Kamis, 06 Desember 2012

Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Efektivitas Kerja Karyawan Perusahaan Ichiko Palembang

Posted by with 3 comments
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang Masalah
Suatu organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan. Suatu ungkapan mulia yang mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan, hal ini dikarenakan posisi pemimpin dalam suatu organisasi berada pada posisi yang sangat penting.
Manajemen sumber daya manusia pada dasarnya merupakan langkah-langkah perencanaan, penarikan seleksi, pengembangan, pemeliharaan dan penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan baik individu maupun organisasional. Untuk itu diperlukan adanya suatu manajemen yang baik untuk mengatur orang tersebut secara efektif dan efisien, agar tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan dapat terwujud. Suatu perusahaan dapat maju atau hancur akibat dari kualitas dan tingkah laku manusia yang ada di dalam perusahaan tersebut.
Seorang  pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, keamanan, kwalitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan peranan kritis dalam membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam pengarahan adalah faktor penting dalam efektifitas manajer. Bila organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas–kualitas yang berhubungan dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menseleksi pemimpin-pemimpin efektif akan meningkat. Dan bila organisasi dapat mengidentifikasikan perilaku dan teknik-teknik kepemimpinan efektif, akan dicapai pengembangan efektifitas personalis dalam organisasi. Seseorang pemimpin selalu melayani bawahannya lebih baik dari bawahannya tersebut melayani dia. Pemimpin memadukan kebutuhan dari bawahannya dengan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhannya.
Dalam sebuah bisnis untuk menjadi sukses, memerlukan manajemen yang baik yang hanya dapat disampaikan oleh manajer berpengalaman yang baik. Namun, dalam dunia yang penuh persaingan pada saat ini, keterampilan manajemen dasar tidak cukup untuk meraih sebuah keberhasilan, diperlukan lebih dari hal tersebut. Oleh karena itu diperlukan Leadership Skill. Keterampilan kepemimpinan (Leadership Skill) yang baik dan efektif sangat penting untuk membangun, mendorong dan mempromosikan budaya dalam perusahaan yang kuat dan akhirnya mencapai kesuksesan. Sering kali, manajer disalahpahami untuk menjadi pemimpin yang, sebenarnya, adalah tidak benar. Seorang pemimpin dapat merupakan manajer, sedangkan tidak semua manajer memiliki jiwa pemimpin. Dengan demikian, keterampilan kepemimpinan diperlukan untuk memaksimalkan efisiensi dan mencapai tujuan organisasi.
Dalam perusahaan Ichiko Palembang yang merupakan perusahaan perdagangan barang-barang elektronik, tentunya efisiensi dan efektivitas kerja sangat penting untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan bisnis di bidang elektronik memerlukan biaya permodalan yang tidak sedikit dan cendrung memiliki resiko yang cukup besar seperti kerusakan peralatan elektronik, garansi sparepart yang harus diberikan kepada konsumen dan banyak lagi hal-hal lainnya. Oleh karena itu seorang pemimpin harus dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik, khususnya dalam menata manajemen di perusahaan ini. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik dan perusahaan dapat mencapai tujuannya secara optimal.
Organisasi merupakan suatu kumpulan orang-orang yang saling bekerjasama dengan memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Tujuan organisasi adalah tercapainya suatu tujuan dimana individu-individu tidak dapat mencapainya sendiri. Dengan adanya sekelompok orang yang bekerjasama secara kooperatif dan dikoordinasikan dapat mencapai hasil yang lebih dari pada dilakukan oleh satu orang. Dengan demikian tiang dasar dalam pengorganisasian yaitu prinsip pembagian kerja. Dalam mencapai tujuan organisasi banyak faktor yang mempengaruhinya diantaranya kualitas sumber daya manusia atau pegawai, metode kerja, lingkungan kerja dan fasilitas-fasilitas yang menunjang tercapainya tujuan.
Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan yaitu terwujudnya efektivitas kerja yang positif. Untuk mewujudkan efektivitas kerja yang positif tentunya bukan merupakan usaha yang mudah, karena dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : lingkungan kerja, tata ruang kantor, suasana kerja, gaya kepemimpinan dan komunikasi baik intern maupun ekstern dan lain sebagainya.
Apabila efektivitas kerja pegawai kurang optimal tentunya tujuan organisasi yang telah ditetapkan juga tidak akan dapat tercapai dengan baik. Hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian dari pihak manajerial terutama pimpinan instansi, agar dapat sedini mungkin mengantisipasi dan berupaya meningkatkan kualitas manajemen sumber daya manusia yang ada pada lembaga tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian lapangan mengenai Pengaruh kepemimpinan terhadap efektivitas kerja karyawan yang ada di perusahaan Ichiko Palembang dalam sebuah skripsi yang berjudul, “Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Efektivitas Kerja Karyawan Perusahaan Ichiko Palembang”.


FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA PENYAKIT JANTUNG KORONER DI RUANG GAWAT DARURAT RSUP MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG TAHUN 2012

Posted by with No comments


1.1 Latar Belakang

Penyakit tidak menular merupakan penyebab kematian yang utama saat ini. WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa 36 juta (63 %) dari total 57 juta kematian di dunia pada tahun 2014 disebabkan oleh penyakit tidak menular, yang meliputi penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker dan penyakit pernafasan kronis. Penyakit tidak menular tersebut, tidak hanya terjadi pada usia tua, tapi juga terjadi pada usia muda. Negara dengan tingkat ekonomi rendah hingga menengah, 29 % dari seluruh kematian pada usia kurang dari 60 tahun disebabkan oleh penyakit tidak menular, sedangkan di negara maju adalah sebanyak 13 %. Proporsi kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular pada orang-orang yang berusia dibawah 70 tahun, paling banyak disebabkan oleh penyakit kardiovaskular (39 %), diikuti kanker (27 %), kemudian penyakit pernafasan kronis dan penyakit tidak menular lainnya (30 %), dan yang terakhir adalah diabetes (4 %).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tidak lagi menghadapi double burden diseases, tetapi triple burden diseases. Maksudnya, penyakit menular masih menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan, munculnya penyakit menular lama (re-emerging diseases), timbulnya penyakit baru (new-emerging diseases), dan diperparah dengan penyakit tidak menular dengan kecenderungan yang semakin meningkat.
Penyakit jantung koroner atau disebut juga dengan penyakit arteri koroner terjadi bila pembuluh arteri koroner tersumbat atau menyempit karena endapan lipid atau lemak yang berada pada dinding arteri. Pengendapan ini terjadi secara bertahap dan perlahan-lahan. Pengendapan atau penumpukan ini disebut dengan aterosklerosis yang bisa juga terjadi pada pembuluh darah lainnya, tidak hanya pada arteri koroner.
Penelitian tentang faktor risiko penyakit jantung koroner dimulai pada tahun 1948 di Kota Frammingham, yang dikenal dengan “Framingham Heart Study”, subyeknya adalah penduduk yang berusia 30-62 tahun sebanyak lima ribu orang lebih. Para ilmuan mencatat jenis kelamin, usia, beberapa parameter kimiawi darah, tekanan darah, dan kebiasaan hidup penduduk Framingham yang diperiksa secara rutin setiap 2 tahun. Tahun 1960-an, diketahuilah bahwa beberapa karakteristik pribadi, kondisi kesehatan dan kebiasaan hidup subyek penelitian merupakan faktorfaktor risiko kardiovaskular, istilah yang diungkapkan William Kannel sebagai kepala peneliti. Faktor risiko tersebut meliputi usia lanjut, jenis kelamin, riwayat penyakit, hiperkolesterol, hipertensi, diabetes mellitus dan kebiasaan merokok.  
Faktor risiko pada penyakit jantung koroner dapat dikelompokkan menjadi 2, berdasarkan bisa atau tidaknya dimodifikasi, faktor risiko yang bisa dimodifikasi (modifiable) antara lain obesitas, dislipidemia, hipertensi, diabetes mellitus, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan stres, faktor yang tidak bisa dimodifikasi (nonmodifiable)  antara lain adalah umur, jenis kelamin, riwayat penyakit keluarga, dan ras/etnis. Selain itu, faktor risiko penyakit jantung koroner juga ada yang digolongkan menjadi faktor risiko utama (merokok, hipertensi, kolesterol, diabetes mellitus dan alkohol) dan faktor risiko tambahan (obesitas, keturunan, aktivitas fisik, umur, jenis kelamin dan stres). )
Ras atau etnis sering dihubungkan dengan kejadian penyakit jantung koroner. Etnis minangkabau diduga memiliki risiko tinggi untuk terkena penyakit jantung koroner, hal ini karena kebiasaan etnis minangkabau dalam mengonsumsi sari kelapa atau santan. Sari kelapa atau santan mengandung lemak total atau lemak jenuh yang cukup tinggi, sehingga dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Namun
penelitian membuktikan hal lain, bahwa konsumsi lemak total atau lemak jenuh dari sari kelapa bukanlah faktor risiko terjadinya penyakit jantung, tapi asupan makanan hewani, protein total, makanan yang mengandung kolesterol dan kurangnya karbohidrat nabati menjadi faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Penelitian yang dilakukan oleh Yuliani, dkk. membuktikan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor yang berhubungan terhadap kejadian penyakit jantung koroner. Obesitas dapat menyebabkan aterosklerosis, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes mellitus tipe 2.
Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa faktor lain seperti riwayat penyakit keluarga, dislipidemia, hipertensi, dan diabetes mellitus merupakan faktor yang berperan terhadap kejadian penyakit jantung koroner. Faktor risiko tersebut diperparah dengan pola hidup yang tidak sehat, seperti merokok dan kurangnya aktivitas fisik. Faktor pengetahuan atau tingkat pendidikan juga berperan pada kejadian penyakit jantung koroner, hasil penelitian membuktikan bahwa orang dengan tingkat pengetahuan yang kurang baik mempunyai risiko 2,4 kali lebih besar terkena penyakit jantung koroner dibanding dengan orang dengan tingkat pengetahuan yang baik. Selain faktor risiko di atas, beberapa penelitian menyebutkan bahwa ada hubungan antara penyakit periodontal dengan penyakit jantung koroner. Penyakit periodontal tersebut antara lain karies gigi dan oral hygiene status (status kebersihan gigi dan mulut).




Untuk lebih lengkap dapat menghubungi kami...!!


Asuhan keperawatan kanker paru

Posted by with No comments
Kanker Paru  atau Ca Paru adalah penyebab kematian utama pada laki – laki maupun perempuan di Amerika Serikat ( Price, 2006; 850 ). Kanker Paru merupakan salah satu jenis kanker yang sering ditemukan pada laki – laki. Kekerapan laki – laki terserang kanker paru dibandingkan wanita berkisar 3 – 5 : 1, kanker ini timbul pada umur diatas 40 tahun, sering kali pada umur 60 – 70 tahun ( Dalimartha,  2004 ;  57 ).
Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di Indonesia. Di dunia, 12% seluruh kematian disebabkan oleh kanker dan  pembunuh  nomor 2 setelah penyakit kardiovaskular. Kanker Paru merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, dengan prognosis yang sering kali buruk. kanker paru biasanya tidak dapat diobati dan penyembuhan hanya mungkin dilakukan dengan jalan pembedahan mampu bertahan selama 5 tahun ( Somantri, 2009 ; 112 )
Kanker Paru ( Karsinoma Bronkogenik ) adalah penyebab nomor satu kematian akibat kanker di negara industri. penyakit ini telah lama menduduki posisi ini untuk kaum laki-laki di Amerika Serikat, menyebabkan sekitar sepertiga kematian akibat kanker pada laki–laki, dan juga telah menjadi penyebab utama kematian akibat kanker pada perempuan. diperkirakan selama tahun 2002, akan terdapat 169.400 kasus baru kanker baru di dan sekitar 154.900 orang akan meninggal karena penyakit ini. laju peningkatan diantara kaum laki – laki telah melambat, tetapi pada perempuan lajunya terus meningkat (Robbins, 2007; 559).
Statistik ini jelas berkaitan dengan hubungan sebab akibat antara  merokok dan karsinoma bronkogenik. Insiden puncak kanker paru – paru terjadi pada usia antara 55 – 65 tahun, saat ini perbandingan laki – laki terhadap perempuan 2 : 1. Saat diagnosis, lebih dari 50 % pasien telah mengalami metastase jauh, sementara seperempat memperlihatkan penyakit di kelenjar getah bening regional (Robbins, 2007; 560).
Prognosis kanker paru buruk : angka kejadian 5 tahun untuk semua stadium kanker baru yang digabungkan dengan  14 % , bahkan pasien dengan penyakit terbatas di paru memiliki angka kesintasan 5 tahun hanya sekitar 45 %.
( Robbins, 2007; 559 ).
Kanker paru merupakan salah satu jenis kanker yang paling sering ditemukan pada laki – laki. kekerapan laki – laki terserang kanker paru dibandingkan wanita berkisar 3 – 5 : 1. Kanker ini timbul pada umur diatas 40 tahun, sering kali pada umur 60 – 70 tahun.
Berdasarkan data yang dirilis International Agency for Research on Cancer, salah satu lembaga di bawah Badan Kesehatan Dunia PBB, penderita kanker dunia mencapai 12,7 juta orang pada tahun 2008 dan mengakibatkan kematian 7,6 juta penderita. Pada tahun 2030 diramalkan akan ada 21,4 juta kasus kanker baru dengan 13,2 juta kematian (Zenab, 2010).
Di Indonesia

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis Rumah Sakit RK. Charitas Palembang, jumlah penderita Ca Paru pada tahun 2008 berjumlah 30 penderita, pada tahun 2009 berjumlah 29 penderita, pada tahun 2010 berjumlah 33 penderita dan pada tahun 2011 dari bulan Januari – Juli 2011 berjumlah 18 penderita ( Rekam Medis RS. RK. Charitas Palembang).
Peran perawat dalam proses penyembuhan bagi klien sangat dibutuhkan, misalnya perawat meningkatkan kerjasama dengan klien dan keluarga untuk menentukan rencana keperawatan dan mengatasi masalah keperawatan yang ada berdasarkan prioritas masalah yang dialami pasien. 
Di latar belakangi masalah tersebut, penulis mengambil Karya Tulis Ilmiah dengar judul “Asuhan Keperawatan pada Klien Tn. “N” dengan Gangguan Sistem Pernafasan ; Ca Paru

Sabtu, 24 November 2012

Hubungan pola pemberian ASI dengan Produksi ASI pada ibu meyusui pada bayi usia 1 – 2 Tahun di

Posted by with No comments
BAB I
PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan nasional diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan dilaksanakan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan antara lain adalah penurunan angka kematian Bayi dan peningkatan status gizi masyarakat. Indonesia saat ini masih menghadapi masalah gizi ganda yaitu kondisi dimana disatu sisi masih banyaknya jumlah penderita gizi kurang, sementara disisi lain jumlah masyarakat yang mengalami gizi lebih cenderung meningkat. Masalah gizi ganda ini sangat erat kaitannya dengan gaya hidup masyarakat dan perilaku gizi. Status gizi masyarakat akan baik apabila perilaku gizi yang baik dilakukan pada setiap tahap kehidupan termasuk pada Bayi.
ASI Ekslusif adalah pemberian ASI (air susu ibu) sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa terjadwal dan tidak diberi makanan lain walaupun air putih sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan bayi diperkenalkan dengan makanan tambahan yang lain. Karena pada saat berumur 6 bulan sistem pencernaannya mulai matur.
Sebelum tahun 2001, World Health Organization (WHO) merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif selama 4-6 bulan. Namun pada tahun 2001, setelah melakukan telaah artikel penelitian secara sistematik dan berkonsultasi dengan para pakar, WHO merevisi rekomendasi ASI eksklusif tersebut dari 4-6 bulan menjadi 6 bulan.  Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran (Linkages, 2010).
Meskipun usaha untuk meningkatkan pemberian ASI Eksklusif sangat gencar dilakukan tapi pemberian ASI di Indonesia masih memprihatinkan. Hal tersebut tergambar dari cakupan pemberian ASI ekslusif 6 bulan hanya 39,5% dari keseluruhan bayi dan terdapat peningkatan pemakaian susu formula sampai 3 kali lipat antara 1997-2002. Berdasarkan data yang ada pada tahun 2002-2003 bayi dibawah usia 4 bulan yang diberi ASI ekslusif hanya 55% sementara itu pemberian ASI ekslusif pada bayi usia 2 bulan hanya 64%. 60 % pada bayi berusia 2-3 bulan dan 14% pada bayi 4-5 bulan (Meutia, H, 2008). Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1997-2007 memperlihatkan terjadinya penurunan prevalensi ASI eksklusif dari 40,2% pada tahun 1997 menjadi 39,5% dan 32% pada tahun 2003 dan 2007 (Fikawati, 2010).
Berdasarkan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2010, baru ada 33,6 persen bayi umur 0-6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Bahkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menyebutkan, hanya 15,3 persen bayi umur kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif.  Secara nasional, jumlah konselor menyusui baru mencapai 2.921 orang. Jumlah ini masih terlalu kecil dari target yang dibutuhkan sekitar 9.323 konselor. Oleh karenanya, Pemerintah melalui Kementrian kesehatan mengupayakan agar setiap pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas dan Rumah Sakit tersedia konselor menyusui untuk membantu para ibu yang memiliki kendala memberikan ASI.
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2002–2003 hanya 4% bayi yang mendapat ASI dalam satu jam pertama kelahirannya, dan hanya 8% bayi di Indonesia yang mendapat ASI Eksklusif enam bulan, sementara target Pemerintah tahun 2010 ingin mencapai ASI Eksklusif sebanyak 80%. Hal ini disebabkan antara lain karena rendahnya pengetahuan para ibu mengenai manfaat ASI dan cara menyusui yang benar, kurangnya pelayanan konseling laktasi dan dukungan dari Petugas Kesehatan, persepsi – persepsi sosial budaya yang menentang pemberian ASI, kondisi yang kurang memadai bagi para ibu yang bekerja dan pemasaran agresif oleh perusahan – perusahan susu formula yang tidak saja mempengaruhi para ibu namun juga Petugas Kesehatan (Baskoro, 2008).
Persiapan menyusui pada masa kehamilan merupakan hal yang penting sebab dengan persiapan yang lebih baik maka ibu lebih siap untuk menyusui bayinya sehingga ibu hamil masuk dalam kelas Bimbingan Persiapan Menyusui (BPM). Demikian pula suatu pusat pelayanan ibu hamil yang dapat menunjang kebijakan yang berkenaan dengan pelayanan ibu hamil yang dapat menunjang keberhasilan menyusui (Soetjiningsih, 2009).
Produksi dan pengeluaran ASI diatur oleh kerja hormon Prolaktin dan Oksitosin. Kedua hormon ini akan dihasilkan saat bayi menyusu. Sehingga kesimpulan kita adalah proses menyusui itu sendiri akan meningkatkan produksi dan pengeluaran ASI juga mempengaruhi tumbuh kembang anak, menyusui semau bayi dapat menjamin tercukupinya kebutuhan bayi (Syam, 2011).
Ada sejumlah tanda yang menunjukkan pada anda bahwa bayi tidak mendapat cukup ASI. Jika bayi anda disusui kurang dari delapan kali dalam waktu 24 jam, kencing sedikit yang bisa terlihat hanya dari beberapa popok saja yg diganti, mengeluarkan air kemih yang tampak mengandung "debu batu bata" berwarna kemerahan, atau buang air besar kurang dari satu kali dalam sehari sesudah menyusu, ada kecenderungan besar bahwa bayi mengalami masalah dengan kenaikan berat badannya. Produksi ASI atau asupan yang kurang memadai bagi bayi dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut: ketidakefektifan menempelkan mulut, pemberian ASI yang terjadwal, menyusu hanya dari satu payudara, bayi tidur lama, gaya hidup si ibu, pasokan asi yang tidak memadai (bidanku, 2011).
Produksi ASI yang sedikit disebabkan oleh karena adanya kelainan kelenjar mamae tetapi hal ini hanya 1% saja, penyebab utamanya adalah "supply by demand" yaitu persediaan cadangan air susu, dimana apabila ibu sering mengosongkan payudaranya dengan cara menyusui langsung maupun perah/ pompa ASI maka produksi ASI akan semakin banyak, jusru sebaliknya apabila ibu tidak menerapkan pola menyusui yang benar dengan frekuensi yang jarang menyusui anaknya dan menyelingi dengan susu formula maka kemungkinan besar produksi ASI akan berkurang (Syam, 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa dewasa ini terdapat kecenderungan penurunan pemberian ASI  dan  ibu yang baru melahirkan cenderung menggantikan pemberian ASI dengan susu fomula di  masyarakat.  Hal ini diakibatkan kenaikan tingkat partisipasi  wanita dalam angkatan kerja  dan peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang memudahkan periklanan susu  buatan serta luasnya distribusi susu  buatan terdapat kecenderungan menurunnya kesediaan menyusui maupun lamanya menyusui baik dipedesaan dan diperkotaan. Menurunnya jumlah ibu yang menyusui  sendiri bayinya  pada mulanya disebabkan oleh tidak keluarnya produksi ASI yang memadai untuk kebutuhan bayinya. Hal itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu mengenai pola pemberian ASI yang benar.  Meskipun  mereka menyadari pentingnya pemberian ASI tetapi budaya modern dan kekuatan  ekonomi yang semakin meningkat telah mendesak para ibu untuk segera menyapih  anaknya dan memilih air susu buatan sebagai jalan keluarnya.
 Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pendahuluan dapat diketahui bahwa masih banyak ibu rumah tangga yang belum mengetahui secara benar bagaimana cara mempertahankan produksi ASI yang dibuyuhkan oleh bayinya, hal ini kemungkinan dikarenakan faktor pola pemberian ASI yang salah . Untuk itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, ”Hubungan pola pemberian ASI dengan Produksi ASI pada ibu meyusui pada bayi usia 1 – 2 Tahun di wilayah Kerja Puskesmas Sukarami Palembang Tahun 2012.
 
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis ingin mengetahui  adakah hubungan pola pemberian ASI dengan Produksi ASI pada ibu meyusui pada bayi usia 1 – 2 Tahun di wilayah Kerja Puskesmas Sukarami Palembang Tahun 2012
 
C.    Pertanyan Penelitan
Faktor apa sajakah yang berhubungan dengan motivasi seorang perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0-6 tahun di RS.Muhammadiyah Palembang 2012.
D.    Tujuan Penelitian
1.      Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi seorang perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0 - 6 tahun di RS. Muhammadiyah Palembang 2012.
2.      Tujuan Khusus
a.       Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan motivasi seorang  perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0 – 6 bulan di RS. Muhammadiyah Palembang 2012.
b.      Diketahuinya hubungan sikap dengan motivasi seorang perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0 – 6 bulan di RS. Muhammadiyah Palembang 2012.
c.       Diketahuinya hubungan dukungan suami dengan motivasi perawat dalam pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0 – 6 bulan di RS. Muhammadiyah Palembang 2012.
 
E.     Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.      Manfaat Bagi Instansi Kesehatan
Dapat menjadi masukan bagi instansi kesehatan, khususnya RS. Muhammadiyah dalam menjalankan program pemerintah tentang pemberian ASI Eksklusif dan menyediakan tempat untuk ibu menyusui anaknya.
2.      Manfaat Bagi Tenaga kesehatan / perawat
Dapat meningkatkan pengetahuan kesehatan, khususnya tentang pemberian ASI eksklusif sehingga dapat memberikan support dan memotivasi kepada para perawat untuk dapat menjalankan program pemberian ASI eksklusif.
3.      Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi Mahasiswa STIKes Siti Khodijah Palembang.
4.      Manfaat Bagi Penelitian
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan, khususnya tentang motivasi dalam pemberian ASI eksklusif.
 
F.     Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam lingkup keperawatan Maternitas. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu faktor yang berhubungan dengan motivasi perawat dalam pemberian ASI Ekslusif pada bayi 0-6 bulan. Variabel yang akan diteliti bagaimana hubungan pengetahuan, sikap dan dukungan suami dengan motivasi perawat dalam pemberian ASI. Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang, waktu penelitian  ini akan dilakukan pada bulan Juni 2012. Populasi yang akan diambil dalam penelitian ini adalah semua perawat yang memiliki bayi usia 0-6 bulan yang bekerja di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
.

HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI SUNTIK 3 BULAN DI PUSKESMAS ARIODILLAH PALEMBANG SEPTEMBER 2011

Posted by with No comments

UNIVERSITAS KADER BANGSA PALEMBANG
Program Studi DIII Kebidanan
Skripsi   September 2011

Lia Komalasari

HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI SUNTIK 3 BULAN DI PUSKESMAS ARIODILLAH PALEMBANG SEPTEMBER 2011

xvi + 56 halaman + 6 lampiran + 3 tabel

ABSTRAK

Penggunaan kontrasepsi suntik adalah usaha-usaha untuk mencegah kehamilan. Jenis kontrasepsi adalah 25 mg depomedroksiprogesteron asetat dan 5 mg sipionat yang diberikan secara injeksi im. Tujuan peneltian ini untuk menegetahui hubungan anatara pendidikan dan pengetahuan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik 3 bulan di puskesmas Ariodillah Palembang tahun 2011. Penelitian ini menggunakan survey analitik dengan pendekatan cross sectional dan teknik accidental sampling. Sample dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memakai kontrasepsi di puskesmas Ariodillah Palembang yang berjumlah 85 respondent data ini dianalistis secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji ehi-square dengan teknik komputerisasi. Hasil penelitian analisis univariat di dapatkan yang berpendidikan (≥SMA) sebanyak 42 orang (49,4%) sedangkan yang berpendidikan (<SMA) sebanyak 43 orang (50,6%), sedangkan respondent dengan pengetahuan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik 3 bulan yang pengetahuannya baik sebanyak 38 orang (44,7%) dan respondent dengan pengatahuan kurang baik sebanayk 47 orang (55,3%) dan ibu yang menggunakan alat kontrasepsi suntik 3 bulan sebanayk 40 orang (47,1%) dan yang menggunakan kontrasepsi selain KB suntik 3 bulan sebanyak 45 orang (52,9%).
Dari analisis bivariat dengan chi-square menghasilkan hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik 3 bulan, dengan nilai p value = 0,013 < 0,05 dan hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan nilai p value = 0,019 < 0,05. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan dan pengetahuan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik 3 bulan, disarankan kepada petugas kesehatan terutama bidan agar lebih meningkatkan penyuluhan dan pemberian informasi mengenai penggunaan alat kontrasepsi suntik KB hingga dapat dijadikan bahan pertimbangan sebelum menjadi akseptor KB.

Daftar Pustaka          : 13 (2004-2010)
Kata kunci     :KB

Untuk skripsi hubungi kami rentalsinarmas@gmail.com




Kamis, 25 Oktober 2012

Analisis Siklus Pengeluaran Kas Pada Perusahaan PDAM Tirta Musi Palembang

Posted by with No comments







Latar Belakang Masalah

         Pengendalian intern terhadap pengeluaran kas yang diterapkan dan dilaksanakan pada perusahaan PDAM perlu dirancang dengan baik dan memerlukan perhatian yang cukup serius dari  pihak manajemen perusahaan, karena pihak manajemenlah yang bertanggung jawab dan berperan aktif dalam hal melaksanakan pengendalian intern.  Jika pengendalian intern dilaksanakan dengan terarah dan pelaksanaanya bertanggung jawab penuh maka akan memperkecil tindakan penyelewengan terhadap kas.  Dari kas ini manfaat yang diperoleh pun akan semakin besar sehingga dapat mengurangi kolusi atau hal serupa yang seiring terjadi pada berbagai badan usaha lainnya. 
         Menurut (Yusuf, 2003:3), dalam penerimaan dan pengeluaran kas diperlukan adanya prosedur yang baik yang nantinya akan sesuai dengan kebijakan manajemen yang telah ditetapkan sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin baik prosedur penerimaan dan pengeluaran kas akan semakin dapat dipercaya besarnya kas pada laporan keuangan tersebut.  Lebih dari itu kas juga menggambarkan tingkat likuiditas artinya semakin besar kas, maka semakin likuid .
         Berdasarkan pendapat tersebut, dijelaskan bahwa prosedur penerimaan maupun pengeluaran kas yang baik dan tertata rapi, tentunya akan mempengaruhi sistem keuangan suatu perusahaan.  Prosedur penerimaan maupun pengeluaran yang  baik akan mencegah terjadinya kecurangan ataupun kolusi yang berakibat kepada penyelewangan dana yang pada akhirnya merugikan perusahaan itu sendiri.
Sedangkan (Mulyadi, 2001:482) berpendapat bahwa:
          Berdasarkan sistem pengendalian intern yang baik, sistem penerimaan kas dari piutang harus menjamin diterimanya kas dari debitur oleh perusahaan, bukan oleh karyawan yang tidak berhak menerimanya.  Untuk menjamin diterimanya kas oleh perusahaan, sistem penerimaan kas dari piutang mengharuskan debitur melakukan pembayaran dengan cek atau dengan pemindahbukuan melalui rekening bank (giro bilyet).  Jika perusahaan hanya menerima kas dalam bentuk cek dari debitur, yang ceknya atas nama perusahaan (bukan atas unjuk), akan menjamin kas yang diterima oleh perusahaan masuk ke rekening giro bank perusahaan.  Pemindahbukuan juga akan memberikan jaminan penerimaan kas masuk ke rekening giro perusahaan
Masih menurut (Mulyadi, 2001:508) menjelaskan bahwa :
Di dalam sistem akuntansi pengeluaran kas, digunakannya cek atas nama akan diterima oleh pihak yang namanya tertulis dalam formulir cek.  Dengan demikian pengeluaran dengan cek menjamin diterimanya cek tersebut oleh pihak yang dimaksud oleh pembayar.
Suatu bentuk sub sistem dari Sistem Informasi Akuntansi yang akan penulis angkat dalam penulisan ini yaitu : siklus pengeluaran dalam suatu perusahaan.  Siklus pengeluaran yang ada dalam suatu perusahaan biasanya terdiri atas sistem pembelian, sistem pembayaran utang/ sistem pengeluaran kas dan sistem pengeluaran kas dan sistem penggajian.  Ketiga sistem ini merupakan bentuk kegiatan bisnis yang ada dalam  sutau perusahaan disamping sistem-sistem lainnya.
Dalam sistem pembelian diakui adanya kebutuhan untuk membeli persediaan fisik dan melakukan pemesanan dengan pemasok.  Ketika barang diterima, sistem pembelian mencatat peristiwa tersebut dengan menambaha persediaan dan membentuk akun utang dagang untuk dibayar pada tanggal yang ditetapkan.
Dalam Sistem pengeluaran, ketika kewajiban dihasilkan dari sistem pembelian yang telah jatuh tempo, sistem pengeluaran kas mengotorisasi pembayaran tersebut, mengeluarkan data kepada pemasok dan mencatat transaksi dengan mengurangi kas dan akun utang dagang.
Sedangkan dalam Sistem Penggajian, data pemakaian tenaga kerja dari setiap pegawai dikumpulkan kemudian dilakukan penghitungan gaji bagi tiap  pegawai dan mengeluarkan cek pembayaran kepada pihak pegawai.  Karena kompleksitas akuntansi yang berkaitan dengan gaji, kebanyakan perusahaan memiliki sistem terpisah untuk pemrosesan pembayaran gaji.
Sistem akuntansi yang diterapkan pada PDAM Tirta Musi tentang penerimaan dan pengeluaran kas pada dasarnya sudah baik.  Namun masih ada kelemahan yang masih harus diperbaiki untuk mengemukakan masalah tersebut maka peneliti membuat Skripsi dengan judul, “Analisis Siklus Pengeluaran Kas Pada Perusahaan PDAM Tirta Musi Palembang. ”





Rabu, 24 Oktober 2012

Asuhan Keperawatan Kraniotomi

Posted by with No comments
ASUHAN KEPERAWATAN KRANIOTOMI

A.    DEFINISI
Kraniotomi adalah setiap operasi terhadap cranium. (Dorland,1998). Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan (Hinchliff, Sue. 1999).
Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intrakranial. (Brunner & Suddarth. 2002).
Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitive.
Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang tengkorak untuk, untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan.

Untuk yang perlu filenya lengkap......! silahkan download disini



Sabtu, 04 Februari 2012

“Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Rumah Sakit Myria Palembang pada Tahun 2011”

Posted by with No comments




BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Diare adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau alami seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume, keenceran, serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan atau tanpa lendir darah. (Hidayat, 2006).
Kebersihan lingkungan merupakan suatu yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan pada umumnya. Banyaknya penyakit-penyakit lingkungan yang menyerang masyarakat karena kurang bersihnya lingkungan disekitar ataupun kebiasaan yang buruk yang mencemari lingkungan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan penyakit yang dibawa oleh kotoran yang ada di lingkungan bebas tersebut baik secara langsung ataupun tidak langsung yaitu melalui perantara. Penyakit diare merupakan suatu penyakit yang telah dikenal sejak jaman Hippocrates. Sampai saat ini, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama masyarakat Indonesia. Dari urutan penyebab kunjungan Puskesmas/ Balai Pengobatan, diare hampir selalu termasuk dalam kelompok 3 (tiga) penyebab utama masyarakat berkunjung ke Puskesmas. (Widjaja, 2001)
1
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita yaitu status kesehatan lingkungan (penggunaan sarana air bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah) dan perilaku hidup sehat dalam keluarga. Sedangkan secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam enam kelompok besar yaitu infeksi (yang meliputi infeksi bakteri, virus dan parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan (keracunan bahan-bahan kimia, keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi baik jazad renik, ikan, buah-buahan, sayur-sayuran, algae dan lain-lain), imunisasi, defisiensi dan sebab-sebab lain (Beaglehole, 2007).
Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi  faktor pendorong  terjadinya diare,  terdiri dari factor agent, penjamu, lingkungan dan perilaku. Faktor penjamu yang  menyebabkan meningkatnya  kerentanan terhadap diare,  diantaranya  tidak memberikan ASI  selama 2 tahun, kurang gizi, penyakit campak, dan imunodefisiensi. Faktor lingkungan yang paling dominan yaitu sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja, kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan  perilaku manusia. Apabila  faktor  lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan  perilaku manusia  yang tidak sehat pula,  maka  penularan diare dengan mudah dapat terjadi (Depkes, 2005)
 Data yang menunjukkan angka kematian akibat diare menurut Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO) yaitu Negara India sebanyak 122.270 balita, Nigeria 49.974 balita, DR Congo sebanyak 30.444 balita, Ethiopia sebanyak 27.424 balita, China sebanyak 27.349, Pakistan sebanyak 19.933 balita, Afghanistan sebanyak 17.992 balita, Bangladesh sebanyak 15.382 balita, Indonesia sebanyak 12.970 balita, Angola sebanyak 11.229 balita dan Nigeria sebanyak 10.884 jiwa (Sofwan, 2010).
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, angka kematian akibat diare 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita 75 per 100 ribu balita. Selama tahun 2006 sebanyak 41 kabupaten di 16 provinsi melaporkan KLB (kejadian luar biasa) diare di wilayahnya. Jumlah kasus diare yang dilaporkan sebanyak 10.980 dan 277 diantaranya menyebabkan kematian. Hal tersebut, terutama disebabkan rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi buruk dan perilaku hidup tidak sehat. Jumlah penderita diare tertinggi ada di daerah NTT yakni 2194 jiwa, sedangkan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebesar 196 jiwa (Piogama, 2009)
Jumlah kasus diare  di Sumatera Selatan pada tahun 2008 sebanyak 186.479 kasus dan pada tahun 2009 sebanyak 205.991 kasus. Jumlah kasus diare pada balita setiap tahunnya rata-rata di atas 40%, hal ini menunjukkan bahwa kasus diare pada balita masih tetap tinggi dibandingkan golongan umur lainnya (Dinkes Sumsel, 2010).         
Jumlah penderita diare di Kota Palembang jumlah penderita pada tahun 2007 sebanyak 46.738 penderita dengan prevalensi 33,25 per 100.000 penduduk, tahun 2008 sebanyak 33.558 penderita dengan prevalensi 23,68 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 2009 sebanyak 54.612 penderita dengan prevalensi 37,95 per 100.000 penduduk (Dinkes Kota Palembang, 2009).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Rekam Medik Rumah Sakit Myria Palembang di peroleh data bahwa jumlah penderita diare pada tahun 2008 sebanyak 736 balita, pada tahun 2009 sebanyak 921 balita dan pada tahun 2010 sebanyak 930 balita.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis banyaknya jumlah penderita diare yang dirawat di Rumah Sakit Myria adalah disebabkan kurangnya pengetahuan ibu mengenai perilaku hidup bersih, kurangnya kebiasaan mencuci tangan pada balita, kebersihan alat-alat makan balita serta kebersihan makanan pada balita
selengkapnya klik disini

Pawang Buaya dalam Tinjauan Aqidah Islam (Studi Kasus Masyarakat Pemulutan Ulu dan Pemulutan Ilir Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan)”

Posted by with No comments



 
Pawang Buaya dalam Tinjauan Aqidah Islam (StudiKasus Masyarakat Pemulutan Ulu dan Pemulutan Ilir Kabupaten Ogan Ilir SumateraSelatan)”

A.    Latar Belakang

1
 
Pada umumnya tradisi sejarah di Indonesia terhadap kepercayaan dengan legenda bermula dalam lingkungan keraton (istana sentries) di mana hasilnya dikenal dengan sejarah tradisional (historiografi tradisional). Dalam lingkungan keraton terdapat orang yang ahli menuliskan legenda tersebut. Para pujangga menuliskan silsilah keluarga raja, kebijaksanaan raja, hukum maupun karya sastra. Untuk memperkuat tulisannya biasanya para pujangga menggunakan mitos dan legenda dalam tradisi sejarahnya, sehingga tokoh raja dalam tulisannya akan mendapatkan pulung (kharisma) yang diwariskan penguasa sebelumnya. Sebagai contoh adalah legenda keagamaan berisi tentang cerita orang-orang yang dianggap suci atau saleh dengan tambahan segala macam keajaiban, kesaktian dan benda-benda keramat, sepert Wali Songo, Sunan Kali Jaga, Syekh Siti Jenar juga     legenda alam gaib yang berhubungan dengan kepercayaan dan takhayul yang di percaya masyarakat sekitar, biasanya menceritakan tentang hantu, genderewo, sundel bolong atau mahluk jadi-jadian dan juga legenda lokal yaitu cerita tentang asal mula terjadinya (terbentuknya) nama suatu tempat, danau, gunung, bangunan misalnya cerita terbentuknya Danau Toba[1].
Sumatera Selatan, sebagai daerah yang dipenuhi rawa-rawa dan dilewati banyak sungai, memiliki populasi buaya yang cukup banyak dan penampakan buaya merupakan hal biasa. Bahkan di kalangan masyarakat dikenal pula ilmu buaya, yakni ilmu hitam, yang mana pemiliknya akan berubah menjadi buaya kalau sudah meninggal dunia. Demikian juga warga di desa Pemulutan, Kecamatan Ogan Ilir, Sumatera selatan. Mereka sangat percaya dengan legenda-legenda mengenai buaya. Selain itu ilmu buaya masih banyak dikuasai masyarakat Pemulutan dan bahkan ada yang menjadi pawang buaya.[2]
Kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang gaib dewasa ini semakin marak terutama terapi pengobatan lewat makhluk halus seperti jin dan hal-hal yang berbau mistik lainnya. Mereka menyebutkan sebagai pengobatan alternatif, atau juga sebagai pengobatan supranatural. Sebutan boleh berbeda-beda, namun hakikatnya tetap sama, sama-sama menyimpang dan merusak aqidah Islam yang benar.


[1] Irawan, Tradisi Sejarah dalam Masyarakat Indonesia, (http://www.wacananusantara.org /content/view/category/99/id/272?mycustomsessionname=a68737f0017a3a797952fdff69d4787b, online.  diakses tanggal 26 April 2011)
[2] Anand, Legenda Raja Buaya Sumatera Selatan, (http://pempek-dos.blogspot.com/, online. diakses tanggal 30 Maret 2011)

Mau yang Lengkap klik disini

faktor-faktor yang berhungan dengan kejadian hipertensi

Posted by with No comments

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Hipertensi adalah kondisi medis ketika seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yang lama). Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah sistolik/diastolic melebihi 140/90 mmHg atau normalnya 120/80 mmHg. (Sudarmoko, 2010)
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab meningkatnya resiko penyakit stroke, jantung, dan ginjal. Pada abad 20, penyakit jantung dan pembuluh darah menjadi penyebab utama kematian di negara maju dan negara berkembang.
Menurut data Lancet (2008), jumlah penderita hipertensi diseluruh dunia terus meningkat. Di India misalnya jumlah penderita hipertensi mencapai 60,4 juta orang pada tahun 2002 dan diperkirakan 107,3 juta orang pada tahun 2025. Di Cina sebanyak 98,5 juta orang mengalami hipertensi dan menjadi 151,7 juta orang pada tahun 2025. Di bagian Asia tercatat 38,4 juta penderita hipertensi pada tahun 2000 dan diprediksi akan menjadi 67,4 juta orang pada tahun 2025.
Di Indonesia mencapai 17-21% dari populasi penduduk dan kebanyakan tidak terdeteksi. Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization), dari 50% penderita hipertensi yang terdeteksi hanya 25% yang mendapat pengobatan dan hanya 12,5% bisa diobati dengan baik. Tercatat 90% atau lebih penderita hipertensi tidak diketahui penyebabnya. Sisanya 10% atau kurang adalah penderita hipertensi yang disebabkan penyakit lain seperti ginjal dan beberapa gangguan kelenjar endokrim tubuh. (Muhammadun AS, 2010).
Hasil survey kesehatan rumah tangga tahun 2007 menunjukkan Prevalensi penyakit hipertensi di Indonesia cukup tinggi, yaitu 8,3% per 1.000 anggota rumah tangga. Pada umumnya lebih banyak pria menderita hipertensi dibandingkan dengan perempuan. Menurut muhammadun AS 2010 wanita pada usia 50 tahun mempunyai resiko hipertensi lebih besar dibandingkan laki-laki pada usia yang sama, dan wanita pada usia dibawah 50 tahun memiliki resiko lebih kecil dibandingkan dengan` laki-laki pada usia yang sama.
Penyakit hipertensi merupakan penyakit tidak menular (PTM) yang menduduki peringkat pertama terbanyak di propinsi Sumatera Selatan. Prevalensi penderita Hipertensi pada tahun 2007 adalah 0.49% kasus, ditahun 2008 tercatat sebanyak 0.55% kasus, dan ditahun 2009 tercatat sebanyak 0.53% kasus hipertensi. Diiringi Penyakit Jantung 0,30% kasus, Diabetes Melitus 0,28% kasus. (Dinkes Sum-Sel, 2010 ).
Menurut data Dinas Kesehatan Kota Palembang penderita hipertensi dengan proporsi penderita hipertensi pada tahun 2008 berjumlah 17278 dan pada tahun 2009 penderita hipertensi berjumlah 20994 dan pada tahun 2010 penderita hipertensi berjumlah 21616. (Dinkes kota palembang tahun 2011).

Menurut data rumah sakit RSUP.Dr.Mohammmad Hoesin Palembang, yang mempunyai angka kejadian hipertensi pada rawat jalan berjumlah 4389 pada tahun 2008, dan  pada tahun 2009 berjumlah 352 pada tahun 2010 berjumlah 759, pada bulan januari-mei 2011 berjumlah 214.  (RSUP.Dr.Mohammad Hoesin Palembang tahun 2011).
Dari data diatas diketahui bahwa penyaki hipertensi di RSUP.Dr.Mohammad Hoesin Palembang adalah masih merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, oleh kerena itu penelit tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berhungan dengan kejadian hipertensi.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penyakit hipertensi, maka rumusan masalah dalam  penelitian ini adalah masih tingginya angka kejadian penyakit hipertensi pada Januari-Mei 2011 berjumlah 214 yang berobat rawat jalan di RSUP.Dr.Mohammad Hoesin  Palembang.