat, aktivitas fisik
yang kurang, keadaan stress psikologis, kebiasaan minum alkohol, pola konsumsi
kopi dan kebiasaan merokok (Dhiannintyas et al., 2006).
Sesungguhnya
gaya hidup merupakan faktor terpenting yang sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Gaya hidup yang tidak sehat, dapat menyebabkan terjadinya penyakit
hipertensi, misalnya makanan, aktivitas fisik, stres dan merokok (Puspitorini,
2009).
Adapun
orang-orang yang memiliki risiko menderita hipertensi adalah orang yang
mempunyai keluarga yang menderita hipertensi, orang yang berumur diatas 55
tahun, orang yang tidak pernah berolahraga, orang yang suka merokok, orang yang suka makan makanan yang banyak
mengandung garam (J.B. Suharjo et al, 2008). Walaupun 90% dari pnyebab
hipertensi adalah riwayat keluarga, namun faktor lain seperti pola makan,
aktivitas fisik dan gaya hidup turut mempengaruhi kejadian hipertensi
(Pritasari, 2006).
Jenis
penelitian merupakan salah satu faktor risiko yang dapat diubah yang
berpengaruh terhadap penyakit hipertensi (Cahyono, 2008). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan menggunakan data Rikerdas tahun 2007, prevalensi pada
perempuan leih besar dibandingkan dengan laki-laki yaitu 50,3% dan 49,7% (rahajeng
dan Tuminah, 2009).
Hipertensi
juga dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap sesorang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat meningkatkan penggumpalan
darah dalam pembuluh darah (Dalimartha et al., 2008). Menurut sitorus (2005), yang menyatakan bahwa merokok
sebatang setiap hari meningkatkan tekanan darah sistolik 10-25 mmHg serta
menambah detak jantung 5-20 kali/ menit.
Perilaku
konsumsi asin juga diyakini berkontribusi dalam penyakit hipertensi (Kotchen et
al., 2006). Dari penelitian Sugihartono (2007), didapatkan bahwa kebiasaan
mengkonsumsi asin berisiko menderita hipertensi sesar 3,95 kali dibandingkan
orang yang tidak mempunyai kebiasaan mengkansumsi asin.
Beberapa
fakta dalam studi epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna
antara tingginya asupan lemak jenuh dengan hipertensi (Kotchen et al., 2006).
Konsumsi lemak jenuh meningkatkan risiko kenaikan berat badan yang merupakan
faktor risiko hipertensi. Asupan lemak jenuh yang kemudian menyebabkan
hipertensi (Irza, 2009).
Kafein
akan meningkatkan hormon stres seperti epinepfrin, nonefrinefrin, dan kortisol
yang dapat menyebabkan hipertensi (saleh, 2011). Seseorang yang tidak terbiasa
minum kopi memiliki tekanan darah lebih rendah jika dibandingkan dengan
seseorang yang mengkonsumsi kopi 1-3 cangkir per hari. Pria yang mengkonsumsi
kopi 3-6 cangkir per hari memiliki tekanan darah yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan yang mengkonsumsi kopi 1-3 cangkir per hari (Uiterwaal et
al, 2007).
Olah
raga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena
olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan
menurunakn tekanan darah (untu hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga
menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat
karena adanya kondisi tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikkan risiko
hipertensi karena bertambahnya risiko orang untuk menjadi gemuk. Orang-orang
yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot-otot
jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap konstraksi, semakin keras
dan sering jantung memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri
yang dapat menyebabkan hipertensi (Rohaendi, 2008).
Stres
sering dihubungkan dengan hipertensi. Pada keadaan stres, tubuh akan
memproduksi hormon adrenalin yang menyebabkan denyut jantung meningkat,
sehingga meningkatkan tekanan darah (Irza, 2009). Prevalensi stress terus
meningkat dikalangan masyarakat. Dunia bergerak dan berubah semakin cepat dan
bagi yang tidak siap menghadapinya akan terjebak pada situasi penuh
pertentangan, sehingga gejala yang muncul adalah stres scara fisik maupun
psikologis (Dwiyono).
Menurut
WHO lansia adalah penduduk berusia 60 tahun keatas (Siyoto, 2016). Lansia merupakan
usia yang berisiko tinggi terhadap penyakit-penyakit degeneratif, seperti
penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, diabetes mellitus, gout (reumatik),
dan kanker. Salah satu penyakit yang diderita lansia adalah hipertensi.
Pada
populasi usia lanjut, angka penyandang tekanan darah tinggi lebih banyak lagi,
dialami oleh lebih dari sepuluh populasi orang di atas 60 tahun dengan tekanan
darah tinggi di atas 140 atau 90 mmHg. Prevalensi hipertensi diperkirakan akan
meningkat tahun 2025, diperkirakan penderita hipertensi hampir memncapai 1,6
milyar di dunia (Bandiyah 2009). Pada lansia akan meningkat yaitu sekitar 1,2
milyar jiwa (Bandiyah, 2009). Hal ini merupakan faktor risiko dari penyakit
kardiovaskuler dan bertanggung jawab terhadap kebanyakan kematian di dunia
(Adrogue&Madia 2007).
Hipertensi
adalah faktor risiko utama dari penyakit-penyakit kardiovaskuler yang merupakan
penyebab kematian tertinggi di setiap negara. Data WHO (2011), menunjukkan di
seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% dari 3,5 milyar penduduk dunia
mempunyai penyakit hipertensi. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi
29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta penderita hipertensi, 333 juta berada di
negara maju dan 639 juta berada di negara berkembang, termasuk Indonesia (Debby,
2012).
Berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, menunjukkan prevalensi
hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran usia di atas 18 tahun
sebesar 26,5% dari jumlah penduduk 251.160.124. Sedangkan di provinsi Sumatera
Selatan penyakit hipertensi mengalami peningkatan setiap tahunnya. Prevalensi
penderita hipertensi pada tahun 2014 berjumlah 4.522 atau 46,97% dari 9.626
kasus penyakit tidak menular (PTM), tahun 2015 berjumlah 6.892 atau 50,11% dari
13.735 kasus, dan tahun 2016 berjumlah 13.530 atau 52,13% dari 25.950 kasus
(Dinkes SumSel, 2017). Dan di RS Siloam Sriwijaya pravelinsi Hipertensi pada
tahun 2014 berjumlah 96 orang, pada tahun 2015 berjumlah 132 orang, dan pada
tahun 2016 penderita hipertensi berjumlah 180 orang. Sedangkan dari periode
Januari sampai dengan Maret 2017 tercatat sebanyak 75 lansia yang dirawat di RS
Siloam dengan penyakit Hipertensi. Dari data yang didapat terdapat meningkatan
jumlah penderita hipertensi di ruang rawat inap RS Siloam Sriwijaya setiap
tahunnya.
Hal
ini membuat peneliti tertarik untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada
lansia di RS Siloam Sriwijaya dan untuk
mengetahui apakah hipertensi ada hubungannya dengan gaya hidup pada lansia
dengan penyakit hipertensi.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan permasalahan “ Adakah hubungan
gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS. Siloam Sriwijaya
Palembang”
C.
Tujuan
Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk
mengetahui hubungan gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS
Siloam Sriwijaya Palembang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui
hubungan antara karakteristik (usia, jenis kelamin, ras dan riwayat penyakit
hipertensi) pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam Sriwijaya
Palembang tahun 2017
b. Mengetahui
hubungan antara kebiasaan konsumsi natrium pada lansia dengan penyakit
hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
c. Mengetahui
hubungan antara kebiasaan konsumsi kalium pada lansia dengan penyakit
hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
d. Mengetahui
hubungan antara kebiasaan konsumsi makanan berlemak pada lansia dengan penyakit
hipertensi di RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
e. Mengetahui
hubungan antara kebiasaan minum kopi pada lansia dengan penyakit hipertensi di
RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
f. Mengetahui
hubungan antara kebiasaan merokok pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS
Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017
g. Mengetahui
hubungan antara stress pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS Siloam
Sriwijaya Palembang tahun 2017
h. Mengetahui
hubungan antara aktivitas fisik pada lansia dengan penyakit hipertensi di RS
Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017.
D.
Manfaat
Penelitian
1.
Bagi RS Siloam Palembang
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi
kepada Rumah Sakit khususnya di Ruang Rawat Inap RS Siloam Sriwijaya untuk
merancang suatu kebijakan yang berhubungan dengan penanggulangan pasien lansia
dengan hipertensi.
2.
Bagi institusi Pendidikan STIK Siti
Khadijah Palembang
Hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan tambahan referensi
untuk menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa STIK Siti Khadijah Palembang
khususnya mahasiswa keperawatan tentang pengaruh
gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi .
3.
Bagi Peneliti
Sebagai
wadah untuk mengaplikasikan ilmu keperawatan gerontik, serta menambah wawasan
dan wacana baru bagi peneliti untuk melihat fenomena nyata yang ada di
lapangan.
E.
Keaslian
Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
Nama Peneliti
|
Judul Penelitian
|
Motode Penelitian
|
Hasil Penelitan
|
Solehatul Mahmudah, Taufik Maryusman,
Firlia Ayu Arini, Ibnu
Malkan
|
Hubungan Gaya
Hidup dan Pola Makan dengan Kejadian Hipertensi
Pada Lansia di Kelurahan Sawangan Baru
|
Metode
penelitian ini menggunakan analitik dengan pendekatan kuantitatif.
|
Ada hubungan gaya hidup dan pola makan dengan kejadian
hipertensi pada lansia di kelurahan.
sawangan baru
|
Edi Sampuno Ridwan, Esti Nurwanti
|
Gaya Hidup dan Hipertensi pada Lanjut
Usia di Kecamatan Kasihan Bantul Yogyakarta
|
Jenis penelitian ini merupakan
penelitian yang bersifat analitik observasional dengan metode kuantitatif.
|
Ada hubungan gaya hidup dan hipertensi
pada lanjut usia di kecamatan kasihan bantul yogyakarta
|
Meylen Suoth, Hendro Bidjuni, Reginus
T. Malara
|
Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadia
Hipertensi di Puskesmas Kolongan Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara
|
Metode penelitian survei dengan
menggunakan metode kuantitatif.
|
Ada hubungan gaya hidup dengan
kejadian hipertensi di puskesmas kolongan kecamatan kalawat
|
Penelitian-penelitian
sebelumnya pada tabel diatas menunjukkan adanya hubungan antara gaya hidup pada
lansia dengan hipertensi. Perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah tempat dan waktu penelitian,
sampel dan populasi yang digunakan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Landasan Teori
1.
Konsep
Penyakit Hipertensi
a.
Pengertian
Hipertensi
Tekanan darah
merupakan kekuatan darah untuk melawan dinding arteri selama bersiklasi ke
seluruh tubuh (National Heart Lung and Blood Institute, 2011). Tekanan darah
dibagi menjadi dua. Pertama, tekanan sisolik. Tekanan sistolik menggambarkan
tekanan darah arteri yang dihasilkan selama kontraksi ventrikel. Kedua, tekanan
diastolik. Tekanan diastolik menggambarkan tekanan darah arteri yang dihasilkan
sewaktu ventrikel relaksasi. Satuan untuk angka tekanan darah adalah mmHg. Alat
yang digunakan untuk mengukur tekanan darah bermacam-macam. Salah satu alat
yang sering dipakai dokter dan tenaga kesehatan adalah Sphygnoamometer
(Pickering, 1996).
Menurut JNC VII
2003, Hipertensi adalah teakanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmhg
dan tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg atau mengkonsumsi
obat anti hipertensi (Guyton, 2007).
Menurut WHO
penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau
sama dengan 160 mmHg dan tekanan diastolik sama atau lebih besar 95 mmHg (Kodim
Nasrin, 2003).
b.
Penyebab
Hipertensi
Menurut Cowin
tahun 2000 dalam (Wijaya, 2013)
menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume
sekuncup dan Total Peripheral Resistence (TPR). Peningkatan kecepatan denyut
jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus
SA. Peningkatan kecepatan denytu jantung yang berlangsung kronik sering
menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung
biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup sehingga tidak menimbulkan
hipertensi
Peningkatan
volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat volume
plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh
ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan rennin atau
alosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air
dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan
volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup atau
tekanan darah. Peningkatan preload biasanya berkaitan dengan peningkatan
tekanan sistolik.
Peningkatan TPR
yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau
hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat
rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh
darah. Pada peningkatan TPR, jantung harus memompa lebih kuat dan dengan
demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintasi
pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebabkan peningkatan dalam afterload
jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila
peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai
mengalami hipertrofi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan
oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara
lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada hipertrofi,
sarat-sarat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada
akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.
c.
Patofisiologi
Hipertensi
Patofisiologi
hipertensi masih belum jelas, banyak faktor yang saling berhubungan
terlibat dalam peningkatan tekanan darah
pada pasien hipertensi esensial. Namun, pada sejumlah kecil pasien penyakit ginjal
atau korteks adrenal (2% dan 5%) merupakan penyebab utama peningkatan tekanan
darah (hipertensi sekunder) namun selebihnya tidak terdapat penyebab yang jelas
pada pasien penderita hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologi turut
berperan aktif pada tekanan darah normal dan terganggu. Hal ini mungkin
berperan penting pada perkembangan penyakit hipertensi esensial. Terdapat
banyak faktor yang saling berhubungan terlibat dalam peningkatan tekanan darah
pada pasien hipertensi (Crea, 2008).
Mekanisme yang
mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor,
pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis,
yang berlanjt keawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan aseilkolin, yang akan meransang
serabut saraf pasca gangglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketai dengan jelas mengapa hal tersebut bisa
terjadi (Crea, 2008).
Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan
steroid lainna, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokomstriksi
yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokontriktor kuat, yan pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh koteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium
dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler.
Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Crea, 2008).
Sebagai
pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubaan struktural dan fungsional
pada system pembuluh perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah
yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi arterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otpt polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya
regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung dan
peningkatan tahanan perifer (Rohaendi, 2008).
d.
Klasifikasi
Hipertensi
Tabel
2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII
|
Sistolik
(mmHg)
|
Diastolik
(mmHg)
|
Normal
|
<120
|
dan<80
|
Pra-hipertensi
|
120-139
|
atau
80-89
|
Hipertensi
Tingkat 1
|
140-159
|
atau
90-99
|
Hipertensi
Tingkat 2
|
≥160
|
atau
≥ 100
|
e.
Gejala
Hipertensi
ini beberapa gejala yang ditimbulkan dari
hipertensi berdasarkan penyebabnya (Sudoyo, dkk, 2006).
1) Peningkatan tekanan darah
Rasa berdebar,
rasa melayang (dizzy), pusing.
2) Penyakit jantung/ hipertensi
vaskular
Cepat lelah, sesak nafas, sakit dada,
bengkak kedua kaki dan perut. Gangguan vaskular lainnya adalah epitaksis,
hematuria, dan pandangan kabur karena perdarahan retina.
Pada hipertensi, tekanandarah yang naik
secara drastis merusak lapisan dalam pembuluh darah kecil sehingga dapat
mengakibatkan akumulasi fibrin (protein berwarna agak putih) di dalam pembuluh
darah, edema lokal, dan kemungkinan pembekuan intravaskular pembekuan didalam
pembuluh darah (Corwin, 2007)
f.
Faktor
Risiko Hipertensi
`Ada dua macam fator risiko terjadinya
hipertensi yaitu faktor risiko yang bisa dikendalikan dan faktor risiko yang
tidak bisa diubah. Beberapa macam faktor risiko yang tidak bisa diubah yaitu
(Sutono 2008):
1) Usia
Ada hubungan
positif antara usia dengan hipertensi.Prevalensi hipertensi meningkat seiring
dngan bertambahnya usia seseorang (Bullock 1996). Pada usia 45-54 tahun kejadian hipetensi pada pria
sebesar 37,1% dan pada wanita 35,2%, pada usia 55-64 pevalensi meningkat
menjadi 54,0% pada pria dan 53,3%paa wanita begitu seterusnya sampai usia 75
tahun ketas (CDC, 2012). Berdasarkan data dari
American Heart Association, sekitar 80% dari orang yang meninggal akibat
penyakit kadiovaskular merupakan orang berusia 65 tahun ke atas (UCSF, 2012).
2) Ras
Ras kulit hitam
memiliki risiko hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit
putih baik pada pria maupun wanita (Bullock, 1996). Hipertensi sangat umum terjadi di daerah
perkotaan di Afrika. Hipertensi banyak terjadi pada ras kulit hitam karena
perbedaan respon terhadap obat hipertensi. Ras kulit hitam yang hipertensi
cenderung kurang sensitif terhadap beta-blokers dan angiotensin-converting
enzyme inhibitors. Ras kuit hitam juga memiliki lasma renin yang lebih rendah
(Beevers ad Mac Gregor, 1995).
3) Jenis
Kelamin
Berdasarkan data
dari Framingham Heart Stuy yang usia respondennya berkisar antara 65-89 tahun
dengan hipertensi, ditemkan 65% berjenis kelamin perempuan dan 57% laki-laki (Chernoff, 2006). Hal ini
menunjukkan bahwa hipetensi pada kisaran umur tersebut lebih anyak diderita
oleh wanita. Setelah melewatimasa produktif, wanita akan memasuki masa
menopause. Pada masa menopause, terjadi penurunan sekresi ormon esterogen.
Salah satu fungsi esterogen adalah mempertahankan fleksibilitas pembuluh darah
dan memoduasi kerja hormon lain yang dapat berkontribusi menngkatkan tekanan
darah. Jadi seirin dengan penurunan esterogen, risiko wanita untu menderita
hipertensi meningkat (highbloodpresure.about.com).
4) Riwayat
Hipertensi
Genetik memegang peranan penting
pada terjadinya hipertensi. Jika kedua orang tua menderita hipertensi
essensial,peluang anaknya menderita hipertensi adalah satu banding dua. Jika
salah sat dari orang tua (ayah atau ibu saja) yang menderita hipertensi,
peluang anaknya menderita hipertensi adalah satu bandin tiga. Sementara itu,
jika kedua oang tua tidak menderita hipertensi, peluang anaknya menderita
hipertensi adalah 1 banding 20 (Bulock,
1996).
Faktor
risiko yang bisa dikendalikan antara lain (Sutono, 2008):
1) Kegemukan
Ada beberapa
sebab mengapa kelebihan berat badan bisa memicu hipertensi. Masa tubuh yang
besar membutuhkan lebih banyak darah untuk menyediakan oksigen dan makanan
kejaringan tubuh. Artinya, darah yang mengalir dalam pembuluh darah semakin
banyak sehingga dinding arteri mendapatkan tekanan lebih besar. Tidak hanya
itu, kelebihan berat badan membuat frekuensi denyut jantung dan kadar insulin
dalam darah meningkat. Kondisi ini menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.
2) Konsumsi
Asin
Dari penelitian Sugihartono (2007),
didapatkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi asin berisiko menderita hipertensi
sesar 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak mempunyai kebiasaan mengkansumsi
asin.
3) Kalium
Rendah
Kalium merupakan
komponen yang esensial di dalam setiap sel, yang terlibat dalam reaksi dalam
tubuh, diantaranya untuk mempertahankan tekanan osmotik, pengantaran impuls
dalam saaf, kontraksi ritmis jantung, sintesis protein, metabolisme
karbohidrat, melepaskan insulin dari pankreas, dan mempertahankan tekanan darah
yang normal (Wiseman, 2002).
Beberapa bukti
studi epidemiologis telah menggambarkan hubungan antara intake kalium dengan
tekanan darah, dan hubungan lansung antara rasio natrium/ kaliumpada urin
dengan tekanan darah. Peningkatan intake kalium berhubungan dengan natriuretik
dan kemungkinan efek diuretik. Pengurangan konsumsi kalium meningkatkan
kahilangan kalsium di urin, yang juga merupakan kation penting yang mengatur
tekanan darah. Pada situasi ini, kehilangan kalsium dapat mempercepat stimulasi
hormon paratiroid, yang dapat mengkontribusi peningkatan tekanan darah.
Peningkatan konsentrasi Kalium dalam tubuh dapat mengurangi produksi radikal
bebas pada sel endothel, yang dapat membantu menjaga tekanan darah (Paolo,
1998).
Keseimbangan
kalium dipengaruhi oleh konsumsi Kalium dan pengeluaran kalium. Konsumsi kalium
sebagian didapatkan dari asupan makanan. Makanan yang mengandung kalium antara
lain buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian merupakan sumber kalium yang baik.
Kalium memiliki efek anti-hipertensi. Efek ini juga berhubungan dengan
interaksi yang kompleks dengan beberapa nutrien dan substansi lain. Dietary
Approaches to Stop Hypertension (DASH) yang telah dikemukakan di Amerika
Serikat menganjurkan diet yang tinggi kalium dengan banyak memakan sayuran dan
buah-buahan untuk mencegah hipertensi (Paolo, 1998).
Kalium membantu
tubuh menjagi kesimbangan jumlah natrium di daam cairan sel. Apabila tubuh
kekurangan kalium, natrium yang berlebihan di dalam tubuh tidak bisa
dikeluarkan sehingga risiko hipertensi meningkat.
4) Konsumsi
Kopi
Kafein akan
meningkatkan hormon stres seperti epinepfrin, nonefrinefrin, dan kortisol yang
dapat menyebabkan hipertensi (Saleh,
2011). Seseorang yang tidak terbiasa minum kopi memiliki tekanan darah
lebih rendah jika dibandingkan dengan seseorang yang mengkonsumsi kopi 1-3
cangkir per hari. Pria yang mengkonsumsi kopi 3-6 cangkir per hari memiliki
tekanan darah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang mengkonsumsi kopi
1-3 cangkir per hari (Uiterwaal et al, 2007).
5) Kebiasaan
Merokok
Hipertensi juga
dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap sesorang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat meningkatkan penggumpalan darah
dalam pembuluh darah (Dalimartha
et al., 2008). Menurut sitorus (2005),
yang menyatakan bahwa merokok sebatang setiap hari meningkatkan tekanan darah
sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/ menit. Seseorang
dikatakan peroko ringan bila rokok yang dihisap kurang dari 10 batang/ hari,
perokomsedang bila 11-20 batang sehari, dan sebagai perokok berat bila
menghisap lebih dari 21 batang/ hari (Kanisius, 2008).
6) Aktivitas
Fisik
Olah raga banyak
dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik
dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunakn tekanan darah
(untu hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa
apabilajantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi
tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikkan risiko hipertensi karena
bertambahnya risiko orang untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif
cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot-otot jantung mereka
harus bekerja lebih keras pada setiap konstraksi, semakin keras dan sering
jantung memompa semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri yang dapat
menyebabkan hipertensi (Rohaendi,
2008).
7) Stres
Stress
didefinisikan sebagai proses ketika stressor mengancam keselamatan dan
kesejahteraan organisme, stressor tersebut meliputi stressor lingkungan (contohnya
bencana alam dan satus sosial ekonomi), stressor psikologi (contohnya
kekhawatiran, kegugupan saat berbicara, dan penderitaan batin), dan stressor
fisik (contohnya olahraga dan trauma), dan stressor imunolgis (contohnya
penyakit infeksi dan penyakit fisik). Stressor bisa bersifat menyenangkan atau
tidak menyenangkan. Stressor yang menyenangkan disebut eustres, sedangkan
stressor yang tidak menyenangkan disebut distress. Peristiwa tidak menyenangkan
terjadi pada masa lalu juga menimbulkan hal yang teraumatis yang dapat
menyebabkan stress misalnya, kehilangan seseorang terdekat yang meninggal,
perceraian dan sebagainya (Corwin,
2007).
Pada keadaan
hipetensi, jantung meyang sangat memompa darah ke tubuh dengan tekanan yang sangat tinggi. Sala satu
penyebabnya adalah stress emosional. Jika seseorang mengalami gangguan
emosional, denyut jantung meningkat
sebagai usaha untuk memompa lebih banyak darah ke dalam tubuh. Dr. Wolf
menentukan bahwa dalam wawancara dengan kelompok tersebut, mereka ragu-ragu mengungkapkan
perasaan dan konflik mereka. Wolf menggambarkan dampak stress terhadap tekanan
darah suatu contoh sejarah. Pada masa Perang Dunia II terjadi pertempuran yang
luar biasa antara prajurit Rusia dengan orang Jerman sehingga banyak korban
berjatuhan. Selama tahun 1942-1943 prevalensi hipertensi pada penduduk
meningkat dari 4,1% menjadi 64%. Sebagian besar dari penduduk tersebut sudah
meninggal pada awal tahun 1960 (McQuade, 1991).
Hubungan antra
stress dengan hipertensi diduga melalui aktivasi saraf simpatik yang dapat
meningkatkan tekann darah secara intermiten. Jika stress terjadi secara terus
menerus maka akan berdampak pada tekanan darah yang tinggi. Percobaan pada hewan yang dipapar oleh stress
menunjukkan bahwa ternyata hewan tersebut mengalami hipertensi. Kebanyakkan
masyarakat yang tinggal di perkotaan prevalensi hipertensinya lebih tinggi
daripada masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal ini berkaitan dengan pengaruh
stress psikososial yang lebih banyak dialami oleh masyarakat yang tinggal diperkotaan
dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di pedesaan (Darmajo, dkkm 1986).
g.
Komplikasi
Hipertensi
Tekanan darah
tinggi apabila tidak diobati dan tidak ditanggulangi, maka dalam jangka panjang
akan menyebabkan kerusakan arteri didalam tubuh sampai organ yang mendapat
suplai darah dari arteri tersebut. Komplikasi hipertensi dapat terjadi pada
organ-organ sebagai berikut:
1) Jantung
Tekanan darah
tinggi dapat menyebagkan terjadinya gagal jantung dan penyakit jantung koroner.
Pada penderita hipertensi, beban kerja jantung akan meningkat, otot jantung
akan mengendur dan berkurang elastisitasnya, yang disebut dekompensasi.
Akibatnya jantung tidak mampu lagi memompa sehingga banyak cairan tertahan diparu maupun jaringan tubuh lain yang dapat
menyebabkan sesak nafas atau oedema. Kondisi ini disebut gagal jantung (Wijaya,
2013)
2) Otak
Komplikasi
hipertensi pada otak, menimbulkan risiko stroke, apabila tidak diobati risiko
terkena stroke 7 kali lebih besar (Wijaya, 2013)
3) Ginjal
Komplikasi
hipertensi pada otak, menimbulkan risiko stroke, apabila tidak diobati risiko
terkena stroke 7 kali lebih besar (Wijaya, 2013)
4) Mata
Pada mata
hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati hipertensi dan dapat
menimbulkan kebutaan (Yahya, 2005 dalam Wijaya, 2013).
h.
Pencegahan
Hipertensi
Tidak semua
penderita tekanan darah tinggi mmerlukan obat. Apabila hipertensinya tergolong
ringan maka masih dapat dikontrol melalui gaya hidup sehari-hari. Hal-hal yang
perlu dilakukan bagi penderita hipertensi sebagai tindakan pencegahan adalah
(Wijayakusuma 2008) :
1) Diet
rendah lemak
Kurangi atau
hindari makanan gorengan, daging yang banyak lemak, susu full cream, telur.
2) Diet
rendah garam
Batasi pemakaian
garam dan makan yang diasinkan seperti cumi asin, ikan asin, telur asin, kecap asin.
3) Hindari
memakan daging kambing, buah durian, atau minum-minuman yang beralkohol.
4) Lakukan
olahraga secara teratur dan terkontrol
Olah raga yang
cocok berupa aktivitas aerobik, seperti jalan kaki, lari, naik sepeda dan
berenang.
5) Berhenti
merokok
6) Berhenti
minum kopi
7) Menurunkan
beat badan bagi penderita hipertensi yang mengalami obesitas
8) Menghindari
stress dengan gaya hidup yang lebih santai
9) Mengobati
penyakit penyerta, seperti diabetes mellitus, hipertiroid dan kolesterol tinggi.
i.
Penatalaksanaan
Hipertensi
1) Penatalaksanaan
Nonfarmakologi
Penatalaksanaan
nonfarmakologis dengan modifikasi gaya hidup sangat penting dalam mencegah
tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
mengobati tekanan darah tinggi (Ridwanamiruddin, 2007). Penatalaksanaan
hipertensi dengan nonfarmakologis terdiri dari dari berbagai macam cara
modifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah yaitu:
a) Mempertahankan
berat badan ideal
Mempertahankan
berat badan ideal sesuai Body Mass Index (BMI) dengan rentang 18,5-24,9 kg/ m²
(Kaplan, 2006). BM dapat diketahui dengan membagi berat badan dengan tinggi
badan yang telah dikuadratkan dalam satuan meter. Mengatasi obesitas
(kegemukan) juga dapat dilakukan dengan melakukan diet rendah kolesterol namun
kaya serat dan protein (pfizerpeduli.com), dan jika berhasil menurunkan berat
badan 2,5-5 kg maka tekanan darah diastolik dapat diturunkan sebanyak 5 mmHg
(Radmarssy, 2007).
b) Kurangi
asupan natrium (sodium)
Mengurangi
asupan natrium dapat dilakukan dengan cara diet rendah garam yaitu tidak lebih
dari 100 mm0l/ hari (kira-kira 6 gr NaCl atau 2,4 garam/ hari) (Kaplan, 2006).
Jumlah yang lain dengan mengurangi asupan garam sampai kurang dari 2300 mg (1
sendok teh) setiap hari. Pengurangan konsumsi garam menjadi ½ teh perhari,
dapat menurunkan tekanan diastolik sebanyak 5 mmHg dan tekanan diastolik
sekitar 2,5 mmHg (Radmarssy, 2007).
c) Batasi
konsumsi alkohol
Radmarssy (2007)
mengatakan bahwa konsusmsi alkohol harus dibatasi karena konsumsi alkohol
berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah. Para peminum berat mempunyai
risiko mengalami hipertensi empat kali lebih besa dari pada mereka yang tidak
minum alkohol.
d) Makan
K dan Ca yang cukup dari diet
Pertahankan
asupan diet potassium (>90 mmol (3500mh)/ hari) dengan cara konsumsi diet
tinggi buah dan sayur dan diet rendah lemak dengan cara mengurangi asupan lemak
jenuh dan lemak total (Kaplan, 2006). Kalium dapat menurunkan tekanan darah
dengan meningkatkan jumlah natrium yang terbuang bersama air kencing. Dengan
setidaknya mengkonsumsi buah-buahan sebanyak 3-5 kali dalam sehari, sesorang
mencapai asupan potassium yang cukup (Radmarssy, 2007).
e) Menghindari
merokok
Merokok memang
tidak berhubungan secara langsung dengan timbulnya hipertensi, tetapi merokok
dapat meningakatkan risiko komplikasi pada pasien hipertensi seperti penyakit
jantung dan stroke, maka perlu dihindari mengkonsumsi tembakau (rokok) karena
dapat memperberat hipertensi (Dalimartha, 2008).
Nikotin dalam
tembakau membuat jantung bekerja lebih keras karena menyempitkan pembulu darah
dan meningkatkan frekuensi denyut jantung serta tekanan darah (Sheps, 2005).
Maka penderita hipertensi dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan merokok
(pfizerpeduli.com).
f) Penurunan
stres
Stress memeng
tidak menyebabkan hipertensi yang menetap namun jika episode stress sering
terjadi dapat menyebabkan kenaikan sementara yang sangat tinggi (Sheps, 2005).
Menghindari stress dengan menciptakan suasana yang menyenangkan bagi penderita
hipertensi dan memperkenalkan berbagai
metode relaksasi seperti yoga atau meditasi yang dapat mengontrol sistem saraf
yang akhirnya akan menurunkan tekanan darah (pfizerpeduli.com).
g) Terapi
massase (pijat)
Menurut
Dalimartha (2008), pada prinsipnya pijat yang dilakukan pada penderita
hipertensi adalah untuk memperlancar aliran energi dalam tubuh sehingga
gangguan hipertensi dan komplikasinya dapat diminimalisir, ketika semua jalur
energi terbuka dan aliran energi tidak lagi terhalang oleh ketegangan otot dan
hambatan lain maka risiko hipertensi dapat ditekan.
2)
Pengobatan Farmakologi
a) Diuretik
(Hidrokloritiazid)
Mengeluarkan
cairan tubuh sehingga volume cairan tubuh berkurang yang mengakibatkan daya
pompa jantung menjadi lebih ringan.
b) Penghambat
simpatetik (Metildop, Klonidin, dan Reserpin)
Menghambat
aktivitas saraf simpatis.
c) Betabloker
(Metaprolol, Propanolol, dan Atenolol)
(1) Menurunkan
daya pompa jantung
(2) Tidak
dianjurkan pada penderita yang elah diketahui mengidap gangguan pernafasan
seperti asma bronkial
(3) Pada
penderita dibetes melitus: dapat menutupi gejala hipoglikemi
d) Vasodilator
(Prasosin, Hidralasin)
Bekerja langsung
pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos pembuluh darah.
e) ACE
inhibitor (Captopril)
(1) Menghambat
pembentukan zat angiotensin II
(2) Efek
samping: batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas
f) Penghambat
Reseptor Angiotensin II (Valsartan)
Menghalangi
penempelan zat angiotensin II pada reseptor sehingga memperingan daya pompa
jantung.
g) Antagonis
Kalsium (Diltiasem dan Verapamil)
Menghambat
kontraksi jantung (kontraktilitas).
2.
Konsep
Lansia
a. Pengertian Lansia
Menurut Setianto
(2004), seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun
keatas. Lansia bukan suatu penyakit, namun tahap lanjut dari suatu proses
kehidupan yang dintandai dengan penurunan kemapuan tubuh untuk beradaptasi
dengan stres lingkungan (Pudjiastuti 2003). Lansia menurut Hawari (2001),
adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis, kegagalan ini berkaita dengan
penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara
individual. Usia lanjut dapat dikata usia emas, karena tidak semua orang dapat
mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan
keperawatan baik yang bersifat preventif maupun promotif agar mereka dapat
menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia
(Maryam. Dkk 2008).
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap
akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna Keliat dikutip dalam
Maryam dkk 2008). Usia lanjut adalah suatu kejadian yang akan dialami oleh
semua orang yang tidak bisa dihindari oleh siapapun. Usia tua adalah periode
penutup dalam rentang hidup sesorang, yaitu suatu periode dimana sesorang
telah”beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau
beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock dikutip dalam Murwani &
Wiwin 2010). Usia tua tidak hanya dilihat dari perhitungan kronologis atau
berdasarkan kalender saja, tetapi juga menurut kondisi kesehatan seseorang dan
berdasarkan ciri daya pikirnya (Nugroho 2000).
b. Batasan Usia Lanjut
Birren dan Jenner (dikutip dalam Murwani & Wiwin,
2010) membedakan usia menjadi tiga yaitu:
1)
Usia biologis
Diartikan
sebagai jangka waktu sesorang sejak lahirnya berada dalam keadaan hidup dan
tidak pernah mati
2)
Usia psikologis
Diartikan
sebagai kemapuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-penyesuaian kepada
situasi yang dihadapinya.
3)
Usia sosial
Diartikan
sebagai peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada seseorang
sehubungan dengan usianya.
Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa.
Dalam menuju usia lanjut dilewati dua fase, yaitu: fase inventus meruapakn fase
dimana lansia menginjak usia antara
25-40 tahun dan fase virilitas merupakan fase dimana lansia menginjak 40-55
tahun. Dan pada akhir fase virilitas inilah biasanya disebut fase pertama usia
lanjut. Dalam konsep Raus, masa tersebut disebut masa presenium, antara 55
tahun hingga 65 tahun dan fase selanjutnya yaitu fase senium, mulai umur 65
tahun hingga tutup usia (Nugroho dikutip dalam Murwani & Wiwin 2010).
c. Klasifikasi Lansia
Klasifikasi
lansia dibagi menjadi lima (Maryam. Dkk 2008) yaitu:
1) Pralansia
(prasenil)
2) Seseorang
yang berusia 45-59 tahun
3) Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih.
4)
Lansia risiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun
atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan.
5)
Lansia potensial
Lansia yang masih mampu
melakukan pekerjaan/ kegiatan yang dapat menghasilkan barang/ jasa.
6)
Lansia tidak potensial
Lansia yang sudah tidak bisa mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.
Tabel
2.2 Klasifikasi Lansia menurut WHO
Kelompok
Usia
|
Usia
(tahun)
|
Usia pertengahan
(middle age)
|
45-59
|
Lanjut usia (olderly)
|
60-74
|
Lanjut usia tua (old)
|
75-90
|
Usia sangat tua
|
≥ 90
|
Sumber: WHO dalam Fatmah (2010)
d. Karakteristik
Lansia
Menurut
Budi Anna Keliat (dikuti dalam Maryam. Dkk 2008) menyatakan bahwa lansia
memiliki beberapa macam karakteristik
antara lain:
1) Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 1998
dalam Bab I Pasal 1 Ayat 2 lanjut usia adalah sesorang yang mencapai usia 60
tahun ke atas.
2) Kebutuhan
dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan
biopsikososial sampai spritual, serta dari kondisi adaftif hingga kondisi
maladaftif.
3) Lingkungan
tempat tinggal yang bervariasi
4) Tipe
lansia
Beberapa
tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan,
kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Effendi&Makhfudi 200(). Tipe
lansia dapat dijabarkan sebagai berikut:
(a)
Tipe arif bijaksana
Lansia tersebut bisa menyesuaikan
diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan, dan menjadi panutan.
(b)
Tipe mandiri
Lansia tersebut bisa mengganti kegiatan
yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, dan dapat
bergaul dengan teman.
(c)
Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menetang proses
penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit
dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.
(d)
Tipe pasrah
Lansia tersebut hanya menerima dan
menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa
saja.
(e)
Tipe bingung
Lansia tersebut biasanya suka kaget,
kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh
tak acuh.
5)
Tugas perkembangan lansia
Kesiapan lansia untuk beradaptasi atau
menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh
proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Apabila seseorang pada tahap
tumbuh kembangnya melakukan kegiatan sehari-hari dengan teratur dan baik serta
membina hubungan yang serasi dengan orang-orang disekitarnya, maka pada usia
lanjut akan tetap melakukan kegiatan yang biasa ia lakukan pada tahap
perkembangan sebelumnya seperti olahraga, bercocok tanam. Adapun tugas
perkembangan lansia yaitu (Maryam. Dkk 2008):
(a) Mempersiapkan
diri untuk kondisi yang menurun
(b) Mempersiapkan
diri untuk pensiun
(c) Membentuk
hubungan yang baik dengan orang seusianya
(d) Mempersiapkan
kehidupan baru
(e) Melakukan
penyesuaian terhadap kehidupan sosial/ masyarakat secara santai.
(f) Mempersiapkan
diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.
3.
Konsep
Gaya Hidup
a.
Pengertian
Gaya Hidup
Gaya hidup
adalah pola hidup sesorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan
opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang berinteraksi
dengan lingkungannya (Sakinah, 2002). Menurut Lisnawati (2006), gaya hidup
sehat mengambarkan pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada upaya
memelihara kondisi fisik, mental dan sosial berada dalam kedaan positif.
Sejalan dengan
pendapat Lisnawati, Notoatmojo (2005), menyebutkan bahwa perilaku sehat
(healthybehaviour) adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Untuk
mencapai gaya hidu yang sehat diperlukan pertahanan yang baik dengan menhindari
kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan ketidakseimbangan yang menurunkan
kekebalan dan semua yang mendatangkan penyakit. Hal ini juga didukung oleh pendapat
maulana (2009) yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan yang prima jalan
terbaik adalh merubah gaya hidup yang terlihat dari aktivitasnya dalam menjaga
keshatan.
Berdasarakan
uraian diatas dapat disimpulakn bahwa yang dimaksud dengan gaya hidup adalah
pola perilaku individu sehari-hari yang diekspresikan dalam aktivitas, minat
dan opininya untuk memperthakankan hidup sedangkan gaya hidup sehat dap
disimpulkan sebagai serangkaian pola perilaku atau kebiasaan hidup sehar-hari
untuk memelihara dan menghasilkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya
penyakit serta melindugi diri untuk sehat secara utuh. Gaya hidup dapat memicu
terjadinya hipertensi. Ini dikarenakangaya hidup menggambarkan pola perilaku
sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental, sosial
yang meliputi kebiasaan tidur, konsumsi
makanan tidak sehat, meroko, atau bahkan minum-minuman beralkohol (Lisnawati,
2011).
Perilaku sehat
adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang
untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya. “(Becker, 1979 dalam
Notoatmojo, 2012). Notoatmodjo, 2005 (dalam Yanti 2008) mendefinisikan perilaku
kesehatan (health behaviour) sebagai respon seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang
mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan
pelayanan kesehatan. Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang
(organisasi) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 1993 dalam Agustin,
2006). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bawa perilaku sehat adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya.
b.
Gaya
Hidup Yang Tidak Sehat
Sesungguhnya
gaya hidup merupakan faktor terpenting yang sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Gaya hidup yang tidak sehat, dapat menyebabkan terjadinya penyakit
hipertensi, misalnya; makanan, aktivitas fisik, stres, dan merokok
(Puspitorini, 2009). Jenis makanan yang menyebabkan hipertensi yaitu makanan
yang siap saji yang mengandung pengawet, kadar garam yang terlalu tinggi dalam
makan, kelebihan konsumsi lemak (Susilo, 2011).
Untuk
mengendalikan dan mencegah hipertensi, selain pola makan sehat harus juga
melakukan gaya hidup sehat, ini sangat penting karna gaya hidup sehat akan
membuat kita sehat keseluruhan dengan melakukan olahraga teratur, berhenti
merokok juga berperan untuk mengurangi hipertensi, dan mengendalikan pola
kesehatan secara keseluruhan, termasuk mengendalikan kadar kolesterol,
diabetes, berat badan dan pemicu penyakit lainnya (Susilo, 2011).
Gaya hidup masa
kini menyebabkan stress berkepanjangan. Kondisi ini memicu berbagai penyakit
seperti sakit kepala, sulit tidur, maag, jantung, hipertensi. Saat seseorang
tertekan, tubuhnya melepaskan adrenalin dan kortison, sehingga menyebabkan
tekanan darahnya meningkat. Tubuh menjadi lebih siaga menhadapi bahaya. Bila
kndis ini berlarut-larut, tekanan darahnya akan tetap tinggi. Gaya hidup modern
cenderung membuat berkurangnya aktivitas fisik (olahraga), konsums alkohol
tinggi, minum kopi dan merokok. Semua perilaku tersebut merupakan pemicu
tekanan darah tinggi (Sutomo, 2009).
Perubahan gaya
hidup yang bisa dilakukan adalah mengatur pola makan, olahraga secara teratur,
dan menghindari konsumsi alkohol atau rokok. Adapun beberapa jenis diet, yakni
diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan lemak terbatas, diet tinggi
serat, dan diet kalori. Diet yang diterapkan bisa disesuaikan dengan kondisi
hipertensi. Dengan mengatur makanan yang tepat, tekanan darah bisa turun dengan
lebih cepat (Sutomo, 2009).
Tekanan darah
juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan gaya hidup yang tidak aktif (kurang
gerak) bisa memicu terjadinya hipertensi bagi orang-orang yang memiliki
kepakaan yang diturunkan. Kurang aktivitas berpengaruh terhadap kerja detak
jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada
setiap kontraksi, semakin besar pula kekuatan yang mendesak arteri (Rohaendi,
2008).
1) Kebiasaan
Merokok
Hipertensi juga
dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap seseorang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat meningkatkanpnggumpalan darah dalam
pembuluh darah (Dalimartha et al, 2008). Menurut Sitorus (2005), yang menyatkan
bahwa merokok sebatang setiap hari meningkatkan tekanan darah sistolik 10-25
mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kali/ menit. Sitepu (2012), menyatakan
bahwa orang yang mempunyai kebiasaan merokok memilki risiko 5,320 kali lebih
besar untuk terjadinya hipertensi.
Risiko merokok
terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseorang lebih
dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali leboh rentan hipertensi dari pada
mereka yang tidak merkok. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dihisap melalu rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat
merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses
artrisklerosis dan hipertensi (Marliani, 2007).
Senyawa kimia
yang terkandung dalam stu batang rokok sangat berbahaya, terutama nikotin da
karbon monoksida. Zat kimia tersebut dihisap dan kemudian masuk ke dalam aliran
darah yang akan menyebabkan arterisklerosis yang menyebabkan penyempitan
pebuluh darah yang akan menyebabkan tekanan dalam dinding arteri meningkat.
Jika merokok dimulai usia muda, berisiko mendapat serangan jantung menjadi dua
kali lebih sering dibanding tidak merokok. Serangan sering terjadi sebelum usia
50 tahun (Depkes, 2008).
Bahaya efek langsung dari meroko
yaitu hubungan langsung dengan aktivitas berlebih saraf simpatik, yang
meningkatkan kebutuhan oksigen pada miokardial yang kemudian diteruskan dengan
peningkatan pada tekanan darah, denyut jantung dan kontraksi miokardial
(Kaplan, 2011).
2) Frekuensi
Konsumsi Makan Asin
Garam (NaCL)
diyakini berkontribusi dalam meingkatkan tekanan darah pada dinding arteri. Hal
ini dibuktikan melalui sejumlah penelitian eksperimental dengan model simpanse,
yang secara genetik mendekati manusia. NaCl disuntikkan kedalm makaa mereka
selama 20 bulan. Hasil penelitian tersebut memnbuktikan bahwa asupan NaCl
meningkatkan tekanan darah simpanse tersebut. Tekanan darah akan meningkat
tajam, pada asupan NaCL yang berlebih, dan pada studi asupan NaCl tertinggi,
dilaporkan bahwa tekanan sistolik akan meningkat 33 dan 10 mmHg, sedangkan pada
manusiadampak NaCl pada tekanan darah akan meningkatkan risiko hipertensi
bersamaan dengan faktor lain seperti usia atau riwayat keluarga (Kothchen et
al, 2006).
Natrium bersama
klorida yang terdapat dalam garam dapur daam jumlah normal dapat membantu tubuh
mempertahankan keseimbangan cairan tubuh untuk mengatur tekanan darah. Namun
natrium dalam jumlah yang berlebih dapat menahan air (resistensi), sehingga
meningkatkan volume darah.Akibatnya jantung harus bekerja lebih keras untuk
memompanya dan tekanan darah menjadi naik (Sustrani, 2006). Hasil penelitian
Sugiharto (2007), yang membuktikan bahwa ada hubungan anatara konsusmsi makanan
asin dengan kejadian hipertensi dan menyatakan bahwa seseorang yang terbiasa
mengkonsumsi makanan asin akan berisiko 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak
terbiasa konsumsi makanan asin.
3) Frekuensi
Konsumsi Makanan Berlemak
Beberapa fakta
dalam studi epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara tingginya
asupan lemak jenuh dengan tekanan darah, dan pada beberapa populasi dengan
tekanan arah dibawah rata-rata mengkonsumsi lemak total dan asam lemak jeuh
rendah (Kotchen et al, 2006). Selain itu, konsumsi lem jenuh meningkatkan
risiko kenaikan berat badan yang merupakan faktor risiko hipertensi. Asupan
lemak jenuh yang kemudian menyebabkan hipertensi (irza, 2009). Keberadaan lemak
jenuh yang berlebih dalam tubuh akan menyebabkan penumpukkan dan pembentuk plak
di pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi semakin sempt dan
elstisitasnya berkurang (Almatsier, 2003).
4) Frekuensi
Konsumsi Minuman Berkafein
Konsumsi kopi
yang berlebihan dalam jangka yang panjang dan jumlah yang banyak diketahui
dapat meningkatkan risiko penyakit hipertensi atau penyait kardiovaskuler.
Beberapa penelitian menunjukkan didalam 2-3 gelas kopi (200-250 mg) terbukti
meningkakan tekanan sistolik sebesar 3-14 mmHg dan tekanan diastolik sebesar
4-13 mmHg pada orang yang tidak mempunyai hipertensi (Crea, 2008).
Mengkonsumsi
kafein secara teratur sepanjang hari
mempunyai tekanan darah rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kalau
mereka tidak mengkonsumsi sama sekali. Kebisaan mengkonsumsi kopi dapat
meningkatkan kadar kolesterol daah dan meningkatkan risiko terkena penyakit
jantung (Sustrani, 2006).
5) Aktivitas
Fisik
Tekanan darah
dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Tekanan darah akan lebih tinggi pada saat
melakukan aktivitas fisik dan lebih rendah ketika beristirahat. (Arnilawati, 2007). Hasil penelitian
Dalimartha, dkk (2005), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara aktivitas
fisik dengan kejadian hipertensi, dan individu yang kurang aktif mempunyai
risiko menderita hipertensi sebesar 30-50%. Penelitian di Farmingharm Study
menyatakan bahwa aktivits fisik sedang dan berat dapat mencegah kejadian
stroke. Selain itu, dua meta-amalisis yang telah dilakukan juga menyebutkan hal
yang sama. Hasil analisis pertama menyebutkan bahwa bejalan kaki dapat
menurunkan tekanan darah pada orang dewasa sekita 2% (Kelly, 2011).
Menurut Depkes
(2006), sesorang yang dikatakan olehraga apabila melakukan olahraga selama>
30 menit dan 3-4 kali/ minggu. Pada ssat melakukan intensitas latihan, ekan
darah yang meninggi adalah sistolik, sedangkan diastolik tidak tegantung
intensitas latihan. Apabila latihan terus dilanjutkan, maka secara bertahap
tekanan darah sistolik akan turun sebagai reaksi dari peningkatan dilatasi
arteriola di dalam otot yang aktif saat latihan. Olahraga yang dilakukan secara
teratur, menyebabkan janung bekerja lebih efisien, denyut jantung berkurang dan
menurunkan tekanan darah (Tremblay, 2006 dalam Respati, 2007).
6) Keadaan
Stres
Suheni (2007), yang menyatakan bahwa responden yang
mengalami stres memiliki risiko terkena hipertensi sebesar 9,333 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak memilki stres. Dalam Cahyono
(2008), stres adalah respon fisiologik, psikologis, dan perilaku seseorang
individu dalam dalam menghadapi penyesuai diri terhadap tekanan yang bersifat
internal maupun eksternal. Menurut Hawari (2001), stres adalah respon tubuh
yang sifatna non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (stresor
psikososial) yang berdampak pada sistem kardiovaskuler. Stesor Psikososial itu
sendiri terdiri dari: perkawinan, orangtua, antar pribadi, pekerjaan,
lingkungan, keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga, dan
trauma.
Stres dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik
yang mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut
jantung, menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air an garam
(Syaifuddin, 2006).
Menurut Depkes RI (2006) dan Sutanto (2010), stres
atau ketegangan jiwa (rasa murung, tertekan, marah, dendam, takut dan
bersalah). Ketika otak menerima sinyal bahwa seseorang sedang stres, perintah
untuk meningkatkan sistem simpatetik berjalan dan mengakibatkan hormon stres
dan adrenalin meningkat. Liver melepaskan gula dan lemak dalam darah untuk
menambah bahan bakar. Nafas menjadi lebih cepat sehingga jumlah oksigen
bertambah. Sehingga menyebabkan kerja jantung menjadi semakin cepat sehingga
meningkatkan tekanan darah.
Sutanto (2010), menjelaskan bahwa pelepasan hormon
adrenalin oleh anak ginjal sebagai akibat stres berat akan menyebabkan naiknya
tekanan darah dan meningkatkan kekentalan darah yang membuat darah membeku atau
menggumpal. Adrenalin juga dapat mempercepat denyut jantung, menyebabkan
gangguan irama jantung dan mempersempit pembuluh darah koroner.
B. Kerangka Teori
Gambar
2.3 Kerangka Teori
(Modifikasi dari
Bullock, 1996; Chenoff, 2006; Sutono, 2008; Sugihartono; 2007; Wiseman, 2002; Saleh, 2011;
Dalimartha et al, 2008; Rohaendi, 2008; Corwin, 2007).
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Desain
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah
metode cross sectional yaitu pengumpulan data baik untuk variabel
independen dan variabel dependen dilakukan bersama-sama (Notoatmojo, 2012).
Dengan metode ini diharapkan dapat mengetahui hubungan gaya hidup pada pasien
lansia dengan penyakit hipertensi di Ruang Rawat Inap RS. Siloam Sriwijaya
Palembang.
B. Variabel Penelitian
Adapun
variabel pada penelitian ini yaitu:
1. Variabel
independen (variabel terikat), yang terdiri dari karakteristik (usia, jenis
kelamin, ras, riwayat hipertensi) dan gaya hidup (pola makan, kebiasaan minum
kopi, kbisaan merokok, stress, aktivitas fisik).
2. Variabel
dependen (variabel bebas), yaitu
hipertensi.
C. Kerangka Konsep
Adapun
kerangka konsep pada penelitian ini seperti yang tercantum pada gambar berikut:
Gambar.
3.1 Kerangka Konsep
Keterangan:
=
Variabel
yang diteliti
= Varibel yang
tidak diteliti
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Penelitian
Populasi
merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang
diteliti, Populasi adalah setiap subjek yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan (Nursalam, 2013).
Populasi penelitian ini adalah semua pasien lansia yang datang berobat ke Rumah
Sakit Siloam Sriwijaya pada periode Januari sampai dengan Maret Tahun 2017
yang berjumlah 75 responden.
2. Sampel
Penelitian
Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan
sampling tertentu untuk dapat mewakili populasi (Notoatmojo, 2010).
Sampel
adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono,
2012).
Besar sampel dalam penelitian ini diambil
berdasarkan populasi yang ada dengan menggunakan rumus Slvoin adalah sebagai berikut :
n
=
Dimana
: n = Number of samples (jumlah
sampel)
N = Total population (jumlah
seluruh anggota populasi)
e = Error tolerance (toleransi
terjadinya galat; taraf signifikansi; untuk sosial dan pendidikan lazimnya 10%
atau 5 %)
Maka batasan jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah :
n =
n =
n= 75/ (1+75(0,01)
n = 75/ (1+0,75)
n=75/1,75 = 42,8 ~43
jadi jumlah sampel sebanyak 43 responden.
Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian
ini dilakukan secara accidental sampling .
Yaitu pengambilan kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di
suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian.
Sampel dalam
penelitian ini adalah pasien lansia di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Siloam
Sriwijaya Palembang dengan kriteria inklusi, yaitu:
1)
Pasien lansia yang diduga
mengalami hipertensi
2)
Pasien yang dapat
berkomunikasi secara verbal
3)
Kesadaran pasien compos mentis
4)
Pasien yang bersedia menjadi
responden.
5)
Usia pasien ≥ 55 Tahun
E. Tempat Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Ruang Rawat Inap RS Siloam Sriwijaya Palembang.
F. Waktu Penelitian
Penelitian
akan dilakukan pada bulan Juni – Juli 2017.
G. Etika Penelitian
Masalah
etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam
penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan
manusia, maka segi etika penelitian harus dipehatikan (Hidayat, 2007). Masalah
etika penelitian yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut:
1.
Informed
Consent
Informed
consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent
tersebut diberikan sebelum penelitian dengan memebrikan lembar persetujuan
untuk menjadi responden. Tujuan dari informed consent adalah agar subjek
mengerti maksud, tujuan penelitian, dan mengetahui dampaknya. Jika subjek
bersedia, makan mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika subjek
tidak bersedia maka peneliti harus menghormai hak pasien.
2. Anonimity
(Tanpa nama)
Masalah etika
keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek
penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan
hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang
disajikan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Masalah ini
merupakan maslah etika dengan memberikan jaminan kerahasian hasil penelitian,
baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah
dikumpulkan dijamin kerahasiannya oleh peneliti. Peneliti akan menjamin
kerahasiaan identitas responden, dimana data-data yang diperoleh hanya akan
digunakan untuk kepentingan penelitian dan apabila telah selesai makan data
tersebut akan dimusnahkan.
Beberapa prinsip etik menurut Polit (2006), yaitu:
1. Self Determination,
yaitu responden diberi kebebasan untuk menentukan aapakh bersedia atau tidak
mengikuti kegiatan penelitian dengan sukarela, setelah semua informasi yang
berkaitan dengan penelitian dijelaskan dengan menandatangani informed consent
yang telah disediakan.
2. Protection from discomfort,
kenyamanan responden selama penelitian dijamin. Peneliti menekankan apabila
responden merasa tidak aman atau naman selama menikuti kegiatan penelitian
sehingga menimbulkan masalah baik fisik maupun psikologis, maka peneliti
mempersiapkan responden untuk menghentikan partisipasinya.
H. Instrument Penelitian
Instrumen
penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti untuk mengobservasi,
mengukur dan menilai suatu fenomena untuk
pengumpulan data (Kelana Kusuma Dharma, 2011) Instrumen penelitian yang
digunakan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Alat
Spyghmomanometer aneroid dan stetoskop, digunakan untuk pengukuran penyakit hipertensi atau penentuan nilai
tekanan darah (sistole dan diastole).
2. Kuesioner,
isi dari kuesioner yang dibuat yaitu:
a. Data
Demografi (nama responden, usia responden,jenis kelamin responden, dan hail
ukur tekanan darah responden)
b. Berisi
sejumlah pertanyaan mengenai, usia, jenis kelamin, riwayat keturunan
hipertensi, kebisaan merokok, pola makan, perilaku konsumsi minuman berkafein
(kopi), aktivitas fisik, dan keadaan stres.
I. Uji Validitas dan Reabilitas
1. Uji
Validitas
2. Uji
Reailitas
J. Prosedur Pengumpulan Data
Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil kuesioner, sedangkan data
sekunder merupakan hasil pencatatan data-data penunjang di Ruang Rawat Inap RS
Siloam Sriwijaya seperti jumlah pasien dan Rekam Medis pasien.
Adapun
proses pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah:
1. Melakukan
pendekatan dan memberikan penjelasan maksud dan tujuan peneliti kepada
responden dan memohon kesediaan responden untuk menjadi responden.
2. Meminta
responden mengisi kesediaan menjadi responden dan menjelaskan cara pengisian
kuesioner
3. Pengisian
kuesioner dilakukan secara langsung oleh responden dan didampingi oleh
peneliti.
4. Pengisian
kuesioner
5. Setelah
itu kuesioner akan diolah menggunakan program software komputer yang hanya bisa
di akses oleh peneliti dan pembimbing dan kemudian akan dimusnahkan setelah 2
tahun.
K. Metode Pengolahan dan Analisa data
Data
yang telah dikumpulkan lalu dilakukan proses sebagai berikut:
1.
Pengolahan
Data
a. Proses
Editing
Meneliti kembali jawaban yang telah
diisi oleh responden sehingga jawaban yang diperoleh lengkap. Proses ini
dilakukan dilapangan sehingga apabila ada kekurangan atau ketidaksesuaian bisa
langsung dilengkapi dan disempurnakan.
b. Pemberian
Kode (Coding)
Untuk mempermudah pengolahan, data
yang telah terkumpul diubah bentuknya kedalam bentuk yang lebih ringkas dengan
menggunakan kode untuk mempermudah dalam menganalisis data.
c. Penyusunan
Data (Tabulasi)
Penyusunan data merupakan
pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan mudah dapat dijumlah,
disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Proses tabulasi pada
penelitian ini yaitu menggunakan komputer.
d. Pembersihan
Data (Cleaning)
Cleaning merupakan proses pengecekan
ulang dan pembersihan data dari kesalahan, apakah benar-benar bebas dari
kesalahan.
2.
Analisa
Data
Data yang
dihasilkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, variabel yang diteliti
adalah variabel independen. Berdasarkan penelitian ini maka uji statistik yang
digunakan adalah univariat dan bivariat.
a. Analisa
Univariat
Digunakan untuk
memperoleh gambaran distribusi dan proporsi dari semua variabel yang diteliti.
Variabel yang diteliti meliputi distribusi frekuensi responden berdasarkan usia,
jenis kelamin, dan riwayat hipertensi. Selanjutnya distribusi responden untuk
gambaran gaya hidup responden berdasarkan stress, aktivitas fisik, kebiasaan
minum kopi, kebiasaan merokok, dan pola makan. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat dari tabel analisis univariat berikut ini;
Tabel 4.2 Uji Analisa Univariat
Variabel
|
Analisa Univariat
|
Usia
|
Sentral
tendensi (Mean)
|
Jenis Kelamin
|
Proporsi (Persentase)
|
Riwayat Hipertensi
|
Proporsi (Persentase)
|
Stress
|
Proporsi (Persentase)
|
Aktivitas Fisik
|
Proporsi (Persentase)
|
Kebiasaan Minum Kopi
|
Proporsi (Persentase)
|
Kebiasaan Merokok
|
Proporsi (Persentase)
|
Pola Makan
|
Proporsi (Persentase)
|
Hipertensi
Lansia
|
Proporsi
(Persentase
|
b. Analisis
Bivariat
Untuk dapat mengetahui bagaimana hubungan variabel independen terhadap
variabel dependen, uji statistik yang digunakan adalah uji statistik chi square test (X2) pada
variabel independen gaya hidup yang meliputi: stress,
aktivitas fisik, kebiasaan minum kopi, kebiasaan merokok, dan pola makan dan variabel dependen (penyakit
hipertensi).
Untuk mengetahui
tingkat kemaknaan dari variabel yang dianalisa maka dilihat dari P Value. Dalam penelitian ini menggunakan
derajat kepercayaan (Confident Interval)
95% (0,05). maka P ≤ α (0,05) maka hasil perhitungan statistik bermakna yang
berarti ada hubungan, jika P > α (0,05) maka hasil perhitungan statistik
tidak bermakna atau tidak ada hubungan (Notoatmodjo, 2007).
Untuk mengetahui skala ukur mean atau median digunakan
uji normalitas. Dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas Shapiro Wilk karena jumlah sampel 43 orang berarti
kurang dari 50 orang. Keputusan
uji normalitas data adalah dengan melihat sig. atau p value > 0,05 maka kita simpulkan data berdistribusi normal dan
digunakan mean dan apabila tidak normal p value
< 0,05 maka digunakan nilai median.
L. Jalannya Penelitian
Alur
penelitian pada penelitian ini seperti yang tercantum pada gambar berikut:
Gambar
3.2 Alur Penelitian
M. Definisi Operasional
No
|
Variabel
|
Definisi Operasional
|
Alat
Ukur
|
Hasil
Ukur
|
Skala
Ukur
|
1.
|
Hipertensi
|
Tekanan
darah sistolik yang ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (JNC
VII, 2003)
|
Sphygnomanometer
dan stetoskop
|
1.
Hipertensi
Derajat I tekanan sistolik 140-159 mmHg atau lebih atau diastolik 90-99 mmHg
atau lebih
2.
Hipertensi
Derajat II (jika tekanan sistolik ≥ 160
mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 90 mmH) (JNC VII, 2003)
|
Ordinal
|
2.
|
Stress
|
Suatu
kondisi yang disebabkan oleh kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup dalam satu tahun terakhir yang
meliputi permasalahan dengan orang lain, kehilangan orang terdekat,
permasalahan keuangan, dan sebagainya. Tingkat stress diukur dengan
menggunakan skor metode Holmes & Rahe (1967)
|
Kuesioner
|
1.
Stess
jika skor > 300
2.
Tidak
stress, jika skor ≤300
|
Ordinal
|
3.
|
Aktivitas
fisik
|
Penilaian
aktivitas fisik dengan melihat
aktivitas bekerja, berolahraga, dan
aktivitas pada waktu luang dengan
menggunakan keusioner Baeke, (1982)
|
Kuesioner
|
1.
Aktivitas
Ringan, jika indeks < 7,5
2.
Aktivitas
Sedang, jika indeks ≥75
(Baeke et
al,1982 dalam Kamso, 2000)
|
Ordinal
|
4.
|
Pola
Makan
|
Suatu bentuk
kebiasaan konsumsi makanan yang dilakukan oleh seseorang dalam kegiatan
makannya sehari-hari yang mencakup sumber zat tenaga, pembangun dan pengatur
|
Kuesioner
|
1.
Baik,
apabila jawaban responden ≥ mean = 47
2.
Baik,
apabila jawaban responden < mean =
47
|
Ordinal
|
5.
|
Kebiasaan minum kopi
|
Kebiasaan mengkonsumsi kafein
|
Kuesioner
|
1.
Minum
Kopi
2.
Tidak
minum kopi
|
Ordinal
|
6.
|
Kebiasaan merokok
|
Kebiasaan menghisap rokok
|
Kuesioner
|
3.
Perokok
4.
Mantan perokok (berhenti merokok, paling sedikit
selama 6 buan)
5.
Tidak
pernah merokok (WHO 1997 dalam Camoes et al, 2010)
|
Ordinal
|
N. Hipotesis
Hipotesis
adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian
(Nursalam, 2013). Hipotesis dalam penelitian adalah:
Ha
= Ada hubungan antara gaya hidup pada lansia dengan hipertensi di ruang rawat
inap RS Siloam Sriwijaya Palembang tahun 2017.
H0 = Tidak ada hubungan antara gaya hidup pada
lansia dengan hipertensi di ruang rawat inap RS Siloam Sriwijaya Palembang
tahun 2017.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
Gambaran
Umum RS Siloam Palembang
1.
Profil
Rumah Sakit
Siloam Hospital Group (Siloam) adalah jaringan rumah
sakit swasta yang terdepan di Indonesia dan telah menjadi benchmark (nilai
standar) pada pelayanan kesehatan berkualitas di Indonesia. Tim medis Siloam
terdiri dari 400 Dokter umum, 1.500 Dokter
spesialis, serta 7.200 perawat, teknisi kesehatan dan staf pendukung lainya
yang telah melayani hampir 2 juta pasien setiap tahunnya.
Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan medis berkelas
dunia bagi semua kalangan masyarakat di Indonesia, strategi bisnis Siloam yang berdasarkan
pada economies of scale (Prinsip
Skala Ekonomi) memungkinkan setiap unit rumah sakitnya untuk beroperasi dengan
biaya yang lebih rendah.
Dengan demikian visi perusahaan untuk mewujudkan
pelayanan kesehatan berkualitas internasional di Indonesia yang dilandasi
dengan belas kasih Iilahi dapat menjadi Platform bagi Siloam untuk meresponi
transformasi sosial yang dinamis di Indonesia.
Rumah sakit Siloam pertama kali di resmikan adalah
RS Siloam Glenegles pada tahun 1996 yang terletak di Lippo Village, bekerja
sama dengan Gleregles Development Rte,
Jtd. Sementara Rs Siloam Sriwijaya yang dikenal sebagai Siloam Hospital
Palembang di Sumatera Selatan di resmikan pada tahun 2017.
RS Siloam Sriwijaya Palembang memiliki beberapa
ruangan diantaranya Unit Gawat Darurat 24 jam, sedangkan fasilitas rawat inap
terdiri dari 150 tempat tidur yang meliputi ruangan Intensive Care Unit (ICU), High
Care Unit (HCU), Neonatal Intensive
Care Unit (NICU), Maternty dan LDS, Operating
Theater (OT)/ kamar operasi, Inpatient
Departement yang meliputi IPD 5, IPD 6, IPD 7, Out Patient Departemen (OPD)/ rawat jalan dan masih ada layanan
Diagnostik, (EKG, Ehokardiografi, EEG), layanan Radiologi (MRI 2,5 T, Cath Lab, CT Scan, Digital x-Ray,
Teleradiologi, Mamografi, ScanUltra Anografi, Pemeriksaan Fluroskopis,
Densitometri Mineral Tulang), layanan Laboratorium dan spesialis lainnya.
2.
Visi
Misi Rumah Sakit Siloam
a. Visi
1. Berkualitas
internasional
2. Menjangkau
seluruh lapisan masyarakat
3. Memiliki
jaringan luas
4. Melayani
dengan belas kasih dari Tuhan
b. Misi
Pilihan terpercaya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dan penelitian yang
holistik, dan bertaraf internasional.
3.
Gambaran
Umum Ruang Rawat Inap RS Siloam Palembang
B.
Analisa
Univariat
Dari
penyebaran angket terhadap 43 responden diperoleh hasil penelitian berupa
deskripsi karakteristik responden yaitu lansia yang dirawat di Rumah Sakit
Siloam Sriwijaya Palembang dengan
diagnosa medis hipertensi yang meliputi : usia, jenis kelamin, dan riwayat
hipertensi. Selanjutnya distribusi responden untuk gambaran gaya hidup
responden berdasarkan stress, aktivitas fisik, kebiasaan minum kopi, kebiasaan
merokok, dan pola makan dan kategori hipertensi yang diderita yang disajikan
sebagai berikut :
1.
Karakteristik
Responden
a.
Usia
Responden
Tabel
5.1
Distribusi
Rata-Rata Menurut Usia Responden
Di
Ruang Rawat Inap RS Siloam Sriwijaya Palembang
Variabel
|
Min
|
Max
|
Mean
|
SD
|
Usia
|
50
|
80
|
62,3
|
6,401
|
Berdasarkan tabel 5.1 didapatkan
rata-rata usia responden pada penelitian ini yaitu 62,3 tahun dengan besarnya
simpangan baku 6,401. Usia terendah adalah 50 tahun dan usia tertinggi 80
tahun.
b.
Jenis
Kelamin Responden
Tabel
5.2
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Di
RS Siloam Palembang
Jenis kelamin
|
F
|
%
|
Laki-laki
|
22
|
51,2
|
Perempuan
|
21
|
48,8
|
Total
|
43
|
100
|
Berdasarkan
tabel 5.2 diatas bahwa jenis kelamin responden yang terbesar dalam penelitian
ini yaitu laki-laki sebanyak 22 responden (51,2%) sedangkan perempuan sebanyak 21
responden (48,8%). Dengan demikian maka sebagian besar responden dalam
penelitian ini adalah berjenis kelamin laki-laki.
c.
Riwayat
Hipertensi
Tabel
5.3
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Hipertensi Di RS Siloam Palembang
Riwayat Hipertensi
|
F
|
%
|
Ada
|
27
|
62,8
|
Tidak
ada
|
16
|
37,2
|
Total
|
43
|
100
|
Berdasarkan
tabel 5.3 diatas bahwa karakteristik responden berdasarkan riwayat hipertensi
yang terbanyak dalam penelitian ini yaitu ada riwayat hipertensi sebanyak 27
responden (62,8%) dan tidak ada riwayat hipertensi sebanyak 16 responden (37,2%).
Maka sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki riwayat hipertensi.
d.
Stress
Tabel
5.4
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Stress
Di
RS Siloam Palembang
Stress
|
F
|
%
|
Tidak
Stress
|
40
|
93,0
|
Stress
|
3
|
7,0
|
Total
|
43
|
100
|
Berdasarkan
tabel 5.4 diatas bahwa responden yang tidak mengalami stress sebanyak 40 responden
93,0%. Sedangkan yang mengalami stress sebanyak 3 responden atau 7,0%. Dengan
demikian sebagian besar responden tidak mengalami stress.
e.
Aktivitas
Fisik
Tabel
5.5
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Aktivitas Fisik
Di
RS Siloam Palembang
Jenis Aktivitas
|
F
|
%
|
Aktivitas
Ringan
|
25
|
58,1
|
Aktivitas
Sedang
|
18
|
41,9
|
Total
|
43
|
100
|
Berdasarkan
tabel 5.5 diatas bahwa responden yang masih melakukan aktivitas ringan sebanyak
25 responden 58,1%. Sedangkan yang beraktivitas sedang sebanyak 18 responden
atau 41,9%. Dengan demikian sebagian besar responden melakukan aktivitas ringan.
f.
Pola
Makan
Tabel
5.6
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Pola Makan
Di
RS Siloam Palembang
Pola Makan
|
F
|
%
|
Baik
|
22
|
51,2
|
Tidak
baik
|
21
|
48,8
|
Total
|
43
|
100
|
Berdasarkan
tabel 5.6 diatas bahwa responden dengan pola makan yang baik sebanyak 22
responden 51,2%. Sedangkan yang memiliki pola makan tidak baik sebanyak 21
responden atau 48,8%. Dengan demikian sebagian besar responden memiliki pola
makan yang baik.
g.
Kebiasaan
Minum Kopi
Tabel
5.7
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan Minum Kopi Di RS Siloam Palembang
Kebiasaan Minum Kopi
|
F
|
%
|
Bukan
Peminum
|
35
|
81,4
|
Peminum
Kopi
|
8
|
18,8
|
Total
|
43
|
100
|
Berdasarkan
tabel 5.7 diatas bahwa responden yang bukan peminum kopi sebanyak 35 responden 81,4%.
Sedangkan yang peminum kopi sebanyak 8 responden atau 18,8%. Dengan demikian
sebagian besar responden adalah bukan peminum kopi.
h.
Kebiasaan
Merokok
Tabel
5.8
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok
Di
RS Siloam Palembang
Kebiasaan Merokok
|
F
|
%
|
Tidak
Merokok
|
21
|
48,8
|
Mantan
Perokok
|
6
|
14,0
|
Merokok
|
16
|
37,2
|
Total
|
43
|
100
|
Berdasarkan
tabel 5.8 diatas bahwa responden yang tidak merokok sebanyak 21 responden
48,8%. Sedangkan yang mantan perokok sebanyak 6 responden atau 14,0%, sedangkan
yang merokok sebanyak 16 orang atau 37,2%. Dengan demikian sebagian besar
responden tidak merokok.
i.
Hipertensi
Tabel
5.9
Distribusi
Frekuensi Responden Berdasarkan Hipertensi
Di
RS Siloam Palembang
Kebiasaan Merokok
|
F
|
%
|
Hipertensi
|
24
|
55,8
|
Tidak
Hipertensi
|
19
|
44,2
|
Total
|
43
|
100
|
Berdasarkan
tabel 5.9 diatas bahwa responden dengan penyakit hipertensi sebanyak 24
responden 55,8%. Sedangkan yang tidak mengelami hipertensi sebanyak 19
responden atau 44,2%. Dengan demikian sebagian besar responden mengalami
hipertensi.
C.
Analisa
Bivariat
Analisa
bivariat digunakan untuk menemukan jawaban dari hipotesis yang telah ditegakkan
yaitu untuk melihat hubungan variabel dependen dengan variabel independen. Untuk
mengidentifikasi hubungan gaya hidup pada lansia dengan penyakit hipertensi di
Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang digunakan
Uji Chi square dengan batas nilai
kemaknaan α = 0,05.
1.
Hubungan
Stress dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.10
Distribusi Hubungan Stress dengan Penyakit
Hipertensi pada Lansia di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang Tahun 2017
Pola Stress
|
Hipertensi Lansia
|
OR
95%CI
|
Nilai P value
|
|||||
Hipertensi
|
Tidak Hipertensi
|
Total
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
N
|
%
|
2,70
|
0,575
|
|
Tidak
Stress
|
23
|
57,5
|
17
|
42,5
|
40
|
100,0
|
||
Stress
|
1
|
33,3
|
2
|
66,7
|
3
|
100,0
|
||
Total
|
24
|
55,8
|
19
|
44,2
|
43
|
100,0
|
Berdasarkan analisis hubungan antara pola stress dengan hipertensi
lansia diketahui bahwa dari 40 responden yang tidak mengalami stress sebanyak 23
responden atau 57,5% dengan mengalami hipertensi dan dari 3 responden yang mengelami
stress sebanyak 1 responden atau 33,3%
dengan penyakit hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan
nilai p (value) = 0,575 lebih besar dari
α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara stress
dengan hipertensi lansia dan dari hasil
analisis diperoleh nilai OR = 2,7 artinya tingkat stress lansia mempunyai
peluang 2,7 kali untuk terjadinya hipertensi lansia dibandingkan dengan lansia
yang tidak stress.
2.
Hubungan
Aktivitas Fisik dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.11
Distribusi Hubungan Aktivitas Fisik dengan Hipertensi
di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang
Tahun 2017
Aktivitas
Fisik
|
Hipertensi
Lansia
|
OR
95%CI
|
Nilai
P value
|
|||||
Hipertensi
|
Tidak
Hipertensi
|
Total
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
7,846
|
0,002
|
|
Aktivitas ringan
|
19
|
76,0
|
6
|
24,0
|
25
|
100,0
|
||
Aktivitas sedang
|
5
|
27,8
|
13
|
72,2
|
18
|
100,0
|
||
Total
|
24
|
55,8
|
19
|
44,2
|
43
|
100,0
|
Berdasarkan analisis hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi
diketahui bahwa dari 25 responden yang melakukan aktivitas ringan, sebanyak 19 responden atau 76,0% mengelami hipertensi dan dari 18 responden
yang melakukan aktivitas sedang, ada sebanyak 5 responden atau 27,8% yang mengelami
hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan
nilai p (value) = 0,022 lebih kecil dari
α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara aktivitas
fisik dengan hipertensi lansia dan dari
hasil analisis diperoleh nilai OR = 4,33 artinya aktivitas lansia mempunyai
peluang 4,3 kali untuk terjadinya hipertensi lansia dibandingkan dengan lansia
yang tidak beraktivitas atau beraktivitas ringan.
3.
Hubungan Pola Makan dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.12
Distribusi Hubungan Pola Makan dengan
Hipertensi di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang Tahun 2017
Pola
Makan
|
Hipertensi
Lansia
|
OR
95%CI
|
Nilai
P value
|
|||||
Hipertensi
|
Tidak
Hipertensi
|
Total
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
4,33
|
0,022
|
|
Baik
|
16
|
72,7
|
6
|
27,3
|
22
|
100,0
|
||
Tidak Baik
|
8
|
38,1
|
13
|
61,9
|
21
|
100,0
|
||
Total
|
24
|
55,8
|
19
|
44,2
|
43
|
100,0
|
Berdasarkan analisis hubungan antara pola makan dengan
hipertensi diketahui bahwa dari 22 responden yang memiliki pola makan baik, ada sebanyak 16 responden atau 72,7% yang mengalami hipertensi dan dari 21 responden
yang memiliki pola makan baik, ada sebanyak 8 responden atau 38,1% yang mengalami
hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan
nilai p (value) = 0,022 lebih kecil dari
α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pola
makan dengan hipertensi lansia dan dari
hasil analisis diperoleh nilai OR = 4,3 artinya pola makan lansia mempunyai
peluang 4,3 kali untuk terjadinya hipertensi lansia dibandingkan dengan lansia
yang tidak stress.
4.
Hubungan Kebiasaan Minum Kopi dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.12
Distribusi Hubungan Kebiasaan Minum Kopi
dengan Hipertensi
di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya
Palembang Tahun 2017
Kebiasaan
Minum Kopi
|
Hipertensi
Lansia
|
OR
95%CI
|
Nilai
P value
|
|||||
Hipertensi
|
Tidak
Hipertensi
|
Total
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
10,615
|
0,033
|
|
Tidak minum kopi
|
23
|
63,9
|
13
|
36,1
|
36
|
100,0
|
||
Minum Kopi
|
1
|
14,3
|
6
|
85,7
|
7
|
100,0
|
||
Total
|
24
|
55,8
|
19
|
44,2
|
43
|
100,0
|
Berdasarkan analisis hubungan antara kebiasaan minum kopi
dengan hipertensi diketahui bahwa dari 36 responden yang tidak minum kopi,
ada sebanyak 23 responden atau
63,9% yang mengalami hipertensi dan dari
7 responden yang minum kopi, ada sebanyak 1 responden atau 14,3% yang mengalami
hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan
nilai p (value) = 0,033 lebih kecil dari
α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara
kebiasaan minum kopi dengan hipertensi lansia dan dari hasil analisis diperoleh nilai OR = 10,615
artinya kebiasaan minum kopi lansia mempunyai peluang 10,615 kali untuk terjadinya
hipertensi lansia dibandingkan dengan lansia yang tidak minum kopi.
5.
Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Hipertensi Lansia
Tabel 5.12
Distribusi Hubungan Kebiasaan Merokok
dengan Hipertensi
di Rumah Sakit Siloam Sriwijaya
Palembang Tahun 2017
Kebiasaan
Merokok
|
Hipertensi
Lansia
|
OR
95%CI
|
Nilai
P value
|
|||||
Hipertensi
|
Tidak
Hipertensi
|
Total
|
||||||
n
|
%
|
n
|
%
|
n
|
%
|
-
|
0,003
|
|
Tidak merokok
|
17
|
81,0
|
4
|
19,0
|
21
|
100,0
|
||
Mantan Perokok
|
3
|
50,0
|
3
|
50,0
|
6
|
100,0
|
||
Perokok
|
4
|
25,0
|
12
|
75,0
|
16
|
100,0
|
||
Total
|
24
|
55,8
|
19
|
44,2
|
43
|
100,0
|
Berdasarkan analisis hubungan antara kebiasaan merokok dengan
hipertensi diketahui bahwa dari 21 responden yang tidak merokok, ada sebanyak 17 responden atau 81,0% yang mengalami hipertensi dan dari 6
responden yang mantan perokok, ada sebanyak 3 responden atau 50,0% yang
mengalami hipertensi. Dari 16 responden yang merokok terdapat 4 responden
(25,0%) yang menderita hipertensi.
Hasil uji chi square didapatkan
nilai p (value) = 0,003 lebih kecil dari
α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan
merokok dengan hipertensi lansia.
B.
Pembahasan
1. Analisis
Univariat
a. Usia
Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata usia responden
pada penelitian ini yaitu 62,3 tahun dimana usia terendah responden adalah 50
tahun dan usia tertinggi 80 tahun.
Menurut Prasetyo (2010), usia merupakan variabel yang paling
penting dalam mempengaruhi persepsi setiap individu. Kategori Umur Menurut
Depkes (2009) : masa balita usia 0 – 5 tahun, masa kanak-kanak usia 5 – 11
tahun, masa remaja awal usia 12 – 16 tahun, masa remaja akhir usia 17 – 25
tahun, masa dewasa muda usia 26- 35 tahun, masa dewasa akhir usia 36- 45 tahun,
masa lansia awal usia 46- 55 tahun, masa lansia akhir usia 56 – 65 tahun, masa
manula usia 65 sampai atas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan
lanjut usia menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Usia mempunyai peranan yang penting
dalam mempersepsikan dan mengekspresikan suatu masalah berdasarkan sudut
pandang pengalaman hidup yang sudah dialaminya.
Pada usia 45-54 tahun kejadian hipetensi pada pria sebesar
37,1% dan pada wanita 35,2%, pada usia 55-64 pevalensi meningkat menjadi 54,0%
pada pria dan 53,3%paa wanita begitu seterusnya sampai usia 75 tahun ketas
(CDC, 2012). Berdasarkan data dari American Heart Association, sekitar 80% dari
orang yang meninggal akibat penyakit kadiovaskular merupakan orang berusia 65
tahun ke atas (UCSF, 2012).
Sejalan dengan penelitian
Pertambahan usia menyebabkan adanya perubahan fisiologis
dalam tubuh seperti penebalan dinding arteri akibat adanya penumpukan zat kolagen
pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan mengalami penyempitan dan
menjadi kaku dimulai saat usia 45 tahun. Selain itu juga terjadi peningkatan
resistensi perifer dan aktivitas simpatik serta kurangnya sensitivitas
baroreseptor (pengatur tekanan darah) dan peran ginjal aliran darah ginjal dan
laju filtrasi glomerulus menurun.
b. Jenis
Kelamin
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin responden yang terbesar dalam
penelitian ini yaitu laki-laki sebanyak 22 responden (51,2%) sedangkan
perempuan sebanyak 21 responden (48,8%).
Prevalensi
terjadinya hipertensi pada pria hampir sama dengan wanita. Namun wanita
terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum
mengalami menopause dilindungi oleh
hormon
esterogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein
(HDL).
Menurut
penelitian dari Sapitri tahun 2016, menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis
kelamin dengan kejadian hipertensi. Jenis kelamin terbanyak pada laki-laki
yaitu 56,4%.
c. Riwayat
Hipertensi
karakteristik
responden berdasarkan riwayat hipertensi yang terbanyak dalam penelitian ini
yaitu ada riwayat hipertensi sebanyak 27 responden (62,8%) dan tidak ada
riwayat hipertensi sebanyak 16 responden (37,2%)
Adanya
faktor genetik pada keluarga dapat menyebabkan risiko untuk menderita penyakit
hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraselular
dan rendahnya rasio antara potassium terhadap sodium. Individu orang tua menderita
hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi
daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain
itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam
keluarga.
d. Stress
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa responden yang tidak mengalami stress sebanyak 40
responden 93,0%. Sedangkan yang mengalami stress sebanyak 3 responden atau
7,0%.
Stress
diyakini memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga melalui aktivitas syaraf
simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Disamping itu
juga dapat merangsang kelenjar
anak
ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat
serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stress
berlangsung cukup lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga
timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang akan muncul
berupa hipertensi atau penyakit mag. Stress dapat meningkatkan tekanan darah
untuk sementara waktu dan bila stress sudah hilang tekanan darah bisa normal
kembali.
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sapitri tahun 2014 menunjukkan bahwa orang yang
memiliki riwayat stress mempunyai risiko mendertia hipertensi sebesar 0,19 kali
dibanding dengan yang tidak memiliki riwayat stress.
e. Aktivitas
Fisik
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa responden yang masih melakukan aktivitas ringan
sebanyak 25 responden 58,1%. Sedangkan yang beraktivitas sedang sebanyak 18
responden atau 41,9%.
Aktivitas
fisik yang mampu membakar kalori 800-1000 kalori akan meningkatkan high density
lipoprotein (HDL) sebesar 4.4 mmHg (Khomsan, 2004). Sebagian besar studi
epidimiologi dan studi intervensi olahraga memberikan dukunga tegas bahwa
peningkatan aktivitas fisik, durasi yang cukup, intensitas dan jenis sesuai
mampu menurunkan tekanan darah secara signifikan, baik dengan tersendiri maupun
sebagai bagian dari terapi pengobatan. Aktivitas fisik yang baik dan rutin akan
melatih otot jantung dan tahanan perifer yang dapat mencegah peningkatan
tekanan darah. Disamping itu, olahraga yang teratur dapat merangsang pelepasan
hormon endorfin yang menimbulkan efek euphoria dan relaksasi otot sehingga
tekanan darah tidak meningkat.
Penelitian
dari Framingham study menyatakan bahwa aktivitas fisik sedang dan berat dapat
mencegah kejadian stroke. Selain itu, meta analisis yang dilakukan juga
menyebutkan hal yang sama. Hasil analisis
pertama
menyebutkan bahwa berjalan kaki menurunkan tekanan darah pada orangdewasa
sekitar 2%. Analisis kedua pada 54 randomized controlled trial (RCT), aktivitas
aerobik menurunkan tekanan darah rata-rata TDS 4 mmHg dan 2 mmHg TDD pada
pasien dengan dan tanpa hipertensi. Peningkatan intensitas aktivitas fisik,
30-45 menit per hari penting dilakukan sebagai strategi untuk pencegahan dan
pengelolaan
hipertensi.
f. Pola
Makan
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan pola makan yang baik sebanyak
22 responden 51,2%. Sedangkan yang memiliki pola makan tidak baik sebanyak 21
responden atau 48,8%.
Menurut
(Hidayat, 2007) pola makan adalah perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya
akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan, jenis makanan, frekuensi, cara
pengolahan, dan pemilihan makanan.
Didukung
oleh Neil (2004) bahwa penderita hipertensi lanjut usia mungkin tidak patuh
dengan penatalaksanaan diet pola makan karena tidak mengetahui tujuan dari
penatalaksanaan atau mungkin melupakan begitu saja atau sudah mengerti
instruksi yang diberikan tetapi tidak dilaksanakan.
Menurut
Witjaksono (2009) bahwa peran serta keluarga atau kelompok sebagai pendukung
terbukti berhasil mengubah gaya hidup pola makan seseorang untuk mencegah
hipertensi. Soesetyo Boedi (2002) juga berpendapat bahwa kegagalan membangun
hubungan komunikasi yang baik menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pola makan
dan kontrol yang tak memuaskan terhadap hipertensi.
Hasil
penelitian Anisah (2011), menunjukkan bahwa sebagian besar responden 70% (14
responden) mempuyai pola makan yang tidak sesuai diet hipertensi dan hampir
setengah dari responden 30% (6 responden) mempunyai pola makan yang sesuai diet
hipertensi.
g. Kebiasaan
Minum Kopi
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa responden yang bukan peminum kopi sebanyak 35
responden 81,4%. Sedangkan yang peminum kopi sebanyak 8 responden atau
18,8%.
Konsumsi
kafein secara berlebihan yang terdapat dalam kopi, teh, dan cola akan
meningkatkan aktifitas syaraf simpatis karena dapat merangsang sekresi Corticotropin Releasing Hormone (CRH)
yang berujung pada peningkatan tekanan darah. Sementara kafein dapat
menstimulasi jantung untuk bekerja lebih cepat sehingga mengalirkan lebih
banyak cairan pada setiap detiknya.
h. Kebiasaan
Merokok
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa responden yang tidak merokok sebanyak 21 responden
48,8%. Sedangkan yang mantan perokok sebanyak 6 responden atau 14,0%, sedangkan
yang merokok sebanyak 16 orang atau 37,2%.
Hubungan
antara merokok dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler
telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya merokok, risiko akibat merokok
terbesar tergantung pada jumlah rokok
yang
dihisap per hari. Seseorang yang merokok lebih dari satu pak (15 batang) rokok
sehari memiliki risiko 2 kali lebih rentan untuk menderita hipertensi dan
penyakit kardiovaskuler daripada mereka yang tidak merokok.
2. Analisis
Bivariat
a. Hubungan
Stress dengan Hipertensi
diketahui
bahwa dari 40 responden yang tidak mengalami stress sebanyak 23 responden atau
57,5% dengan mengalami hipertensi dan dari 3 responden yang mengelami stress
sebanyak 1 responden atau 33,3% dengan
penyakit hipertensi.
Hasil
uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,575 lebih besar dari α = 0,05
sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara stress
dengan hipertensi lansia
b. Hubungan
Aktivitas fisik dengan Hipertensi
hubungan
antara aktivitas fisik dengan hipertensi diketahui bahwa dari 25 responden yang
melakukan aktivitas ringan, sebanyak 19
responden atau 76,0% mengelami
hipertensi dan dari 18 responden yang melakukan aktivitas sedang, ada sebanyak
5 responden atau 27,8% yang mengelami hipertensi.
Hasil
uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,022 lebih kecil dari α = 0,05
sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik
dengan hipertensi lansia
c. Hubungan
Pola makan dengan Hipertensi
hubungan
antara pola makan dengan hipertensi diketahui bahwa dari 22 responden yang
memiliki pola makan baik, ada sebanyak
16 responden atau 72,7% yang mengalami
hipertensi dan dari 21 responden yang memiliki pola makan baik, ada sebanyak 8
responden atau 38,1% yang mengalami hipertensi.
Hasil
uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,022 lebih kecil dari α = 0,05
sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pola makan
dengan hipertensi lansia
d. Hubungan
Kebiasaan Minum Kopi dengan Hipertensi
hubungan
antara kebiasaan minum kopi dengan hipertensi diketahui bahwa dari 36 responden
yang tidak minum kopi, ada sebanyak 23
responden atau 63,9% yang mengalami
hipertensi dan dari 7 responden yang minum kopi, ada sebanyak 1 responden atau
14,3% yang mengalami hipertensi.
Hasil
uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,033 lebih kecil dari α = 0,05
sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan minum
kopi dengan hipertensi lansia.
e. Hubungan
Kebiasaan Merokok dengan Hipertensi
hubungan
antara kebiasaan merokok dengan hipertensi diketahui bahwa dari 21 responden
yang tidak merokok, ada sebanyak 17
responden atau 81,0% yang mengalami
hipertensi dan dari 6 responden yang mantan perokok, ada sebanyak 3 responden
atau 50,0% yang mengalami hipertensi. Dari 16 responden yang merokok terdapat 4
responden (25,0%) yang menderita hipertensi.
Hasil
uji chi square didapatkan nilai p (value) = 0,003 lebih kecil dari α = 0,05
sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan
merokok dengan hipertensi lansia.
C.
Keterbatasan
Penelitian
Adapun
keterbatasan penelitian ini adalah
1. Desain
penelitian hanya menggunakan cross sectional sehingga besar resiko
masing-masing variabel bebas tidak dapat diketahui secara kuat.
2. Dalam
meneliti pola makan responden menggunakan kuesioner yang waktunya sesaat saja
sehingga besar kemungkinan dapat mengurangi keakuratan hasil penelitian.
3. Untuk
kuesioner aktivitas fisik peneliti hanya menggunakan dua kriteria saja yaitu
aktivitas sedang dan ringan saja hal ini
mengingat batas kemampuan aktivitas lansia yang diteliti. Sehingga untuk
mengetahui aktivitas fisik yang sebenarnya mungkin kurang akurat.
0 Reviews:
Posting Komentar
Silahkan tinggal pesan, dilarang SPAM, SARA dan Melanggar Hukum