Faktor-faktor yang berhubungan dengan Safe Staffing di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang”
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Rumah sakit merupakan institusi yang mengemban tugas
berat di bidang pelayanan kesehatan, dimana rumah sakit dituntut untuk
memberikan pelayanan yang bermutu yang dapat memuaskan konsumennya dan disisi
lain harus mampu memberikan kesejahteraan dan keamanan kepada para karyawannya.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (UU No.4 Tahun 2009).
Mutu Pelayanan Rumah Sakit merupakan derajat kesempurnaan pelayanan
Rumah Sakit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat / konsumen akan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan profesi
dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di Rumah Sakit secara
wajar, efisien dan efektif serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai
norma, etika, hukum dan sosio budaya, dengan memperhatikan keterbatasan dan
kemampuan pemerintah dan masyarakat sebagai sumber konsumen (Hasanah, 2012)
Pengaturan staf, pemberian beban kerja, lembur dan
kondisi lingkungan tentunya harus mampu menciptakan kualitas pelayanan rumah
sakit yang baik. Rumah sakit selalu
mengedepankan peningkatan mutu pelayanan melalui pengembangan program
keselamatan dan lingkungan kerja untuk membangun budaya keselamatan di kalangan
perawat (Hughes, 2008).
Pelayanan kesehatan yang komprehensif adalah berbagai bentuk pelayanan yang
diberikan kepada klien oleh suatu tim multi disiplin sesuai kebutuhan pasien.
SDM di rumah sakit menjadi hal penting yang mendukung berkembangnya rumah sakit
dan menjadi tolak ukur penting dalam penilaian pengembangan mutu pelayanan di
rumah sakit (Fera, 2015).
Sudah seharusnya apabila pihak manajemen rumah sakit memiliki sumber daya
yang tepat (baik keuangan dan manusia). Salah satu upaya menciptakan SDM yang
berkualitas adalah dengan merekrut dan melakukan pemeliharaan tenaga kerja yang
profesional dibidang perawatan kesehatan secara efektif karena hal ini
berpengaruh terhadap kualitas sistem pelayanan kesehatan yang diberikan.
Membangun lingkungan praktik positif di sektor kesehatan menjadi hal yang
sangat penting karena dapat menjamin kesejahteraan keselamatan pekerja dan juga
kesehatan pasien. Semua pemangku kepentingan sektor kesehatan, baik itu
pengusaha atau karyawan, swasta atau publik, pemerintah atau non-pemerintah,
masing-masing memiliki peran yang spesifik peran juga tanggung jawab untuk
membina lingkungan praktik positif. Praktek Lingkungan positif adalah
pengaturan yang mendukung keunggulan dan pekerjaan yang layak. Secara khusus,
mereka berusaha untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pribadi staf,
mendukung kualitas perawatan pasien dan meningkatkan motivasi, produktivitas
dan kinerja individu dan organisasi (ICN, 2004)
Kohn, Corrigan dan Donaldson (2000) menunjukkan bahwa sistem
perawatan kesehatan akan menimbulkan masalah yang diakibatkan dari proses yang
tidak memadai, dukungan sumber daya manusia yang tidak memadai dan sistem yang
tidak mempromosikan praktik yang aman. Diperkirakan bahwa kurang lebih 98.000
orang per tahun meninggal akibat kesalahan medis yang terjadi di rumah sakit, angka
ini adalah lebih besar dibanding dari angka kematian akibat kecelakaan
kendaraan bermotor, kanker payudara atau AIDS (Salim, 2015)
Safe
Staffing berarti bahwa jumlah staf yang berkerjasama sesuai dengan
tingkat keahliannya, tersedia setiap saat untuk memastikan bahwa kebutuhan
perawatan pasien terpenuhi dan kondisi kerja staf yang terbebas dari bahaya (hazardfree) dapat dipertahankan. Pengelolaan Safe Staffing mencerminkan dari kualitas
perawatan pasien, kehidupan kerja yang aman seorang perawat. Praktik Safe Staffing menggabungkan seluruh
kegiatan keperawatan dan berbagai tingkat kemampuan persiapan perawat,
kompetensi, pengalaman, pengembangan kesehatan pribadi perawat. Dukungan dari
manajemen keperawatan di tingkat operasional serta eksekutif seperti lingkungan
kontekstual, dukungan layanan teknologi dari fasilitas yang tersedia; serta
penyediaan perlindungan dari pihak yang berwenang (whistleblower) (ICN, 2006). Hal ini berarti bahwa safe staffing adalah bagaimana menciptakan kondisi kerja bagi
perawat yang aman yang dindikasikan dengan kecukupan jumlah staf perawat yang
sesuai dengan kompetensi, dan mampu bekerja
sama dalam satu teamwork sehingga dapat
memberikan keperawatan pasien yang aman.
Program kesehatan dan
keselamatan staf rumah sakit penting untuk menjaga kesehatan, kepuasan, dan
produktifitas staf. Keselamatan staf juga menjadi bagian dari program mutu dan
keselamatan pasien rumah sakit. Bagaimana rumah sakit memberi orientasi dan melatih
staf, menyediakan tempat kerja yang aman, memelihara peralatan biomedis dan
peralatan lainnya, mencegah atau mengendalikan infeksi yang terkait pelayanan
kesehatan, dan berbagai faktor lain yang menentukan kesehatan dan kesejahteraan
staf (Taufik, 2013)
Safe
staffing berarti bahwa jumlah staf yang terkombinasi sesuai dengan
tingkat keahliannya, tersedia setiap saat untuk memastikan bahwa kebutuhan
perawatan pasien terpenuhi dan kondisi kerja staf yang terbebas dari bahaya (hazardfree) dapat dipertahankan (ICN,
2006).
Tantangan utama yang
dihadapi oleh manajemen Rumah sakit adalah menetapkan beban kerja yang
mengoptimalkan produktivitas tanpa mengorbankan kesejahteraan dan keselamatan
perawat atau pasien. Karena pengukuran beban kerja yang saat ini diterapkan
belum sesuai dengan alat pengukuran beban kerja yang dilihat dari aspek
keahlian dan kompensasi yang diberikan kepada perawat (ICN, 2004).
Beban kerja yang
beraneka raga, yang sering dialami oleh perawat diantaranya adalah kerja lembur
yang terus menerus, pembagian shift kerja yang tidak menentu, banyaknya jumlah
pasien yang harus ditangani. Menurut Sheward, dkk, (2005) perawat yang bekerja lembur terus menerus atau
bekerja tanpa dukungan yang memadai cenderung untuk banyak tidak masuk kerja
dan kondisi kesehatan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah perawat
berhubungan dengan kondisi kesehatan perawat.
Lingkungan kerja yang
positif bagi rumah sakit mampu mempengaruhi, mendorong dan memberikan motivasi
bagi seseorang untuk bekerja secara optimal sesuai dengan profesinya sehingga
tercapai kepuasan dalam bekerja. Lingkungan kerja yang positif menurut International Council of Nursing (ICN)
ditandai oleh 1) inovasi kerangka kebijakan yang berfokus pada rekrutmen dan
retensi; 2) strategi pendidikan dan pelatihan berkelanjutan; 3) kompensasi
pegawai yang memadai; 4) adanya program-program penghargaan dan pengakuan (recognition); 5) sarana dan peralatan mencukupi;
dan 6) lingkungan kerja yang aman (Edy, 2010).
Hasil analisis
lingkungan kerja perawat oleh WHO (2003) di beberapa negara Asia, termasuk
Indonesia, menemukan bahwa lingkungan kerja perawat belum optimal seperti pendapatan
perawat yang rendah, fasilitas kesehatan yang buruk dan tidak aman bagi staf
perawat, rasio perawat pasien yang tidak optimal, hubungan tim kerja yang perlu
penguatan, beberapa perawat mengalami kekerasan fisik, kurang perlindungan dalam
pekerjaan dan beberapa fasilitas yang tidak memuaskan.
Kompleksitas pasien
dapat berupa pasien lansia, pasien dengan sakit kronis, dan
pasien fisiologis tidak stabil, serta orang-orang yang menjalani pengobatan
jangka panjang atau kompleks, berisiko lebih besar mengalami berbagai jenis
efek samping dalam perawatan.
Dalam sektor rumah
sakit, tingkat keterampilan dalam team work adalah bahan penting dari perawatan
yang optimal. Pentingnya membentuk tim
kerja yang terdiri dari staf perawat profesional dan berpendidikan tinggi
menunjukkan semakin baik hasil perawatan kepada pasien. Staf campuran merupakan implementasi dari variasi safe staffing yang tergantung pada keadaan setempat. Perawat berkolaborasi dengan berbagai profesional dan non petugas kesehatan, terutama mereka yang bekerja dalam komunitas (ICN 2006).
menunjukkan semakin baik hasil perawatan kepada pasien. Staf campuran merupakan implementasi dari variasi safe staffing yang tergantung pada keadaan setempat. Perawat berkolaborasi dengan berbagai profesional dan non petugas kesehatan, terutama mereka yang bekerja dalam komunitas (ICN 2006).
Pemilihan model
pengiorganisasian yang tepat dalam pemberian pelayanan kesehatan pada tiap unit
kerja atau organisasi bergantung kepada keterampilan dan keahlian staf,
keberadaan perawat professional yang teregister, sumber daya ekonomi
organisasi, karakteristik pasien, dan kompleksitas tugas-tugas yang harus
diselesaikan (Gillies, 1995).
Meskipun pentingnya
biaya keperawatan dalam anggaran rumah sakit, penelitian secara empiris telah membuktikan
bahwa sangat kecil pengaruh dari perubahan staf perawat terhadap kinerja
keuangan rumah sakit. Biaya tenaga kerja yang meningkat bisa saja timbul dari penambahan
jumlah karyawan, upah lembur, atau biaya penyusunan tim kerja. Teori yang lain menyatakan
bahwa rumah sakit dapat mengatasi biaya tenaga kerja yang lebih tinggi dengan
mengubah unsur-unsur lain dari jasa layanan rumah sakit misalnya dengan cara meningkatkan
volume rawat jalan (Kristin, dkk. 2013).
Menurut ILO, setiap
tahun ada lebih dari 250 juta kecelakaan di tempat kerja dan lebih dari 160
juta pekerja menjadi sakit karena bahaya di tempat kerja. Terlebih lagi, 1,2
juta pekerja meninggal akibat kecelakaan dan sakit di tempat kerja. Angka menunjukkan,
biaya manusia dan sosial dari produksi terlalu tinggi (ILO, 2013).
Menurut WHO (2011),
beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia, ditemukan fakta perawat
yang bekerja di rumah sakit menjalani peningkatan beban kerja dan masih
mengalami kekurangan jumlah perawat.
Dari laporan yang
dibuat oleh The National Safety Council
(NSC), 41% petugas medis mengalami absenteism
(kemangkiran) yang diakibatkan oleh penyakit akibat kerja dan injury, angka ini
jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Survei yang
dilakukan terhadap 165 laboratoraoium klinis di Minnesota memperlihatkan bahwa
injury yang terbanyak adalah needle
sticks injury (63%) diikuti oleh kejadian lain seperti luka dan tergores
(21%). Selain itu pekerja di rumah sakit sering mengalami stres, yang merupakan
faktor predisposisi untuk mendapatkan kecelakaan. Ketegangan otot dan keseleo
merupakan representasi dari low back
injury yang banyak didapatkan dikalangan petugas rumah sakit (Ana, 2011).
Perawat Indonesia yang
berkerja diempat provinsi sebanyak 50,9% mengalami stres kerja, sering merasa
pusing, lelah tidak ada istirahat karena beban terlalu tinggi dan menyita
waktu, gaji rendah tanpa insentif yang memadahi. Perawat yang berkerja di rumah
sakit swasta dengan gaji yang lebih baik mengalami stres kerja yang lebih besar
dibandingkan perawat yang berkerja di rumah sakit pemerintah dengan penghasilan
yang lebih rendah (PPNI dalam Urip, 2015)
Hasil penelitian di
Puskesmas terpencil di 10 provinsi, 20 Kabupaten dan 60 Puskesmas oleh Depkes
dan UI (2005), menunjukkan bahwa; 69%
menyatakan Puskesmas tidak mempunyai sistem penghargaan bagi perawat; 78,8%
melaksanakan tugas petugas kebersihan; 63,6%
melakukan tugas administrasi. Lebih dari 90% perawat melakukan tugas non
keperawatan (menetapkan diagnosis penyakit, membuat resep obat, melakukan
tindakan pengobatan), sementara hanya 50% melakukan asuhan keperawatan sesuai
dengan peran dan fungsinya (Puspita, 2015).
Hughes (2008)
menyatakan bahwa langkah awal memperbaiki pelayanan yang berkualitas adalah
keselamatan, sedang kunci dari pelayanan bermutu dan aman adalah membangun
budaya keselamatan pasien. Menurut Mitchell dalam Hughes (2008), perawat merupakan
kunci dalam pengembangan mutu melalui keselamatan pasien. Marquis dan Huston
(2006) menyatakan bahwa program pengembangan staf melalui pelatihan dan
pendidikan merupakan program yang efektif untuk meningkatkan produktifitas bagi
perawat Dukungan yang adekuat dalam bentuk pelatihan professional dan
pengembangan pengetahuan merupakan salah satu upaya untuk menciptakan
lingkungan kerja yang positif bagi perawat agar asuhan yang aman dapat
diberikan (ICN, 2006).
Di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang, berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh penulis di
salah satu instalasi rawat inap Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang dimana
jumlah tenaga disana dalam setiap shift berjumlah 6 orang dan harus memberikan pelayanan kepada
kurang lebih 40 pasien. Rasio jumlah tenaga keperawatan tersebut, apabila
dibandingkan dengan jumlah pasien masih belum memenuhi standar, sedangkan
standar rasio antara perawat dan pasien menurut .........................
adalah ........ hal ini berakibat terhadap meningkatnya beban kerja perawat, kelelahan
fisik dan emosional, melibatkan pengembangan konsep diri yang negatif, sikap
kerja yang negatif, dan hilangnya perhatian kepada keselamatan pasien.
Seperti misalnya pada saat observasi penulis Untuk itulah penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul, “Faktor-faktor
yang berhubungan dengan Safe Staffing
di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang”